DESEMBER 1975.
Bus-bus tua dengan suara denyitan dan ringkikan sepanjang jalan itu memasuki Simpang Somel setelah melalui perjalanan panjang dari Padang, Sumatera Barat. Bus itu mengangkut para transmigran dari beberapa kabupaten dan provinsi dari Jawa. Mereka dikumpulkan di Tanjung Priok dari berbagai kabupaten dan diberangkatkan ke Pelabuhan Teluk Bayur, Padang lewat kapal tua. Lalu, dengan bus-bus itu mereka diberangkatkan ke tujuan akhir di Rimbo Bujang, Kabupaten Bungo Tebo, Jambi, lewat Jalan Lintas Sumatra.
Kala itu, Jalan Lintas Sumatera belum seperti sekarang yang sudah diaspal atau dibeton dan hanya menyisakan beberapa lubang saja di setiap kawasan. Ketika itu, justru mencari jalan yang sudah diaspal lumayan susah. Kebanyakan masih berupa kerikil, bahkan bebatuan yang ditebarkan di sepanjang jalan. Jangan heran, jika hari ini hanya perlu paling lama 6–7 jam perjalanan dari Padang hingga ke Simpang Somel itu, dulu hampir sehari semalam.
Dari Simpang Somel, bus-bus itu memasuki jalanan yang juga masih berkerikil –bahkan di beberapa bagiannya masih berupa tanah merah— menuju Desa Perintis. Desa paling ujung dari kawasan transmigrasi yang dibuka pemerintah Orde Baru ketika itu. Untuk menuju ke desa yang awalnya diberi nama Unit I –hampir semua desa di sana diurutkan dari Unit I hingga Unit XV, tapi uniknya tak ada Unit XIII dan XIV— perjalanan mereka melewati dua desa yang masih dalam persiapan, yakni Kelurahan Wirotho Agung (Unit II) –yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Rimbo Bujang— dan Desa Rimbo Mulyo (Unit III). Desa yang terakhir itu berbatasan langsung dengan Simpang Somel, Desa Sungai Mancur, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo Tebo. Dua desa dan desa-desa lainnya masih dalam tahap persiapan dan belum ada penghuninya.
Mereka yang menempati Desa Perintis adalah rombongan pertama transmigran yang didatangkan ke Rimbo Bujang. Hanya di desa inilah ada rombongan dari Jawa Barat (Jabar). Di desa lain yang datang setelahnya nyaris tak ada transmigran yang dari Jabar. Mereka datang dari berbagai kabupaten di Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), dan DI Yogyakarta. Maka, mereka yang datang dari Jabar menjadi salah satu warga yang “unik” bagi penduduk lainnya karena tak bisa berbahasa Jawa, karena bahasa ibunya Sunda. Sementara hampir semua penduduk Rimbo Bujang adalah mereka yang berbahasa ibu Jawa. Namun sekarang mereka sudah berbaur dan banyak keturunan mereka yang bisa berbahasa Jawa, sebagaimana mereka –juga yang berbahasa Jawa— akhirnya membiasakan diri berbahasa Melayu dialek Jambi.
Sebagai transmigran perintis, mereka memang mengalami masa-masa sulit. Meski pemerintah memberikan jatah makanan hingga satu tahun lebih –mulai dari beras yang agak menguning, ikan asin, minyak goreng, susu bubuk yang kadang sudah kedaluwarsa, beberapa kaleng ikan sarden, dan bahan makanan lainnya— kepada mereka untuk membangun hidup, tetapi kesulitan tetap dialami. Mereka harus membabat empat hektare lahan lagi dari lima hektare yang diberikan pemerintah. Satu hektare sudah dibersihkan untuk lokasi perumahan yang berjejer di jalan-jalan yang dibuat lurus-lurus. Tanah tersebut kemudian mereka kelola dan ditanami padi ladang, ubi-ubian, dan sebagainya. Semua benih awalnya dijatah pemerintah, tapi setelah panen pertama tidak lagi. Dalam proses ini, ada beberapa transmigran yang mati tertimpa kayu saat menebang, atau diterkam hewan buas seperti harimau atau beruang yang sebelumnya menjadikan hutan di Rimbo Bujang sebagai habitatnya.
Bagi warga yang memiliki uang hasil penjualan kekayaan mereka semasa di Jawa, mereka bisa hidup lebih baik. Kebanyakan dari mereka kemudian membuka warung. Tapi yang tidak punya, memang harus bekerja keras bersama keluarganya. Banyak dari mereka yang kadang hanya makan pisang atau ubi rebus dalam beberapa hari karena jatah makanan dari pemerintah tak cukup untuk makan sebulan. Kondisi inilah yang membuat banyak warga tak betah. Mereka kemudian menjual rumah dan tanah pemberian pemerintah tersebut dengan harga sangat murah ketika itu dan kembali ke Jawa. Bayangkan, untuk rumah kayu dan tanah lima hektare, hanya dijual Rp150–300 ribu kala itu. Yang membeli, kalau tidak tetangganya yang masih punya simpanan uang, adalah para pendatang yang banyak berdatangan dari Jawa menyusul saudara-saudaranya karena mendengar mereka dapat jatah tanah sangat luas dan jika membeli bisa didapatkan dengan harga murah.
Tak beberapa lama setelah kedatangan transmigran di Desa Perintis, secara bertahap hingga awal tahun 1980-an, hampir seluruh desa di Rimbo Bujang sudah terisi. Rombongan terakhir yang datang adalah warga yang menjadi korban pembangunan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jateng. Jika desa-desa lain ditempati banyak warga campuran dari berbagai kabupaten, mereka yang dari Wonogiri ini –disebut transmigran bedol desa— ditempatkan di beberapa desa, yakni Unit 15 dan beberapa desa yang kemudian disebut memakai urutan blok, yakni Blok A, Blok B, hingga Blok F.
Sejak Kabupaten Tebo berpisah dari induknya, Bungo Tebo, setelah era Reformasi, Rimbo Bujang dipecah menjadi tiga kecamatan. Yakni Rimbo Bujang yang terdiri dari desa-desa masa perintis dan awal; kemudian Rimbo Ulu yang datang dalam gelombang kedua; dan Rimbo Ilir yang merupakan desa-desa yang dihuni masyarakat dalam rombongan terakhir dari Wonogiri tersebut.
Di masa Orba, Rimbo Bujang pernah jadi daerah transmigrasi percontohan nasional karena dianggap berhasil secara ekonomi. Apalagi setelah dua hektare lahan jatah masing-masing kepala keluarga (KK) dimasukkan dalam program petani plasma kebun karet yang dikelola PTP VI. Dari sebuah daerah yang penduduknya sebelumnya nyaris patah hati, lima tahun setelah program itu dan karet sudah bisa disadap, secara ekonomi Rimbo Bujang menjadi salah satu kecamatan dengan pendapatan per kapita yang tinggi di Kabupaten Bungo Tebo, juga Provinsi Jambi. Presiden Soeharto beberapa kali datang ke Rimbo Bujang, juga beberapa menterinya.
Dari kebangkitan ekonomi Rimbo Bujang ini, seorang crazy rich bernama Dwi Hartono muncul. Orang tuanya adalah transmigran biasa di Desa Tira Kencana (Unit VI) dan sekarang memiliki mini market dan toko grosir lumayan besar di Pasar Sarinah, Wirotho Agung. Salah satu alumni SMP 13 yang berada di Tirta Kencana inilah yang membuat Rimbo Bujang viral karena diduga sebagai otak penculikan dan pembunuhan Kacab Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Jakarta, M Ilham Pradipta.***