JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sudah memberikan sinyal bergabung ke koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Belum lagi Demokrat juga menunjukkan gelagat bisa ada di dalam pemerintah.
Apalagi Gerindra sudah mengajukan kosepnya ke Presiden Jokowi mengenai ketahanan pangan, energi, pengentasan kemiskinan dan permasalahan di bidang ekonomi. Bagaimana tanggapan partai koalisi jika Gerindra bergabung ke koalisi. Demokrat pun sama. Mengajukan 14 program prioritas kepada Presiden Jokowi untuk bisa menjadi bahan masukan.
Ketua DPP Partai Nasdem, Irma Suryani Chaniago menyatakan, sebaiknya partai yang selama ini berbeda dukungan di Pemilu 2019 bisa tetap konsisten pada sikapnya. Sebab demokrasi ini perlu dibangun dengan baik. Sehingga perlu adanya oposisi sebagai penyeimbang jalannya pemerintahan.
"Jadi yang menang silakan memerintah, yang kalah tetap menjadi oposisi agar tetap ada check balances bagi pemerintah," ujar Irma dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (12/10).
Irma lantas mengatakan adanya unjuk rasa yang dilakukan para mahasiswa beberapa waktu lalu di Gedung Parlemen karena tidak adanya oposisi. Karena partai semuanya sepakat mengenai Revisi UU KPK dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal ini dirasa tidak baik bagi iklim demokrasi di Indonesia. Karena adanya perbedaan pandangan sangat diperlukan sebagai masukan ke pemerintah berbuat yang terbaik lagi.
"Kalau semuanya masuk koalisi. Kok saya khawatir menciptakan parlemen jalanan. Terjadinya mahasiswa yang turun ke jalan itu karena pengawasan tidak ada, karena tidak ada check balances," katanya.
Nasdem menginginkan program Jokowi-Maaruf Amin tetap dikawal oleh partai oposisi. Kalau proses politik yang dikedepankan. Maka sangat tak baik bagi demokrasi di Indonesia.
“Nasdem mengingatkan oposisi penting, harus ada oposisi solitif dan elegan, jangan politik praktis dikedepankan, itu malah menciderai demokrasi," ungkapnya.
Terpisah, pendapat yang sama juga diutarakan oleh partai koalisi Jokowi. Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Achmad Baidowi mengatakan sejatinya tidak ada partai yang ingin menjadi oposisi. Semuanya ingin menjadi pemenang dan masuk dalam pemerintahan.
"Karena menjadi opisisi hanya takdir saja kalah saat pemilu. Jadi semua ingin menjadi bagian dari pemerintahan, karena ingin jadi bagian dari pemenang," tutur Baidowi.
Baidowi mengumpamakan jika terlalu banyak partai yang masuk dan bergabung ke koalisi, maka secara tidak sadar partai yang dahulunya beda dukungan di Pilpres hanya ingin mendapatkan keuntungan pragmatis.
"Kalau banyak terjadi dukungan ke pemerintah, maka jenis kelamin kita enggak jelas. Makin membenarkan ingin dapat kekuasaan," urainya.
Namun demikian, PPP tidak mengintervensi Presiden Jokowi dalam menyusun kabinet di pemerintahan. Baidowi mengatakan partainya menyerahkan semuanya kepada Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan di kabinet.
"PPP menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Jokowi untuk gunakan kapasitasnya. Ssesuai dengan pengalaman, Pak Jokowi tidak meninggalkan partai yang sudah berkeringat," tegasnya.
Sekadar informasi, di koalisi pendukung Jokowi-Maaruf Amin saat ini sudah ada sepuluh partai. Mereka adalah, PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, PSI, Perindo, PBB, PKPI.
Sementara Demokrat dan Gerindra sudah menunjukkan sinyal merapat ke pemerintah lima tahun mendatang. Kemudian PAN belum diajak bergabung oleh Jokowi di pemerintahan. Untuk PKS sudah menyatakan menjadi oposisi, melanjutkan komitmennya berada di luar koalisi.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi