Dewan Masih Tutup Opsi Revisi UU

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ide untuk membuka pembahasan ambang batas parlemen maupun pencalonan presiden masih belum konkret. Komisi II DPR memandang dinamika yang muncul dari berbagai partai masih sebatas wacana. Sebab, opsi revisi UU Pemilu saat ini masih terkunci.

Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menegaskan bahwa selama UU Pemilu tidak berubah, maka parliamentary threshold maupun presidential threshold tetap menggunakan aturan lama. "Itu baru diskusi (soal ambang batas). Tapi kalau soal mau melakukan itu (revisi UU, red) belum ada," terang Zulfikar di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin (4/11).

- Advertisement -

Kalaupun ada kemungkinan merevisi UU Pemilu, Zulfikar mengaku sangsi.  Sisa waktunya sudah mepet. Sebab, tahapan Pemilu 2024 sendiri harus sudah dimulai pada 2022. "Nah ya justru itu, apakah masih sempat. Itu salah satu pertanyaannya. Oleh karena itu menurut saya tetap gunakan yang sudah ada saja," lanjut Zulfikar.

Alih-alih meributkan ambang batas parlemen atau presiden, Zulfikar menilai ada hal yang lebih penting dibahas. Yakni pelaksanaan pemilu itu sendiri. Hingga kini, tanggal pelaksanaan Pemilu 2024 belum disepakati. Kualitas penyelenggaraan pemilu juga masih harus dibenahi. "Justru kita harus lebih banyak melakukan terobosan dari sisi manajemen," paparnya. 

- Advertisement -

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad turut menegaskan bahwa revisi UU Pemilu tidak akan dilakukan. Dengan begitu, perubahan parliamentary threshold dan presidential threshold belum bisa direalisasikan. "Dinamika antara yang minta dinaikkan dan turun PT kan memang ada. Namun kita kan sudah sepakat bahwa tidak ada revisi UU Pemilu," ungkap Dasco di Kompleks Parlemen Senayan kemarin. 

Di sisi lain, aktivis pemilu menilai usulan kenaikan ambang batas dinilai tidak krusial. Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana tidak sepakat dengan usulan sejumlah partai itu. Terlebih jika angka threshold dinaikkan. "Karena itu jelas menggerus hak partai politik kecil untuk mendapatkan kursi di parlemen," ujarnya kemarin.

Ihsan menambahkan, klaim sebagian elit politik terkait kenaikan parliamentary threshold mampu mengefektifkan kerja pemerintahan tidak sepenuhnya tepat. Kenyataannya, efektivitas pemerintah lebih ditopang pada koalisi partai pendukung presiden.

Hal ini terkait dengan parpol di Indonesia yang cenderung dinamis dan pragmatis. Saat pemerintahan pasca pemilu terbentuk, partai-partai pendukung pemerintah selalu bertambah. Koalisi yang dominan itu menjadi kekuatan pemerintah dalam meloloskan setiap kebijakan. "Perubahan pola koalisi untuk efektivitas (pemerintah) justru banyak terjadi setelah pemerintahan berjalan dan ruang koalisi baru dibuka," imbuhnya.

Terpisah, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi enggan berkomentar terkait threshold. Sebab hal-hal terkait sistem pemilu di luar kewenangannya. Namun jika revisi UU kembali dilakukan, pihaknya menyambut positif. Sebab, masih banyak aturan teknis dibutuhkan untuk mempermudah pelaksanaan pemilu 2024. "KPU kepentingannya sebenarnya kalau mau revisi UU terkait yang sifatnya teknis kepemiluan," ujarnya di Kantor KPU RI.(deb/far/bay/jpg)
 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ide untuk membuka pembahasan ambang batas parlemen maupun pencalonan presiden masih belum konkret. Komisi II DPR memandang dinamika yang muncul dari berbagai partai masih sebatas wacana. Sebab, opsi revisi UU Pemilu saat ini masih terkunci.

Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menegaskan bahwa selama UU Pemilu tidak berubah, maka parliamentary threshold maupun presidential threshold tetap menggunakan aturan lama. "Itu baru diskusi (soal ambang batas). Tapi kalau soal mau melakukan itu (revisi UU, red) belum ada," terang Zulfikar di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin (4/11).

Kalaupun ada kemungkinan merevisi UU Pemilu, Zulfikar mengaku sangsi.  Sisa waktunya sudah mepet. Sebab, tahapan Pemilu 2024 sendiri harus sudah dimulai pada 2022. "Nah ya justru itu, apakah masih sempat. Itu salah satu pertanyaannya. Oleh karena itu menurut saya tetap gunakan yang sudah ada saja," lanjut Zulfikar.

Alih-alih meributkan ambang batas parlemen atau presiden, Zulfikar menilai ada hal yang lebih penting dibahas. Yakni pelaksanaan pemilu itu sendiri. Hingga kini, tanggal pelaksanaan Pemilu 2024 belum disepakati. Kualitas penyelenggaraan pemilu juga masih harus dibenahi. "Justru kita harus lebih banyak melakukan terobosan dari sisi manajemen," paparnya. 

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad turut menegaskan bahwa revisi UU Pemilu tidak akan dilakukan. Dengan begitu, perubahan parliamentary threshold dan presidential threshold belum bisa direalisasikan. "Dinamika antara yang minta dinaikkan dan turun PT kan memang ada. Namun kita kan sudah sepakat bahwa tidak ada revisi UU Pemilu," ungkap Dasco di Kompleks Parlemen Senayan kemarin. 

Di sisi lain, aktivis pemilu menilai usulan kenaikan ambang batas dinilai tidak krusial. Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana tidak sepakat dengan usulan sejumlah partai itu. Terlebih jika angka threshold dinaikkan. "Karena itu jelas menggerus hak partai politik kecil untuk mendapatkan kursi di parlemen," ujarnya kemarin.

Ihsan menambahkan, klaim sebagian elit politik terkait kenaikan parliamentary threshold mampu mengefektifkan kerja pemerintahan tidak sepenuhnya tepat. Kenyataannya, efektivitas pemerintah lebih ditopang pada koalisi partai pendukung presiden.

Hal ini terkait dengan parpol di Indonesia yang cenderung dinamis dan pragmatis. Saat pemerintahan pasca pemilu terbentuk, partai-partai pendukung pemerintah selalu bertambah. Koalisi yang dominan itu menjadi kekuatan pemerintah dalam meloloskan setiap kebijakan. "Perubahan pola koalisi untuk efektivitas (pemerintah) justru banyak terjadi setelah pemerintahan berjalan dan ruang koalisi baru dibuka," imbuhnya.

Terpisah, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi enggan berkomentar terkait threshold. Sebab hal-hal terkait sistem pemilu di luar kewenangannya. Namun jika revisi UU kembali dilakukan, pihaknya menyambut positif. Sebab, masih banyak aturan teknis dibutuhkan untuk mempermudah pelaksanaan pemilu 2024. "KPU kepentingannya sebenarnya kalau mau revisi UU terkait yang sifatnya teknis kepemiluan," ujarnya di Kantor KPU RI.(deb/far/bay/jpg)
 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya