JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Sidang perselisihan hasil pilkada (PHP) jilid II di Mahkamah Konstitusi (MK) dimulai hari ini (19/5). Namun, prosesnya berpotensi tumpang-tindih. Sebab, masih ada laporan pelanggaran terkait pemungutan suara ulang (PSU) yang ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di daerah.
Data yang direkap Bawaslu RI, selama PSU, terdapat 24 kasus pelanggaran yang dilaporkan ke pengawas daerah. Perinciannya, 17 kasus di Sumatera Utara, 6 kasus di Papua Barat, dan 1 kasus di Kalimantan Barat. Saat ini 14 kasus belum diputus.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, situasi itu merupakan persoalan klasik. Pemicunya, laporan yang diajukan pemohon ke Bawaslu kerap terlambat sehingga berimpitan dengan proses di MK. "Dia masukin gugatan ke MK, tapi juga lapor ke Bawaslu. Yang jadi masalah itu," ujarnya kepada jpg kemarin (18/5).
Perempuan yang akrab disapa Ninis itu melanjutkan, secara kewenangan, MK dan Bawaslu memiliki ranah berbeda. MK berfokus pada hasil, sedangkan Bawaslu pada aspek pelanggaran administrasi maupun pidana. Namun, dia mengakui, dua ranah tersebut kerap beririsan.
Karena itu, Ninis berharap Bawaslu menempatkan posisi secara proporsional. Jika ada laporan terkait hasil, sebaiknya pihak Bawaslu menahan diri. "Kalau itu berkaitan dengan hasil, ya harus membatasi diri. (Diserahkan) ke MK saja," ucapnya.
Lalu, jika sudah ada gugatan ke MK, laporan yang diajukan setelah itu sebaiknya tidak dilanjutkan ke Bawaslu. "Perlu membatasi diri agar tidak dobel persepsi," tuturnya. Di sisi lain, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menilai situasi itu tidak menimbulkan persoalan. Sebab, objeknya berbeda. Bawaslu berfokus pada penanganan pelanggaran, sedangkan MK sengketa suara. Semua klaim pelanggaran pemohon di Bawaslu akan disampaikan ke MK. "Biarkan nanti MK yang menilai," katanya.(far/c18/bay)
Laporan JPG (Jakarta)