JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan membubarkan sejumlah lembaga terkait menuai pro dan kontra. Kebijakan pemerintah itu digugat anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta Heru Susetyo ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu menguji norma UU Sisnas Iptek. Yakni kata "terintegrasi" dalam Pasal 48 ayat (1) dan frasa "antara lain" dalam penjelasan pasal dan ayat yang sama. Pasal itu menjadi basis pembentukan Peraturan Presiden tentang BRIN. Imbasnya, lembaga riset seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN dibubarkan dan dilebur ke dalam BRIN.
Pemohon menilai frasa "yang diintegrasikan" bersifat multitafsir. Apakah hanya terintegrasi atau peleburan kelembagaan. "Apakah diartikan sebagai koordinasi sehingga eksistensi dan fungsi lembaga masih tetap ada, sebagaimana Pasal 42 UU Sisnas Iptek," ujar kuasa hukum Zainal Arifin Husein dalam sidang perdana kemarin (21/9).
Menurut Zainal, frasa "terintegrasi" dalam Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek tidak dapat dipisahkan dari pasal-pasal sebelumnya. Yaitu Pasal 13, Pasal 42, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 5 67, Pasal 71, dan Pasal 79.
Pihaknya berpendapat bahwa fungsi BRIN hanya pada koordinasi. Sebab dalam UU Sisnas Iptek telah secara eksplisit ditegaskan bahwa BRIN adalah badan pusat dari kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi. "BRIN merupakan badan yang melakukan koordinasi terhadap berbagai lembaga (riset)," tuturnya.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar objek pengujian diperjelas dan tidak kabur. Misalnya, pasal-pasal yang diuji tidak berubah, kejelasan identitas pemohon sebagai dosen maupun peneliti, termasuk SK sebagai peneliti. "Jangan sampai nanti dibilang kabur lagi, kan enggak enak juga sudah sering beracara kok kabur," ujarnya.(far/bay/jpg)