PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dan jajarannya “dikeramasi” oleh Komisi X DPR RI buntut kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang ugal-ugalan, Selasa (21/5). Usai memberikan penjelasan mengenai proses penetapan UKT, Nadiem menjanjikan bakal menghentikan UKT-UKT yang naik tidak wajar.
Dalam rapat kerja yang dimulai Selasa pagi di Gedung DPR/MPR, Jakarta, satu persatu anggota dewan memberikan kritikan keras pada Nadiem dan jajarannya soal polemik yang terjadi. Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengkritik langkah Nadiem yang lamban
dalam mengatasi polemik UKT mahal ini. ”Sederhananya tuh begini, Kemendikbudristek telat memberikan tanggapan terkait isu ini,” ungkapnya.
Kritikan ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, Kemendikbudristek memang baru bertindak setelah gelombang UKT mahal gencar disuarakan mahasiswa di kampus-kampus. Hingga akhirnya viral.
Bahkan, kata dia, jika pihaknya tidak bertemu dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) untuk menampung aspirasi mereka pada pekan lalu, mungkin Kemendikbudristek belum tentu mengambil tindakan. ”Kalau itu tidak masuk ke Komisi X mungkin tidak ada hari ini (kemarin, red),” keluhnya.
Selanjutnya, Dede mendesak agar Kemendikbudristek segera mengevaluasi Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lingkungan Kemendikbudristek. Pasalnya, aturan tersebut dinilai memberikan ruang bagi PTN untuk menaikkan UKT serta iuran pengembangan institusi (IPI) secara serampangan.
Kemendikbudristek juga diminta mencabut biaya UKT golongan atas yang melonjak drastis. Termasuk, memberikan ruang dan jaminan bagi mahasiswa baru untuk dapat mengajukan peninjauan ulang UKT-nya sesuai perekonomian keluarga.
”Jadi, hari ini (kemarin, red) kita mendesak segera agar dalam satu minggu ke depan sebelum penerimaan mahasiswa baru itu sudah dievaluasi,” tegas Politisi Partai Demokrat tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi X DPR RI Nuroji menyampaikan kekecewaannya terhadap pernyataan salah satu pejabat Kemendikbudristek yang menyebutkan pendidikan tinggi bersifat tersier. Ia menegaskan, bahwa pendidikan, termasuk di perguruan tinggi, merupakan amanat Undang-Undang Dasar yang perlu diperjuangkan untuk sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
”Saya rasa pernyataan tersebut sangat kurang mendidik bagi masyarakat, seolah-olah kuliah itu tidak penting. Bagaimana bisa ini disampaikan kepada masyarakat sampai dipublikasikan? Nah ini saya rasa perlu dikoreksi,” ungkapnya.
Harusnya, kata dia, negara wajib untuk memberikan akses pada masyarakat untuk dapat memperoleh pendidikan tinggi. Apalagi, bidang pendidikan ini telah diberikan mandatory spending sebesar 20 persen dari APBN.
”Ini yang harusnya kita perjuangkan supaya SDM kita, masyarakat kita, itu lebih lebih banyak lagi yang bisa dibiayai oleh negara untuk perguruan tingginya,” tegas Politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Seperti diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi Indonesia saat ini masih rendah. APK berada di angka 30-35 persen. Bahkan, kenaikan signifikannya ini masih ditopang oleh peran perguruan tinggi swasta yakni sebesar 70 persen.
Senada, Anggota Komisi X DPR RI Ratih Megasari Singkarru menilai polemik kenaikan UKT ini sebuah ironi. Apalagi ditambah pernyataan pejabat Kemendikbudristek yang menyatakan pendidikan tinggi bersifat tersier dan tidak wajib. Padahal, pemerintah sering menyuarakan ambisinya untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi.
”Jika akses ke pendidikan tinggi dibatasi oleh faktor ekonomi, bagaimana mungkin kita dapat mencapai cita-cita tersebut? Pendidikan tinggi adalah kunci untuk mempersiapkan generasi muda yang kompeten dan mampu bersaing di tingkat global,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI Putra Nababan meminta agar besaran IPI harus dilakukan dengan memperhitungkan kemampuan orang tua. Kemudian, ada ruang banding bagi calon mahasiswa baru yang tidak sanggup membayar UKT-nya yang terlampau besar.
Selain itu, dia meminta agar setiap pengajuan banding maupun sanggahan UKT yang dilakukan oleh calon mahasiswa baru harus ditindaklanjuti secara transparan oleh pihak perguruan tinggi dalam waktu satu pekan. Hal ini agar hasil dari banding yang dilakukan dapat segera diketahui. Selain itu juga, perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan keringanan cicilan pembayaran terhadap hasil banding UKT. ”PTN menurut saya perlu diawasi,” ungkapnya.
Sama seperti anggota lainnya, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta agar Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 direvisi. Sebab, aturan ini dimaknai kampus sebagai peluang untuk menaikkan UKT mereka.
”Karena itu, kita minta dalam forum yang baik ini Pak Menteri untuk mempertimbangkan adanya revisi terkait dengan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024,” tuturnya. Huda menekankan komitmen Nadiem untuk melakukan peninjauan ulang. sebab ini sudah menjadi persoalan yang luar biasa.
Dalam kesempatan tersebut, Nadiem menjanjikan akan segera menghentikan kenaikan biaya UKT yang tidak rasional di PTN. Ia akan melakukan pengecekan pada kenaikan-kenaikan yang tidak wajar tersebut. ”Lompatan-lompatan yang tidak masuk akal, tidak rasional itu akan kami berhentikan. Jadi kami akan memastikan bahwa kenaikan-kenaikan yang tidak wajar itu akan kami cek, kami evaluasi,” tuturnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, pihaknya terus berkomitmen dalam memastikan kenaikan UKT tetap rasional. Terlebih, semua kenaikan harus mendapatkan rekomendasi dari Kemendikbudristek. Oleh karenanya, jika ada PTN yang akhirnya melakukan kenaikan UKT terlalu tinggi dan tidak rasional akan segera ditindaklanjuti olehnya.
”Saya juga akan meminta semua ketua perguruan tinggi dan prodi-prodi untuk memastikan kalau ada peningkatan harus rasional, harus masuk akal, dan tidak boleh terburu-buru,” sambungnya.
Di sisi lain, Nadiem menilai, adanya kenaikan UKT ini harus dijadikan momen untuk semua pihak lebih bekerja keras lagi dalam memperjuangkan peningkatan penerimaan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Sebab menurutnya, keberadaan KIP-K ini akan sangat membantu mahasiswa dengan masalah ekonomi untuk bisa menempuh pendidikan tinggi.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, Teknologi (Dirjen Diktiristek) Kemendikbudistek Abdul Haris mengungkapkan bahwa sejatinya hanya 3,7 persen dari total populasi mahasiswa baru 2024 yang masuk kelompok UKT 8-12 alias UKT tinggi. Angka ini pun disebutnya turun dari tahun sebelumnya sebesar 5,9 persen.
Menurutnya, sebagian besar mahasiswa baru 2024 masuk kelompok UKT menengah dengan persentase 67,1 persen. Kelompok ini dikenakan UKT kelompok 3-7. Sementara 29,2 persen lainnya masuk di kelompok UKT rendah. Kelompok ini meliputi mahasiswa dengan UKT 1, UKT 2, dan penerima bantuan KIP-K. Persentasenya naik dari sebelumnya, sebesar 24,4 persen.
Sebagai gambaran, kelompok UKT rendah ini yang UKT-nya berada di angka Rp500 ribu hingga di bawah Rp2 juta. Kemudian kelompok UKT menengah berada di kisaran Rp2 juta hingga di bawah Rp8 juta. Terakhir, kelompok UKT tinggi dengan besaran UKT di atas Rp8 juta.
”Nah ini, mungkin pimpinan dan anggota Komisi X, kami ingin menyampaikan bahwa UKT rendah tetap merupakan dominasi dari para mahasiswa itu,” jelasnya.
Dia mencontohkan di Universitas Sumatera Utara (USU). Di mana, jumlah mahasiswa baru yang masuk ke kelompok UKT rendah tercatat sebanyak 862 orang. Sedangkan, jumlah mahasiswa baru yang masuk ke kelompok UKT tinggi sebanyak 248 orang.
”Bahkan yang kemarin cukup ramai di Universitas Jenderal Soedirman. Itu kalau kita perhatikan, justru angka di UKT rendah juga banyak, hampir 867 orang. Kalo kita bandingkan dengan UKT tingginya hanya sekitar 12 mahasiswa,” papar Haris.
Lalu, dia memastikan, bahwa mahasiswa yang dikenakan kelompok UKT yang tidak tepat bisa dilakukan peninjauan kembali oleh pimpinan PTN. Orang tua mahasiswa bisa mengajukan pengajuan peninjauan kembali dengan menyediakan data pendukung untuk klarifikasi dan justifikasi pemberian keringanan UKT.
Berdasarkan pasal 17 Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, peninjauan kembali tarif UKT bagi mahasiswa bisa dilakukan dengan syarata ada perubahan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tuanya, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa tersebut. Selain itu, juga bisa jika ada ketidaksesuaian data ekonomi mahasiswa dengan fakta di lapangan. ”Kami meminta pada para rektor agar bila ada keberatan dari mahasiswa agar beri ruang untuk konsultasi,” ungkapnya.
Sementara itu, dari Unri dilaporkan oleh Menteri Hukum Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau (Unri) Rialdy mengatakan dari hampir 50 mahasiswa baru yang terancam kuliah, kini sudah diturunkan UKT-nya. “Ada juga yang masih tetap, namun sudah membayar dan tinggal beberapa yang melanjutkan kuliah keluar, tidak di Unri,” ujar Rialdy, Selasa (21/5).
“Dan yang terkonfirmasi baru tiga orang yang melanjutkan kuliah di luar, tidak di Unri. Dari BEM Unri tentu kami akan mengambil langkah-langkah lain, terutama beberapa waktu belakangan dari BEM juga sudah melaksanakan RDPU dengan DPR RI bersama Komisi X,” katanya.
Ia mengungkapkan, pihaknya dalam hal ini meminta pihak Unri untuk meninjau kembali kebijakan Kemendikbud dari Permendikbuddikti Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
“Tentu kami berharap setiap pengambilan keputusan terkait kebijakan yang dibebankan kepada mahasiswa, pihak kampus mengajak dan melibatkan mahasiswa dalam pengambilan keputusannya. Agar bisa sama-sama tahu dan tidak adanya gonjang-ganjing lagi nanti,” harapnya.
Sebelumnya, Wakil Rektor IV Unri Bidang Perencanaan, Kerja Sama dan Sistem Informasi Dr Ir Sofyan Husein Siregar MPhil mengatakan, dalam pemberlakuan UKT tahun ini, Unri berupaya menjunjung tinggi azas keadilan pendidikan dan melakukan verifikasi maksimal terhadap bukti dokumen penghasilan dan ekonomi orang tua/wali mahasiswa yang dikirimkan secara online saat pendaftaran ulang.
“Hasilnya kita berhasil memasukkan 803 dari sekitar 2.000 mahasiswa baru atau hampir 50 persen ke kelompok pembayar UKT rendah, yakni Rp500 ribu (UKT 1) dan Rp1 juta (UKT 2) per semester. Rasanya sudah sangat terjangkau dan memberi rasa adil untuk masyarakat,” ujarnya.(mia/das)
Laporan JPG dan DOFI ISKANDAR, Jakarta dan Pekanbaru