Menabur Kritik Tak Harus Menuai Badai
Apa guna kritik? Untuk meluruskan hal yang bengkok. Kalau tak didengar, untuk apa? Apalagi bisa dicap pembangkang. Bahkan sekelas Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) merasakan hal itu. Ia mengeluhkan banyak kritik dari oposisi kepada pemerintah yang disalahartikan.
Bahkan dianggap sebagai gangguan dan dicap tidak ‘Merah Putih’. Padahal tujuan mengkritik adalah baik. Itu sebab lazim adanya kotak yang bertuliskan kritik dan saran. Bukan pujian dan saran.
"Sayangnya, niat baik seperti itu seringkali disalahartikan. Pandangan atau masukan kritis dianggap sebagai bentuk serangan atau gangguan untuk kepentingan politik tertentu. Lebih menyakitkan, jika setiap masukan dan pendangan yang berbeda, dianggap sebagai bentuk perlawanan dan dianggap tidak 'merah putih', " ujar AHY dalam pidato kebangsaan di YouTube CSIS, Jakarta, Senin (23/8/2021) sebagaimana dilansir Jawa Pos.
AHY juga menuturkan, sikap dan posisi kritis partai yang berada di luar pemerintahan adalah bentuk cheks and balance. Pemerintah mesti tetap dikontrol agar tidak salah arah. Sikap kritis itu bukan lahir dari ketidaksukaan tetapi itu memang peran yang harus dimainkan oleh Parpol terutama di dewan. Karena satu di antara fungsli legislatif adalah kontrol atau pengawasan.
Tapi repotnya kalau parpol yang resmi saja dibuat tidak nyaman ketika menjadi kritis karena direspon negatif apalagi rakyat biasa. Dicap nyinyir, belum move on bahkan ditangkap bila bersikap kritis.
Tentu hal ini membuat orang takut menyampaikan pandangan berbeda. Padahal Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia tegas menyatakan bahwa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan yang kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat. Berdasarkan hal tersebut, Indonesia dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi, sebagai sistem pemerintahan, mengizinkan dan memberikan hak (kebebasan) kepada warga negaranya untuk menyampaikan pendapat, dan turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.
Sebuah contoh kasus adalah ada rasa risih penguasa melihat protes rakyat lewat mural. Seperti mural 'Tuhan Aku Lapar' yang sempat viral di media sosial pada pertengahan Juli 2021 lalu. Mural tersebut berada di Jalan Aria Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten. Kini mural itu sudah dihapus dengan cat hitam.
Tapi yang pasti bukan malaikat yang disuruh Tuhan menghapusnya. Saya terkesan pendapat seniman Sujiwo Tejo soal itu.
"Mestinya yang dihapus itu pujian, karena itu tempat bagi para penjilat yang belum tentu mencintai NKRI, tapi menggunakan Pak Jokowi sebagai ladang untuk mungkin, sorry to say, cari rejeki," ujarnya dikutip media beberapa waktu lalu.
Sujiwo Tejo juga berpendapat mural adalah seni yang bisa memberikan hiburan dan menghilangkan stress. Namun terlanjur disikapi serius begitu.
"Mural bisa dihapus tapi kata ‘Tuhan Aku Lapar’ semakin nempel," katanya.
"Justru yang ditempatkan di bokor kencana atau bokor emas adalah kritik, orang Jawa bilang kritikan itu diletakkan di bokor emas, kalau pujian tempatnya di paidon (tempat meludah)," ungkap Tejo.
Mestinya yang dihapus bukan mural itu tetapi cara berfikir bahwa berbeda itu adalah musuh. Kalau tak bisa menghapus lapar, menghapus mural pun jadilah. Padahal mural itu cara rakyat menyampaikan pendapat. Mestinya direspon dengan solusi. Misalnya alangkah indahnya ada ATM beras di setiap kantor lurah misalnya.
Warga yang pegang kartu miskin misalnya bila terdesak tak punya makanan seperti di zaman pandemi ini bisa ke sana. Jadi yang berwenang tak perlu lagi ribet antarkan bantuan. Atau melepaskan konvoi bantuan dengan bendera start yang seperti papan catur itu biar keren kalau dimuat di media misalnya.
Realitas yang muncul justru nilai-nilai demokrasi tidak terlihat menjadi acuan dalam berbangsa dan bernegara. Kepentingan pribadi maupun golongan diutamakan daripada kepentingan umum, apalagi bagi mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, yaitu oknum pejabat pemerintahan.
Akibatnya, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Indonesia menempati peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit dengan skor 6,3. Skor ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Lalu, kekakuan pemerintah diiringi dengan sifat represif aparat menjadikan demokrasi di Indonesia semakin terpuruk.
Satu lagi di antara tanda kemunduran demokrasi adalah maraknya korupsi. Demokrasi dan korupsi adalah dua hal kontradiktif dari segi nilai, demokrasi mementingkan kepentingan rakyat, sedangkan korupsi mementingkan kepentingan individu maupun golongan. Maraknya praktik korupsi mencerminkan bahwa nilai demokrasi di Indonesia tidak diterapkan secara ideal. Senada dengan yang diutarakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan akan cenderung korup, saat kekuasaan absolut maka sikap korup juga absolut.
Maka sudah selayaknya kita menyelamatkan sistem demokrasi dari perangkap kekuasaan absolut. Melawan stigma-stigma negatif terhadap sikap kritis. Kritis itu bukan dosa. Kritis itu tanda sayang pada bangsa ini.
Semoga apa yang disampaikan Ketum Demokrat dalam pidato kebangsaan itu dapat jadi penyadar bagi elite bangsa ini bahwa tak seharusnya menabur kritik mesti menuai badai.
Sebab kedaulatan tertinggi itu memang ada di tangan rakyat.
Demokrasi memberi hak untuk kita berbeda. Tidak harus jadi laki-laki semua atau perempuan semua. Berbeda itu alami. Berbeda itu indah. Demokrasi juga memberi kita ruang untuk sepakat atau tidak sepakat. Seperti semangat Bhineka Tunggal Ika. Meski berbeda-beda tetapi tetap satu. Semoga.