Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Baliho Populer, tapi Belum Tentu Dipilih

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tahapan Pemilu 2024 baru akan dimulai awal tahun depan. Meski demikian, para politisi sudah mulai curi start. Salah satunya melalui pemasangan baliho yang mulai mewarnai sudut-sudut ruang publik.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan, perang baliho yang belakangan terjadi menjadi salah satu strategi elit politik untuk meningkatkan popularitas. Biasanya, dilakukan oleh pimpinan partai politik dalam jumlah masif.

Namun dia menilai, baliho sebagai pengerak elektabilitas tidak cukup efektif untuk hari ini. "Pemilu 2024 ada 60 persen keterlibatan pemilih milenial dan pasca milenial. Karakter mereka pemilih rasional," ujarnya, kemarin (2/8).

Dengan karakter seperti itu, Alwan menilai cara-cara narsis tidak cukup ampuh. Sebab, umumnya pemilih juga akan melihat kiprahnya. "Popularitas mudah dinaikkan. Tapi belum tentu dipilih," imbuhnya.

Baca Juga:  MPR Lantik Jokowi, Cebong dan Kampret Diharapkan Tak Ada Lagi

Sebaliknya, yang paling efektif untuk menggaet pemilih rasional adalah membuktikan kinerja. Sosok yang dapat menunjukkan kiprah yang konkrit dan positif, diyakini akan lebih diterima calon pemilih.

Pengamat Politik Exposit Strategic Arif Susanto menambahkan, kampanye melalui baliho menjadi tradisi lama politik Indonesia. Pola itu selalu terjadi menjelang kontestasi politik. "Ini gejala lama yang menular," ujarnya.

Sama seperti Alwan, dia juga menilai tidak ada sisi positif untuk pemilih. Yang terjadi justru polusi visual di ruang publik. "Mengganggu konsentrasi penguna jalan," tegasnya.

Dari segi pendidikan politik, praktik baliho tidak memberikan kecerdasan bagi masyarakat. Apalagi, pesan yang disampaikan dalam baliho kerap kali berbanding terbalik antara kiprahnya sebagai politisi yang tidak perform. "Pesannya pun kecil tapi foto wajah yang mendominasi," tuturnya.

Baca Juga:  Muncul Wacana Duet Prabowo-Puan di Pilpres 2024

Dalam konteks pandemi, Arif justru menilai perang baliho mencerminkan minimnya empati. Sebab, ada indikasi mempolitisasi pandemi untuk kepentingan elektoral. Hal itu tercermin dari dominannya pencitraan dibanding pesan yang ingin disampaikan. "Kerja partai mestinya mainnya di level kebijakan," kata dia.(far/bay/jrr)

Laporan JPG, Jakarta

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tahapan Pemilu 2024 baru akan dimulai awal tahun depan. Meski demikian, para politisi sudah mulai curi start. Salah satunya melalui pemasangan baliho yang mulai mewarnai sudut-sudut ruang publik.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan, perang baliho yang belakangan terjadi menjadi salah satu strategi elit politik untuk meningkatkan popularitas. Biasanya, dilakukan oleh pimpinan partai politik dalam jumlah masif.

- Advertisement -

Namun dia menilai, baliho sebagai pengerak elektabilitas tidak cukup efektif untuk hari ini. "Pemilu 2024 ada 60 persen keterlibatan pemilih milenial dan pasca milenial. Karakter mereka pemilih rasional," ujarnya, kemarin (2/8).

Dengan karakter seperti itu, Alwan menilai cara-cara narsis tidak cukup ampuh. Sebab, umumnya pemilih juga akan melihat kiprahnya. "Popularitas mudah dinaikkan. Tapi belum tentu dipilih," imbuhnya.

- Advertisement -
Baca Juga:  DPR Periode 2014-2019 Akan Sahkan RUU Perkawinan Jelang Lengser

Sebaliknya, yang paling efektif untuk menggaet pemilih rasional adalah membuktikan kinerja. Sosok yang dapat menunjukkan kiprah yang konkrit dan positif, diyakini akan lebih diterima calon pemilih.

Pengamat Politik Exposit Strategic Arif Susanto menambahkan, kampanye melalui baliho menjadi tradisi lama politik Indonesia. Pola itu selalu terjadi menjelang kontestasi politik. "Ini gejala lama yang menular," ujarnya.

Sama seperti Alwan, dia juga menilai tidak ada sisi positif untuk pemilih. Yang terjadi justru polusi visual di ruang publik. "Mengganggu konsentrasi penguna jalan," tegasnya.

Dari segi pendidikan politik, praktik baliho tidak memberikan kecerdasan bagi masyarakat. Apalagi, pesan yang disampaikan dalam baliho kerap kali berbanding terbalik antara kiprahnya sebagai politisi yang tidak perform. "Pesannya pun kecil tapi foto wajah yang mendominasi," tuturnya.

Baca Juga:  MPR Lantik Jokowi, Cebong dan Kampret Diharapkan Tak Ada Lagi

Dalam konteks pandemi, Arif justru menilai perang baliho mencerminkan minimnya empati. Sebab, ada indikasi mempolitisasi pandemi untuk kepentingan elektoral. Hal itu tercermin dari dominannya pencitraan dibanding pesan yang ingin disampaikan. "Kerja partai mestinya mainnya di level kebijakan," kata dia.(far/bay/jrr)

Laporan JPG, Jakarta

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari