JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Desain keserentakan pemilu kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan terhadap pasal 167 ayat 3 dan 347 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu diajukan Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) bersama sejumlah mantan penyelenggara pemilu kemarin (27/4).
Kuasa hukum pemohon yang juga peneliti Perludem Kahfi Adlan mengatakan, gugatan terhadap desain pemilu lima kotak suara didasarkan pada beban penyelenggara pemilu. Kerja yang dialami petugas ad hoc di level KPPS, PPS, dan PPK sangat luar biasa berat. "Pengalaman Pemilu 2019, beban berat itu membuat banyak penyelenggara pemilu yang kelelahan hingga jatuh sakit. Bahkan, 800 orang lebih meninggal dunia," ujarnya.
Sayang, lanjut Kahfi, dengan situasi tersebut, pembuat UU memilih mempertahankan konsep pemilu lima kotak suara dengan tidak merevisi UU Pemilu. Praktis, hal tersebut mengabaikan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan itu, MK memerintahkan agar penentuan format keserentakan pemilu harus melibatkan partisipasi banyak kalangan. "Termasuk juga menghitung implikasi teknis beban penyelenggara pemilu atas pilihan format keserentakan pemilu," imbuhnya.
Kahfi menilai sikap pemerintah dan DPR yang tidak menindaklanjuti prasyarat yang disampaikan MK bisa memunculkan ekses negatif. Sebab, hal tersebut merupakan pokok permohonan yang diajukan Perludem di uji materi sebelumnya. Saat itu Perludem meminta kepada MK agar pemilihan DPRD kabupaten/kota dan provinsi tidak digabungkan dengan pemilu nasional. "Menggabungkan empat pemilu legislatif sekaligus (ditambah pilpres, Red) menjadi salah satu penyebab rumit dan beratnya beban penyelenggara pemilu," tuturnya.
Sementara itu, Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi menyatakan, pihaknya masih terus mematangkan persiapan pelaksanaan Pemilu 2024. Saat ini ada sekitar 15 peraturan KPU (PKPU) yang tengah dikaji dan akan dilakukan penyesuaian. "Mudah-mudahan sebagian bisa tahun ini," ujarnya.
Terkait kepastian kapan dimulainya tahapan, Pramono belum memastikan. Namun, sebagaimana sebelumnya, pihaknya berupaya menyiapkan tahapan lebih panjang dengan memulainya di akhir tahun ini. Target pelaksanaan pemungutan suara digelar pada Februari atau Maret 2024.
Dalam PKPU yang disusun, pihaknya berupaya memodifikasi teknis agar lebih meringankan beban dan menyesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19. Diakuinya, modifikasi itu tentu akan lebih maksimal jika ada revisi UU Pemilu. Dasar hukumnya akan lebih kuat. "Untuk melakukan modifikasi, kita membutuhkan payung hukum yang kukuh," tuturnya.
Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menambahkan, jajaran Bawaslu juga terus mematangkan persiapan. Salah satu upaya yang tengah digenjot adalah edukasi politik ke publik. "Kita terus membumikan nilai-nilai pengawasan," ujarnya.
Dengan persiapan dini, harapannya saat tahapan dimulai, masyarakat sudah lebih matang membantu kerja Bawaslu. Bawaslu masih menunggu konsep tahapan dan jadwal yang disusun KPU. Begitu tahapan dimulai, kerja pengawasan juga akan dimulai.
Soal beban berat yang akan ditanggung, Afifuddin mengakui hal itu. Salah satu opsi yang bisa mengatasi hal tersebut sebenarnya adalah memaksimalkan teknologi. Sayangnya hal itu tidak pernah banyak diatur UU Pemilu sehingga pemanfaatannya terbatas.(far/fiz)
Laporan : JPG (Jakarta)