Kartosoewiryo (2)

DENGAN pendidikan modern di sekolah Belanda, SM Kartosoewirjo menjadi sosok yang kritis. Bacaan-bacaan Barat, termasuk tentang sosialisme dan komunisme yang didapatkannya dari sang paman, Mas Marco, membuat Kartosoewiryo mulai berpikir tentang penindasan nyata yang dilakukan Belanda kepada tanah kelahirannya.

Saat menjadi Pemimpin Redaksi Harian Fadjar Asia, dia banyak menulis tentang ketidaksukaannya terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Surakarta) yang bekerja sama dengan Belanda. Dalam artikelnya tampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya. Dari sini terlihat bacaannya tentang sosialisme dan komunisme mulai merasuki pemikirannya.

- Advertisement -

Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewiryo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong, Cianjur. Dia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).

Alasan Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerja sama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap ngotot pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah kolonial.

- Advertisement -

Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewiryo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah. Pada waktu itu, ketika Amir Syarifuddin diangkat menjadi perdana menteri, Sugondo Djojopuspito, yang kenal baik dengan Kartosoewiryo dan Amir ketika peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di Batavia, membujuk Kartosoewiryo: Wis to Mas, miliho menteri opo wae asal ojo Menteri Pertahanan utowo Menteri Dalam Negeri (Sudahlah Mas, pilih jadi menteri apa saja, tetapi jangan Menteri Pertahanan atau Menteri Dalam Negeri). Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek dasar negoro ora Islam (Tidak mau, kalau dasar negara bukan Islam). Mendengar ini, Sogondo merasa aneh dengan perubahan arah politik Kartosuwiryo.

Kekeraskepalaaan pemikirannya dibuktikan ketika dia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Perintah mundur itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville –dalam perjanjian yang disepakati Amir Syarifuddin– yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan RI. Karena menurut dia, semua perjanjian yang dibuat pemerintah dengan Belanda menyengsarakan rakyat Indonesia, perjanjian-perjanjian semuanya hanya untuk mengelabui orang-orang penting agar mereka taat kepadaBelanda. Maka dari itu Kartosoewiryo menolak mentah-mentah semua perjanjian yang diadakan oleh Belanda.

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Kartosoewiryo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewiryo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Pemberontakan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Istilah “revolusi memakan anak sendiri” yang sebelumnya disematkan saat Amir Syarifuddin dihukum mati karena terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948, juga tersematkan pada diri lelaki kelahiran Cepu tersebut. Padahal di masa revolusi kemerdekaan, Kartosoewiryo bukan hanya bergerak dengan partai politik, tetapi juga bersama pasukannya di Divisi Siliwangi mengankat senjata.

Dalam sejarah pergerakan Indonesia, pemahaman di bidang politik dan ideologinya membuat Semaun (sosialis-komunis) dan Soekarno (nasionalis) menganggapnya sebagai guru. Ini dianggap aneh karena justru setelah itu dia mendirikan negara Islam dan memberontak dengan landasan negara Islam tersebut (DI/TII). Padahal, dengan pemahaman Islam Kejawennya –ditengari pernah bertapa tanpa makan dan minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta– Kartosoewiryo dianggap tidak memiliki ideologi yang kuat untuk mendirikan negara Islam. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menjelaskan tentang itu.

Ini diperkuat dengan keyakinan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat ketika itu, bahwa dia bisa menjadi Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dll, dan memenangkan peperangan apa pun jika bisa menyatukan dua senjata pusaka, yakni keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang, dua senjata mistis yang selalu dibawanya saat bergerilya.

Di luar kontroversi keyakinannya, pada kenyataannya ide negara Islam yang diyakini dan diproklamirkannya, telah meraih banyak pengikut. Tidak hanya Kahar Muzakkar, Ibnu Hajar, Tengku Daud Beurueh, atau Amir Fatah, juga di masa kini ketika banyak penganut Islam garis keras yang masih terpesona dengan apa yang pernah dilakukannya.***

DENGAN pendidikan modern di sekolah Belanda, SM Kartosoewirjo menjadi sosok yang kritis. Bacaan-bacaan Barat, termasuk tentang sosialisme dan komunisme yang didapatkannya dari sang paman, Mas Marco, membuat Kartosoewiryo mulai berpikir tentang penindasan nyata yang dilakukan Belanda kepada tanah kelahirannya.

Saat menjadi Pemimpin Redaksi Harian Fadjar Asia, dia banyak menulis tentang ketidaksukaannya terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Surakarta) yang bekerja sama dengan Belanda. Dalam artikelnya tampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya. Dari sini terlihat bacaannya tentang sosialisme dan komunisme mulai merasuki pemikirannya.

Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewiryo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong, Cianjur. Dia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).

Alasan Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerja sama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap ngotot pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah kolonial.

Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewiryo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah. Pada waktu itu, ketika Amir Syarifuddin diangkat menjadi perdana menteri, Sugondo Djojopuspito, yang kenal baik dengan Kartosoewiryo dan Amir ketika peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di Batavia, membujuk Kartosoewiryo: Wis to Mas, miliho menteri opo wae asal ojo Menteri Pertahanan utowo Menteri Dalam Negeri (Sudahlah Mas, pilih jadi menteri apa saja, tetapi jangan Menteri Pertahanan atau Menteri Dalam Negeri). Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek dasar negoro ora Islam (Tidak mau, kalau dasar negara bukan Islam). Mendengar ini, Sogondo merasa aneh dengan perubahan arah politik Kartosuwiryo.

Kekeraskepalaaan pemikirannya dibuktikan ketika dia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Perintah mundur itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville –dalam perjanjian yang disepakati Amir Syarifuddin– yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan RI. Karena menurut dia, semua perjanjian yang dibuat pemerintah dengan Belanda menyengsarakan rakyat Indonesia, perjanjian-perjanjian semuanya hanya untuk mengelabui orang-orang penting agar mereka taat kepadaBelanda. Maka dari itu Kartosoewiryo menolak mentah-mentah semua perjanjian yang diadakan oleh Belanda.

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Kartosoewiryo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewiryo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Pemberontakan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Istilah “revolusi memakan anak sendiri” yang sebelumnya disematkan saat Amir Syarifuddin dihukum mati karena terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948, juga tersematkan pada diri lelaki kelahiran Cepu tersebut. Padahal di masa revolusi kemerdekaan, Kartosoewiryo bukan hanya bergerak dengan partai politik, tetapi juga bersama pasukannya di Divisi Siliwangi mengankat senjata.

Dalam sejarah pergerakan Indonesia, pemahaman di bidang politik dan ideologinya membuat Semaun (sosialis-komunis) dan Soekarno (nasionalis) menganggapnya sebagai guru. Ini dianggap aneh karena justru setelah itu dia mendirikan negara Islam dan memberontak dengan landasan negara Islam tersebut (DI/TII). Padahal, dengan pemahaman Islam Kejawennya –ditengari pernah bertapa tanpa makan dan minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta– Kartosoewiryo dianggap tidak memiliki ideologi yang kuat untuk mendirikan negara Islam. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menjelaskan tentang itu.

Ini diperkuat dengan keyakinan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat ketika itu, bahwa dia bisa menjadi Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dll, dan memenangkan peperangan apa pun jika bisa menyatukan dua senjata pusaka, yakni keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang, dua senjata mistis yang selalu dibawanya saat bergerilya.

Di luar kontroversi keyakinannya, pada kenyataannya ide negara Islam yang diyakini dan diproklamirkannya, telah meraih banyak pengikut. Tidak hanya Kahar Muzakkar, Ibnu Hajar, Tengku Daud Beurueh, atau Amir Fatah, juga di masa kini ketika banyak penganut Islam garis keras yang masih terpesona dengan apa yang pernah dilakukannya.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 3

(Kurikulum) Sastra 2

(Kurikulum) Sastra