JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wacana soal program makan dan susu gratis mulai masuk ke ranah teknis. Itu menyusul keunggulan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming yang membuka kans memenangkan kontestasi.
Untuk diketahui, makan siang dan susu gratis menjadi program unggulan yang dijanjikan paslon dari Koalisi Indonesia Maju tersebut. Namun, belum apa-apa, program itu menjadi kontroversi usai adanya rencana pemangkasan subsidi BBM sebagai sumber dananya.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia Lina Miftahul Jannah mengatakan, realokasi anggaran menjadi pilihan yang tak bisa dihindari dari adanya program baru. Sebab, seperti diketahui, ruang fiskal yang ada di APBN sangat terbatas.
Imbasnya, jika ada program baru yang memerlukan dana besar, maka sudah pasti ada program lain yang dipangkas. “Pastinya akan ada realokasi. Itu risiko yang harus ditanggung masyarakat,” ujarnya.
Namun jika yang dipilih memangkas subsidi energi, Lina meminta pemerintah untuk menghitung secara cermat. Sebab, pemangkasan subsidi dipastikan memiliki implikasi yang sangat luas. Sebab dapat dipastikan terjadi kenaikan harga, baik itu di BBM maupun gas elpiji.
Belajar dari pengalaman, kenaikan dari BBM memiliki efek domino yang panjang. Tidak hanya meningkatkan pengeluaran masyarakat dalam membeli BBM, melainkan juga meningkatkan biaya produksi dan distribusi semua bahan keperluan. “Kalau BBM naik, akan terimbas harga warteg naik, harga sayur naik,” ujarnya mencontohkan.
Nah, implikasi itu, lanjut Lina, perlu dihitung oleh pemerintahan yang baru nanti. Jangan sampai, demi menggulirkan janji politik makan siang dan susu gratis, namun di sisi lain justru memberatkan biaya hidup. “Dihitung saja mana yang jadi prioritas. Setiap kebijakan punya implikasi ke banyak hal,” tuturnya.
Namun dibanding pemangkasan subsidi BBM, Lina mengusulkan agar realokasi diambil dari belanja birokrasi. Dia menilai, ada banyak pengeluaran birokrasi yang sebetulnya bisa diperketat. Misalnya kunjungan dinas dan rapat-rapat di hotel.
Jika mengacu pengalaman selama Covid-19, nyatanya fungsi koordinasi bisa dilaksanakan secara jarak jauh. Dia menilai, potensi efisiensi belanja birokrasi cukup besar. Namun tantangannya, ada pada resistensi birokrasi. Sebab harus diakui, rapat dan perjalanan dinas menjadi sumber pemasukan banyak pegawai pemerintah
Lebih lanjut lagi, Lina juga mengingatkan jika program makan siang dan susu gratis dilakukan, harus dipastikan tepat sasaran kepada anak-anak yang membutuhkan. Jika tidak, maka target meningkatkan gizi anak-anak sulit tercapai. “Siapa yang perlu harus dihitung databasenya. Ketika data belum rapi akan susah mencapai target,” tegasnya.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, Eddy Soeparno menepis isu pemangkasan subsidi energi. Sekjen PAN itu berdalih, yang potensi dilakukan adalah memastikan subsidi tepat sasaran.
Eddy mengatakan, saat ini subsidi energi mencapai Rp350 triliun. Dari jumlah itu, mayoritas digunakan untuk subsidi pertalite dan elpiji 3 kg. Namun sayangnya, banyak yang tak tepat sasaran. “80 persen pengguna dan penikmat LPG dan pertalite adalah masyarakat mampu,” ujarnya.
Dia menerangkan, subsidi salah sasaran itu yang akan dievaluasi. Sementara subsidi energi untuk yang berhak menerima tidak akan diubah apapun. Dengan evaluasi tersebut, harapannya APBN punya ruang untuk digunakan program lainnya. “Bisa dipergunakan untuk membiayai program-program lainnya,” ujarnya.
Pengamat ekonomi Ronny P Sasmita mengingatkan, BBM dan komoditas energi secara umum merupakan barang publik. Artinya, barang publik tidak hanya dilihat dari sisi pengguna, namun juga dilihat dari sisi multiplier effect-nya jika terjadi kenaikan harga jual. Dengan begitu, perlu dilakukan penghitungan dan manajemen risiko yang cermat.
’’Jadi kurang tepat juga berbicara tentang tepat sasaran atau tidak, karena sifatnya barang publik, risikonya akan dikonsumsi oleh banyak pihak tanpa pandang kelas sosial dan tingkat pendapatan,’’ ujarnya, Ahad (18/2).
Ronny melanjutkan, multiplier effect pengurangan subsidi cukup luas. Karena penggunaan energi, terutama BBM, terjadi di banyak sektor.
’’Akibatnya bisa mendongkrak harga-harga lain, terutama harga komoditas pokok yang disebabkan oleh kenaikan biaya transportasi, atau harga pupuk, pun harga-harga barang yang lain,’’ jelasnya.
Termasuk harga layanan umum dan harga utlititas lainnya, seperti transportasi publik yang berbasiskan bahan bakar BBM.
Padahal, sebagaimana diketahui, beban masyarakat sudah cukup berat. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang berada di bawah level pertumbuhan ekonomi. Jadi jika dikurangi subsidinya, maka harga jualnya tentu akan naik, dan imbasnya akan melebar ke banyak sektor, yang akan membuat daya beli publik semakin tertekan.
Ronny menambahkan, perlu diingat bahwa di masa awal pemerintahan baru, terutama sejak pemerintahan SBY sampai ke Jokowi, selalu dirundung dilema yang sama, yakni opsi pengurangan subsidi energi.
’’Ini menandakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran, jika memang akhirnya dinyatakan sebagai pemenang, belum bisa keluar dari perangkap subsidi BBM ini. Secara pribadi sih saya berharap mereka lebih kreatif dalam menemukan sumber pembiayaan program baru, agar tidak membenani publik di satu sisi, tapi juga memberikan imbas produktif kepada perekonomian di sisi lain,’’ katanya.(far/dee/jpg)