JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tuntasnya penyusunan Kabinet Indonesia Maju yang diikuti dengan pengangkatan 12 wakil menteri menyisakan polemik. Bukan hanya perdebatan soal urgensi posisi Wamen, di internal partai koalisi muncul ungkapan ketidakpuasan.
Di antara barisan partai politik dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK), Partai Hanura tidak kebagian jabatan menteri maupun Wamen. Hanura pun meradang.
”Jujur saja, banyak kader Hanura yang kecewa,” cetus Wakil Sekjen DPP Hanura Bona Simanjuntak kemarin (26/10).
Hanura, ujar Bona, merasa tersinggung karena sama sekali tidak dihargai. Padahal, pihaknya telah berjuang keras memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Sebagai parpol, kata dia, peran Hanura tidak bisa dianggap remeh. Keberadaan 800 kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia menjadi bukti bahwa Hanura juga berkeringat dalam memenangi kontestasi pilpres.
DPP Hanura menyerahkan kepada Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang untuk bersikap. ”Pasti nanti mengeluarkan sikap politik,” katanya.
Di bagian lain, Presiden Jokowi mengungkapkan sulitnya menyusun kabinet. Dia mengaku menerima setidaknya 300 usulan nama. Padahal, jumlah menteri hanya 34 orang. Dia juga harus mempertimbangkan berbagai latar belakang. ”Tidak mudah menyusun kabinet yang harus beragam. Karena memang Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika,” kata Jokowi saat menghadiri pembukaan Musyawarah Besar X Pemuda Pancasila di Jakarta kemarin.
Jokowi menyadari bahwa pilihan kabinet bakal berujung banyaknya pihak yang kecewa. Sebab, perbedaan antara jumlah usulan dan nama yang diangkat sangat besar. Kekecewaan muncul karena ada yang merasa tidak terakomodasi dalam kabinet. ”Jadi, saya mohon maaf tidak bisa mengakomodasi semuanya. Karena, sekali lagi, ruangnya hanya 34 (menteri, Red),” jelasnya.
Di tengah adanya gelombang kekecewaan itu, Jokowi meyakini bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya yang luhur. Indonesia, bagi Jokowi, memiliki Pancasila yang mempersatukan bangsa. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Perbedaan pilihan juga wajar. Namun, dia menegaskan, persatuan dan kebersamaan adalah segala-galanya.
Pada kesempatan itu Jokowi juga menyampaikan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045. Saat perayaan seabad kemerdekaan Indonesia. Indonesia pada 2045 diharapkan masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita Rp 320 juta per tahun.
Menurut presiden, target pendapatan itu sangat besar. Jika dihitung, setiap bulan sekitar Rp 27 juta. ”Sebuah jumlah yang sangat besar,” tandasnya. Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan kerja keras, inovasi, dan fondasi yang kuat. Yaitu fondasi toleransi, persatuan, persaudaraan, dan karakter kebangsaan berdasar Pancasila.
Sementara itu, kritik bahwa pengangkatan 12 wakil menteri sebagai bentuk bagi-bagi jabatan ditepis partai pendukung Jokowi. Juru Bicara DPP PSI Dedek Prayudi mengatakan, pengangkatan Wamen adalah bentuk kebutuhan untuk mempercepat program kerja kementerian. ”Ini bukan bentuk bagi-bagi jabatan,” kata Dedek dalam diskusi bertajuk Kabinet Bikin Kaget di D’consulate Resto and Lounge, Jakarta Pusat, kemarin (26/10).
Melihat portofolio 12 Wawen, ungkap dia, sosok yang diangkat kapabel dan cukup mumpuni. Salah satunya, Surya Tjandra. Dia merupakan kader PSI yang menjabat wakil menteri agraria dan tata ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Menurut Dedek, Surya adalah sosok yang tepat mengisi Wamen ATR/BPN mendampingi Sofyan Djalil. Surya menempuh program doktor ilmu hukum di Universitas Leiden, Belanda. Dia kerap terlibat dalam advokasi kasus-kasus bidang pertanahan. Dengan kemampuan tersebut, Dedek yakin Surya bisa memberikan kontribusi dalam urusan-urusan pertanahan.
Meski demikian, Dedek mengakui, pengangkatan 12 Wamen tidak bisa lepas dari akomodasi politik. Presiden Jokowi, kata dia, berupaya merangkul semua pihak untuk kemajuan bangsa. Terutama yang berjasa dalam pemenangan Pilpres 2019. ”Itu hak prerogatif presiden. Ini (jabatan Wamen, Red) bukan hasil tekan-menekan atau ancam-mengancam,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai posisi Wamen merupakan bagian dari akomodasi politik Jokowi. Sebab, jumlah kursi menteri dinilai tak cukup mewadahi semua kepentingan. ”Jadi, wajar muncul stigma publik bahwa jabatan Wamen adalah bagi-bagi kue kekuasaan,” kata Adi.
Menurut dia, Wamen diangkat hanya untuk meredam kegeraman pendukung Jokowi. Salah satunya PB NU. Sebab, setelah pengangkatan Fachrul Razi sebagai menteri agama, ormas NU protes. Nah, setelah protes muncul, diangkatlah Wamen Zainut Tauhid Sa’adi.
Demikian pula saat muncul protes terkait tidak adanya portofolio menteri yang mewakili Papua. Kemudian, diangkat Wempi Wetipo yang menjabat wakil menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat. ”Jadi, Wamen ini kesannya untuk menambal lubang-lubang protes tadi,” katanya.
Dosen ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah itu juga sependapat bahwa keberadaan Wamen sangat bertentangan dengan janji presiden untuk membentuk birokrasi ramping. Bertambahnya Wamen, kata Adi, tentu berdampak pada kebutuhan anggaran yang membengkak. Padahal, hampir semua kementerian memiliki pejabat direktur jenderal (Dirjen) dan deputi yang membantu tugas menteri.
Apakah pengangkatan Wamen bisa memicu blunder? Adi menyatakan, kondisi tersebut sangat bergantung pada performa kabinet ke depan. Jika kinerja pemerintah bagus, keputusan itu bakal menuai apresiasi publik. Sebaliknya, jika melenceng dari target, trust publik ke pemerintah akan terus menurun. ”Ini pertaruhan bagi Jokowi. Jika kabinet tidak bisa dikelola, justru menjadi blunder.”
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman