LETNAN Jenderal TNI Syarwan Hamid berpulang. Dan kini telah memasuki bilik sejarah. Tak akan pernah lagi kembali untuk selamanya. Kepergiannya menimbulkan duka yang mendalam khususnya bagi masyarakat Riau. Sebab Syarwan Hamid adalah pemuka masyarakat Riau yang dikagumi karena telah banyak berjasa.
Sesungguhnya tidak hanya Riau, para pejuang reformasi 1998 di tanah air pun berutang budi pada Syarwan Hamid. Sebab semasa Syarwan Hamid menjabat Menteri Dalam Negeri, dia sukses memberikan umpan-umpan manis kepada Presiden BJ Habibie untuk menggolkan wujud agenda reformasi di bidang politik dan pemerintahan.
Seperti ditulis Andi Mallarangeng, Syarwan Hamid adalah the right man on the right place at the right time. Maksudnya, kepercayaan yang diberikan oleh Presiden BJ Habibie kepada Syarwan Hamid untuk menduduki kursi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Reformasi, adalah orang yang tepat pada posisi yang tepat dan pada waktu (momentum) yang tepat.
Syarwan Hamid selaku Mendagri merespons kepercayaan itu dengan segera menyiapkan perubahan UU kepartaian, pemilu, dan susunan kedudukan MPR/DPR/DPRD. UU tersebut harus diubah dengan berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi sebagai agenda reformasi. Paradigma pemerintahan yang sentralistik harus diubah pula dengan paradigma desentralisasi melalui pemberian otonomi daerah yang luas dan nyata.
Sejarah mencatat, semua agenda penataan kehidupan baru bangsa Indonesia di bidang politik dan pemerintahan berjalan dengan mulus dalam tempo relatif singkat. Hal ini tidak terlepas dari faktor kecerdasan Syarwan Hamid sebagai seorang perwira tinggi TNI yang berani mengungkapkan pemikiran terbuka dan maju, serta memiliki affirmative action (keberpihakan nyata) terhadap agenda reformasi dan terhadap semangat otonomi daerah yang pada masanya, tumbuh subur di seluruh pelosok tanah air.
Pada 1999, Provinsi Riau yang hanya memiliki enam daerah otonom (Bengkalis, Kota Pekanbaru, Kampar, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Kepulauan Riau), dimekarkan menjadi 15 kabupaten dan kota. Di wilayah daratan, Riau mendapatkan enam daerah otonomi baru (Siak, Kota Dumai, Rohil, Robul, Pelalawan dan Kuantan Singingi), sedang di wilayah kepulauan diperoleh tiga daerah otonom baru (Kota Batam, Karimun, dan Natuna).
Kalau bukan karena keberpihakan Mendagri Syarwan Hamid dan hubungannya yang sangat serasi dengan Presiden BJ Habibie yang sekaligus adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dan menguasai mayoritas kursi di DPR RI (hasil Pemilu 1997), agenda reformasi politik dan pemerintahan, rasanya tak akan berjalan mulus. Tren demokratisasi dan keterbukaan yang melanda dunia ikut pula mendukung, maka semuanya menjadi klop.
Ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan eksistensi Syarwan Hamid, adalah seperti ungkapan Jenderal Douglas MacArthur, Pahlawan Amerika dalam Perang Dunia II. Jenderal Douglas MacArthur mengatakan “The old soldier never die, they just fade away” (maksudnya kira-kira, serdadu tua tak pernah mati, dia hanya menghilang), kata Jenderal Douglas MacArthur dengan tegar, ketika dia kembali dari Perang Korea tahun 1951 dan diminta berpidato di depan Kongres Amerika.
Ucapan yang dahsyat itu kemudian dikenang sepanjang masa. Dia sangat bangga akan pengabdiannya sebagai tentara untuk membela kehormatan tanah airnya. Tentara tetaplah tantara, tua bangka sekali pun. Dia tak pernah letih bahkan tak pernah mati. Ucapan itu memang sebuah hiperbola dan tidak bisa diartikan secara harfiah. Sebab secara harfiah, serdadu tua atau muda sama saja, mereka pasti tidak memiliki nyawa cadangan. Sebab tak ada makhluk yang betahan hidup selamanya. Secara alamiah manusia lahir, menjadi kanak-kanak, dewasa, menapak karir berjenjang sampai ke puncak, kemudian tua, pensiun, lalu mati, dan sebagian dilupakan sejarah.
Ucapan Jenderal Douglas MacArthur itu mengandung makna yang sangat dalam dan harus dilihat sebagai sebuah pesan (message) yang mampu melintasi samudera melintasi melintasi benua dan melintasi zaman. Hakikatnya adalah semangat tak kenal menyerah, jiwa yang selalu bergelora, api perjuangan yang tak pernah padam, dan pengabdian yang tak ada ujungnya. Walaupun tak lagi berada di gelanggang.
Syarwan Hamid dan MacArthur tentu beda. Mereka hidup pada zaman dan tantangan yang berbeda. Syarwan Hamid bukan Douglas MacArthur yang pernah memenangkan PD II sehingga mendapatkan anugerah pangkat jenderal berbintang lima. Tapi semangat yang ditunjukkan kedua jenderal ini terpancar nyata dalam sepak terjang pengabdiannya.
Ketika Letjend TNI (Purn) Syarwan Hamid mendirikan Laskar Melayu Bersatu dan dianugerahi gelar Datuk Panglima Besar Laskar Melayu Bersatu, ada pihak yang memandang miring. Namun pada akhirnya semua dapat memahami. Ini bukan masalah panggung, ini adalah masalah kepedulian Syarwan Hamid terhadap nasib masyarakat Melayu yang terpinggirkan di kampungnya sendiri. Ini pengabdian terhadap kampung halaman. Syarwan Hamid ingin memotivasi dan menggerakkan masyarakat Melayu untuk bangkit, sehingga bisa menjadi tuan di negerinya sendiri.
Kita menanti munculnya Syarwan Hamid Syarwan Hamid muda yang memiliki semangat pengabdian seperti sang jenderal. Tatangan pasti beda. Tapi kita yakin pada ungkapan Sejarawan Inggris Arnold Joseph Toynbee: "Setiap masa ada orangnya setiap orang ada masanya." Patah tumbuh hilang berganti.***