Jumat, 20 September 2024

Penghapusan Mural Dianggap sebagai Bentuk Represi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, mengkritik tindakan aparat yang menghapus mural berisi kritik sosial seperti mural bergambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan "404: Not Found" di Tangerang dan mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Pasuruan.

Menurut Ubed, penghapusan mural itu merupakan bentuk baru represi dan pembungkaman.

"Tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi adalah bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi," ujar Ubed saat dihubungi, Sabtu (14/8/2021).

Ubed juga mengkritisi tindakan aparat yang sampai mengejar pembuat mural itu. Menurut dia, aparat seperti mengejar penjahat.

- Advertisement -

Ubed menjelaskan, mural merupakan ekspresi jiwa, perasaan, aspirasi, atau kritik simbolis melalui melukis di atas dinding, tembok, atau permukaan luas, dan biasanya bersifat permanen. Oleh karena itu, menurut Ubed, mural merupakan karya seni.

Sebagai karya seni, menurut Ubed, ia hanya bisa dinilai dan diperdebatkan. Terlebih lagi karya mural yang berisi kritik sosial tidak dapat dihakimi, apalagi dihapus tanpa diskusi.

- Advertisement -
Baca Juga:  Jika Pilpres Digelar Sekarang, Prabowo-Anies Menang 

Ubed juga menjelaskan, fenomena kritik sosial melalui mural itu menunjukkan tanda-tanda bahwa protes melalui saluran lain telah banyak dibungkam dan tidak lagi di dengar oleh kekuasaan.

"Jadi kritik sosial mural itu ekspresi dari aspirasi rakyat yang tersumbat," ujarnya.

Komnas HAM juga sempat berkomentar mengenai penghapusan mural. Menurut komisioner Beka Ulung Hapsara, ada norma dan standar yang bisa jadi panduan untuk mengatur kebebasan berekspresi.

"Ada beberapa aspek yang jadi ukuran pembatasan ekspresi seni. Keamanan nasional, keselamatan publik dan ketertiban Umum. Sementara dari kontennya, tidak menyebarkan kebohongan, SARA, ujaran kebencian," ujarnya.

Menurut dia, selama kebebasan berekspresi –termasuk mural bergambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan "404: Not Found" yang ramai di media sosial– itu masih dalam ketentuan-ketentuan di atas, maka tidak dapat dikatakan melanggar.

Baca Juga:  Polda dan KPU Riau Koordinasi Terkait Pemilu di Rutan

Beberapa waktu terakhir, mural yang berisi kritik sosial dihapus oleh aparat. Kasus pertama yang menyita perhatian publik adalah mural dengan wajah yang menyerupai Presiden Joko Widodo, namun pada bagian matanya ditutupi dengan tulisan "404: Not Found".

Mural di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang itu saat ini sudah dihapus oleh aparat. Kepolisian juga saat ini tengah mencari pelukis mural tersebut.

Kemudian, mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, juga bernasib sama. Mural tersebut dihapus aparat karena dianggap melanggar ketertiban umum.

Mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" semula terpampang di sebuah tembok rumah kosong di Bangil, sejak beberapa hari lalu. Selain tulisan, mural itu juga menampilkan dua karakter menyerupai hewan. Tak diketahui siapa pelukisnya.

Kecamatan Bangil kini telah menghapus mural tersebut berdasarkan perintah Satpol PP Kabupaten Pasuruan.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, mengkritik tindakan aparat yang menghapus mural berisi kritik sosial seperti mural bergambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan "404: Not Found" di Tangerang dan mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Pasuruan.

Menurut Ubed, penghapusan mural itu merupakan bentuk baru represi dan pembungkaman.

"Tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi adalah bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi," ujar Ubed saat dihubungi, Sabtu (14/8/2021).

Ubed juga mengkritisi tindakan aparat yang sampai mengejar pembuat mural itu. Menurut dia, aparat seperti mengejar penjahat.

Ubed menjelaskan, mural merupakan ekspresi jiwa, perasaan, aspirasi, atau kritik simbolis melalui melukis di atas dinding, tembok, atau permukaan luas, dan biasanya bersifat permanen. Oleh karena itu, menurut Ubed, mural merupakan karya seni.

Sebagai karya seni, menurut Ubed, ia hanya bisa dinilai dan diperdebatkan. Terlebih lagi karya mural yang berisi kritik sosial tidak dapat dihakimi, apalagi dihapus tanpa diskusi.

Baca Juga:  Putra Jokowi Tak Akan Diperlakukan Istimewa

Ubed juga menjelaskan, fenomena kritik sosial melalui mural itu menunjukkan tanda-tanda bahwa protes melalui saluran lain telah banyak dibungkam dan tidak lagi di dengar oleh kekuasaan.

"Jadi kritik sosial mural itu ekspresi dari aspirasi rakyat yang tersumbat," ujarnya.

Komnas HAM juga sempat berkomentar mengenai penghapusan mural. Menurut komisioner Beka Ulung Hapsara, ada norma dan standar yang bisa jadi panduan untuk mengatur kebebasan berekspresi.

"Ada beberapa aspek yang jadi ukuran pembatasan ekspresi seni. Keamanan nasional, keselamatan publik dan ketertiban Umum. Sementara dari kontennya, tidak menyebarkan kebohongan, SARA, ujaran kebencian," ujarnya.

Menurut dia, selama kebebasan berekspresi –termasuk mural bergambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan "404: Not Found" yang ramai di media sosial– itu masih dalam ketentuan-ketentuan di atas, maka tidak dapat dikatakan melanggar.

Baca Juga:  Bawaslu Meranti Rekomendasikan PSU

Beberapa waktu terakhir, mural yang berisi kritik sosial dihapus oleh aparat. Kasus pertama yang menyita perhatian publik adalah mural dengan wajah yang menyerupai Presiden Joko Widodo, namun pada bagian matanya ditutupi dengan tulisan "404: Not Found".

Mural di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang itu saat ini sudah dihapus oleh aparat. Kepolisian juga saat ini tengah mencari pelukis mural tersebut.

Kemudian, mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, juga bernasib sama. Mural tersebut dihapus aparat karena dianggap melanggar ketertiban umum.

Mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" semula terpampang di sebuah tembok rumah kosong di Bangil, sejak beberapa hari lalu. Selain tulisan, mural itu juga menampilkan dua karakter menyerupai hewan. Tak diketahui siapa pelukisnya.

Kecamatan Bangil kini telah menghapus mural tersebut berdasarkan perintah Satpol PP Kabupaten Pasuruan.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari