Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia

(RIAUPOS.CO)- Hari Keanekaragaman Hayati Dunia jatuh pada tanggal 22 Mei 2024. Kaya dan rumit, merupakan dua kata yang sangat menggambarkan karakteristik keanekaragaman hayati, ia bukan hanya tentang gajah, harimau, orang utan, dan berbagai satwa karismatik lainnya yang selama ini familiar bagi sebagian besar orang. Ia juga berkait kelindan dengan udara yang kita hirup, mangga yang kita makan, dan bahkan secangkir kopi yang kita minum di pagi hari.

Tumbuhan, melalui fotosintesis, menghasilkan oksigen yang kita hirup untuk bertahan hidup. Sementara itu, mangga dan kopi tidak akan berbuah tanpa bantuan penyerbukan dari lebah. Ini hanyalah secuil contoh interaksi rumit antar organisme yang tidak terhitung jumlahnya di alam, sebuah simfoni kehidupan yang telah berevolusi selama jutaan tahun.

Namun, kekayaan keanekaragaman hayati ini semakin hari semakin terancam, tidak terkecuali di Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara megadiversitas di dunia. Hutan-hutan dibabat dan diubah menjadi lahan komersial skala besar, termasuk pertanian, pertambangan, pemukiman, dan infrastruktur. Indonesia sudah kehilangan sekitar 10 juta hektare tutupan hutan primernya dalam dua dekade terakhir.

Deforestasi ini berdampak sistemis, selain menghancurkan habitat alami satwa dan tumbuhan secara langsung, ia juga memutus interaksi antar komponen ekosistem, sehingga menyebabkan serangkaian konsekuensi yang saling terkait, seperti hilangnya spesies predator dan mangsa yang akan mengganggu keseimbangan rantai makanan dan memicu ledakan populasi hama tertentu.

- Advertisement -

Contoh lainnya seperti yang terjadi pada merebaknya serangga tomcat di tahun 2012-an, hilangnya habitat disertai dengan ledakan populasi wereng yang menjadi sumber makanan mereka, menyebabkan populasi tomcat ikut meningkat dan menimbulkan beberapa konsekuensi negatif pada manusia, seperti gangguan kesehatan, kenyamanan, dan psikologis.

Berkaca dari berbagai studi, baik oleh lembaga dalam negeri maupun luar negeri, ancaman terhadap kelestarian keanekaragaman hayati tidak hanya didorong oleh faktor tunggal seperti deforestasi, melainkan juga berbagai faktor lainnya, seperti perburuan dan perdagangan ilegal, krisis iklim, pencemaran lingkungan, dan penyebaran spesies invasif. Efek kumulatif ancaman-ancaman tersebut menyebabkan penurunan populasi, bahkan turut menyebabkan kepunahan spesies-spesies tertentu, khususnya tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

- Advertisement -

Seorang ahli ekologi bernama Shahid Naeem dari Columbia University menjelaskan bahwa tumbuhan dan satwa yang masih hidup lebih bermanfaat bagi manusia dibandingkan yang sudah mati. Hal ini disampaikannya dalam sebuah diskusi yang ditaja oleh the Global Landscapes Forum pada tahun 2020. Secara sederhana, Naeem ingin menyampaikan bahwa alam yang masih lestari dengan berbagai makhluk hidup di dalamnya jauh lebih penting bagi manusia dibandingkan dengan benda-benda mati yang berasal dari alam.

Contohnya, ekosistem alami yang penuh dengan tumbuhan dan satwa akan memberikan udara bersih, air minum, dan sumber makanan bagi manusia. Sedangkan kayu yang sudah ditebang dan diolah menjadi furnitur, meskipun berasal dari alam, tidak memiliki manfaat yang sama bagi kelangsungan hidup manusia.

Premis yang disampaikan Naem sejalan dengan ilustrasi merebaknya tomcat di awal tulisan ini. Ketika salah satu komponen alami ekosistem lenyap, maka bagaikan jaring yang putus, keseimbangan ekosistem akan terganggu. Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi dewasa ini adalah, apa yang harus kita lakukan agar ekosistem alami tetap terjaga, keanekaragaman hayati tetap lestari, dan penghidupan kita sebagai manusia tetap berlanjut?

Urgensi Masyarakat Akar Rumput

Upaya pelestarian keanekaragaman hayati secara konvensional dilatarbelakangi oleh kepentingan ilmiah dan lingkungan, khususnya untuk melindungi spesies dan ekosistem dari kepunahan dan degradasi. Akibatnya, upaya-upaya ini seringkali mengabaikan kebutuhan dan hak-hak masyarakat akar rumput, misalnya masyarakat lokal atau masyarakat adat, yang telah hidup berdampingan dan bergantung pada sumber daya alam ini selama beberapa generasi.

Dengan mengakui hubungan erat antara keanekaragaman hayati dan masyarakat akar rumput, kita dapat mengarahkan wacana pelestarian ke arah kerangka kerja yang lebih inklusif dan adil. Hal ini mencakup pemberdayaan masyarakat sebagai kolaborator penting dalam upaya pelestarian, menghormati hak-hak dan pengetahuan tradisional mereka, dan memastikan keterlibatan langsung mereka dalam dan mendapatkan manfaat dari pelestarian keanekaragaman hayati.

Masyarakat akar rumput dan aktivitas mata pencaharian mereka, khususnya pertanian, memainkan peran penting dalam inisiatif pelestarian keanekaragaman hayati. Pengelolaan yang efektif terhadap aspek-aspek ini dapat membuka jalan bagi tercapainya keseimbangan yang harmonis antara pelestarian keanekaragaman hayati dan penghidupan lokal. Langkah spesifik apa yang harus diambil untuk memfasilitasi proses ini?

Integrasi Pertanian dan Keanekaragaman Hayati

Sebuah studi global baru-baru ini yang dilakukan oleh Nanyang Technological University (2023) menyoroti pentingnya bentang alam yang beragam bagi keberhasilan pertanian. Keanekaragaman tanaman dan cara penataannya, bukan hanya jenisnya saja, memainkan peran penting dalam meningkatkan keanekaragaman hayati di pertanian. Keanekaragaman bentang alam menyebabkan lebih beragam tumbuhan, invertebrata, vertebrata, penyerbuk, dan predator yang datang dan menjadikan lingkungan pertanian tersebut sebagai habitatnya.

Keanekaragaman habitat ini tidak hanya baik bagi alam; ia juga meningkatkan produktivitas pertanian. Perpaduan habitat juga menjadi habitat bagi musuh alami hama tanaman, sehingga mendorong pengendalian hama yang ramah lingkungan. Tanaman berbunga menarik penyerbuk, memastikan penyerbukan dan pembentukan buah yang lebih efektif.

Temuan ini menawarkan kemungkinan-kemungkinan menarik bagi pertanian berkelanjutan. Praktik-praktik seperti wanatani, pengintegrasian tanaman sela, dan penanaman tanaman pagar menciptakan tambal sulam habitat yang mendukung spesies yang lebih beragam. Harapannya, kita dapat menciptakan pertanian yang tidak hanya baik bagi lingkungan namun juga lebih produktif dalam jangka panjang.

Dukungan Finansial

Pelestarian keanekaragaman hayati dalam jangka panjang memerlukan dukungan finansial agar dapat berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah menawarkan imbal jasa lingkungan (IJL) yang disesuaikan dengan penggunaan lahan setempat. Misalnya, program seperti insentif untuk mendorong praktik ramah keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit.

Studi di Provinsi Jambi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit rakyat dapat memberikan kontribusi keanekaragaman hayati yang cukup besar, setiap spesies berpotensi bernilai 325 dolar AS untuk upaya konservasi. Skema IJL dapat menjadi solusi yang saling menguntungkan, menarik minat masyarakat untuk melindungi keanekaragaman hayati sekaligus mendukung petani kecil dan meningkatkan produksi minyak sawit mereka. Struktur insentif ini dapat melibatkan pembayaran tunai langsung untuk menutupi biaya yang terkait dengan sertifikasi keberlanjutan atau verifikasi legalitas. Selain itu, “insentif fasilitatif” seperti program pelatihan mengenai teknologi berkelanjutan tertentu dapat ditawarkan.

Jalan menuju pelestarian keanekaragaman hayati mungkin sulit dan berlarut-larut, namun menundanya justru akan menimbulkan risiko kerugian lebih besar dan jangka panjang. Hal ini memerlukan upaya kolektif dan komitmen terpadu untuk menjaga jaringan rumit ekosistem yang menjadi sandaran seluruh keanekaragaman hayati.

Pada akhirnya, pelestarian keanekaragaman hayati tidak hanya bermanfaat bagi satwa dan tumbuhan semata, namun juga memberikan manfaat kepada seluruh rakyat yang hidup di negeri luar biasa yang kita sebut Indonesia ini.***

(RIAUPOS.CO)- Hari Keanekaragaman Hayati Dunia jatuh pada tanggal 22 Mei 2024. Kaya dan rumit, merupakan dua kata yang sangat menggambarkan karakteristik keanekaragaman hayati, ia bukan hanya tentang gajah, harimau, orang utan, dan berbagai satwa karismatik lainnya yang selama ini familiar bagi sebagian besar orang. Ia juga berkait kelindan dengan udara yang kita hirup, mangga yang kita makan, dan bahkan secangkir kopi yang kita minum di pagi hari.

Tumbuhan, melalui fotosintesis, menghasilkan oksigen yang kita hirup untuk bertahan hidup. Sementara itu, mangga dan kopi tidak akan berbuah tanpa bantuan penyerbukan dari lebah. Ini hanyalah secuil contoh interaksi rumit antar organisme yang tidak terhitung jumlahnya di alam, sebuah simfoni kehidupan yang telah berevolusi selama jutaan tahun.

Namun, kekayaan keanekaragaman hayati ini semakin hari semakin terancam, tidak terkecuali di Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara megadiversitas di dunia. Hutan-hutan dibabat dan diubah menjadi lahan komersial skala besar, termasuk pertanian, pertambangan, pemukiman, dan infrastruktur. Indonesia sudah kehilangan sekitar 10 juta hektare tutupan hutan primernya dalam dua dekade terakhir.

Deforestasi ini berdampak sistemis, selain menghancurkan habitat alami satwa dan tumbuhan secara langsung, ia juga memutus interaksi antar komponen ekosistem, sehingga menyebabkan serangkaian konsekuensi yang saling terkait, seperti hilangnya spesies predator dan mangsa yang akan mengganggu keseimbangan rantai makanan dan memicu ledakan populasi hama tertentu.

Contoh lainnya seperti yang terjadi pada merebaknya serangga tomcat di tahun 2012-an, hilangnya habitat disertai dengan ledakan populasi wereng yang menjadi sumber makanan mereka, menyebabkan populasi tomcat ikut meningkat dan menimbulkan beberapa konsekuensi negatif pada manusia, seperti gangguan kesehatan, kenyamanan, dan psikologis.

Berkaca dari berbagai studi, baik oleh lembaga dalam negeri maupun luar negeri, ancaman terhadap kelestarian keanekaragaman hayati tidak hanya didorong oleh faktor tunggal seperti deforestasi, melainkan juga berbagai faktor lainnya, seperti perburuan dan perdagangan ilegal, krisis iklim, pencemaran lingkungan, dan penyebaran spesies invasif. Efek kumulatif ancaman-ancaman tersebut menyebabkan penurunan populasi, bahkan turut menyebabkan kepunahan spesies-spesies tertentu, khususnya tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Seorang ahli ekologi bernama Shahid Naeem dari Columbia University menjelaskan bahwa tumbuhan dan satwa yang masih hidup lebih bermanfaat bagi manusia dibandingkan yang sudah mati. Hal ini disampaikannya dalam sebuah diskusi yang ditaja oleh the Global Landscapes Forum pada tahun 2020. Secara sederhana, Naeem ingin menyampaikan bahwa alam yang masih lestari dengan berbagai makhluk hidup di dalamnya jauh lebih penting bagi manusia dibandingkan dengan benda-benda mati yang berasal dari alam.

Contohnya, ekosistem alami yang penuh dengan tumbuhan dan satwa akan memberikan udara bersih, air minum, dan sumber makanan bagi manusia. Sedangkan kayu yang sudah ditebang dan diolah menjadi furnitur, meskipun berasal dari alam, tidak memiliki manfaat yang sama bagi kelangsungan hidup manusia.

Premis yang disampaikan Naem sejalan dengan ilustrasi merebaknya tomcat di awal tulisan ini. Ketika salah satu komponen alami ekosistem lenyap, maka bagaikan jaring yang putus, keseimbangan ekosistem akan terganggu. Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi dewasa ini adalah, apa yang harus kita lakukan agar ekosistem alami tetap terjaga, keanekaragaman hayati tetap lestari, dan penghidupan kita sebagai manusia tetap berlanjut?

Urgensi Masyarakat Akar Rumput

Upaya pelestarian keanekaragaman hayati secara konvensional dilatarbelakangi oleh kepentingan ilmiah dan lingkungan, khususnya untuk melindungi spesies dan ekosistem dari kepunahan dan degradasi. Akibatnya, upaya-upaya ini seringkali mengabaikan kebutuhan dan hak-hak masyarakat akar rumput, misalnya masyarakat lokal atau masyarakat adat, yang telah hidup berdampingan dan bergantung pada sumber daya alam ini selama beberapa generasi.

Dengan mengakui hubungan erat antara keanekaragaman hayati dan masyarakat akar rumput, kita dapat mengarahkan wacana pelestarian ke arah kerangka kerja yang lebih inklusif dan adil. Hal ini mencakup pemberdayaan masyarakat sebagai kolaborator penting dalam upaya pelestarian, menghormati hak-hak dan pengetahuan tradisional mereka, dan memastikan keterlibatan langsung mereka dalam dan mendapatkan manfaat dari pelestarian keanekaragaman hayati.

Masyarakat akar rumput dan aktivitas mata pencaharian mereka, khususnya pertanian, memainkan peran penting dalam inisiatif pelestarian keanekaragaman hayati. Pengelolaan yang efektif terhadap aspek-aspek ini dapat membuka jalan bagi tercapainya keseimbangan yang harmonis antara pelestarian keanekaragaman hayati dan penghidupan lokal. Langkah spesifik apa yang harus diambil untuk memfasilitasi proses ini?

Integrasi Pertanian dan Keanekaragaman Hayati

Sebuah studi global baru-baru ini yang dilakukan oleh Nanyang Technological University (2023) menyoroti pentingnya bentang alam yang beragam bagi keberhasilan pertanian. Keanekaragaman tanaman dan cara penataannya, bukan hanya jenisnya saja, memainkan peran penting dalam meningkatkan keanekaragaman hayati di pertanian. Keanekaragaman bentang alam menyebabkan lebih beragam tumbuhan, invertebrata, vertebrata, penyerbuk, dan predator yang datang dan menjadikan lingkungan pertanian tersebut sebagai habitatnya.

Keanekaragaman habitat ini tidak hanya baik bagi alam; ia juga meningkatkan produktivitas pertanian. Perpaduan habitat juga menjadi habitat bagi musuh alami hama tanaman, sehingga mendorong pengendalian hama yang ramah lingkungan. Tanaman berbunga menarik penyerbuk, memastikan penyerbukan dan pembentukan buah yang lebih efektif.

Temuan ini menawarkan kemungkinan-kemungkinan menarik bagi pertanian berkelanjutan. Praktik-praktik seperti wanatani, pengintegrasian tanaman sela, dan penanaman tanaman pagar menciptakan tambal sulam habitat yang mendukung spesies yang lebih beragam. Harapannya, kita dapat menciptakan pertanian yang tidak hanya baik bagi lingkungan namun juga lebih produktif dalam jangka panjang.

Dukungan Finansial

Pelestarian keanekaragaman hayati dalam jangka panjang memerlukan dukungan finansial agar dapat berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah menawarkan imbal jasa lingkungan (IJL) yang disesuaikan dengan penggunaan lahan setempat. Misalnya, program seperti insentif untuk mendorong praktik ramah keanekaragaman hayati di perkebunan kelapa sawit.

Studi di Provinsi Jambi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit rakyat dapat memberikan kontribusi keanekaragaman hayati yang cukup besar, setiap spesies berpotensi bernilai 325 dolar AS untuk upaya konservasi. Skema IJL dapat menjadi solusi yang saling menguntungkan, menarik minat masyarakat untuk melindungi keanekaragaman hayati sekaligus mendukung petani kecil dan meningkatkan produksi minyak sawit mereka. Struktur insentif ini dapat melibatkan pembayaran tunai langsung untuk menutupi biaya yang terkait dengan sertifikasi keberlanjutan atau verifikasi legalitas. Selain itu, “insentif fasilitatif” seperti program pelatihan mengenai teknologi berkelanjutan tertentu dapat ditawarkan.

Jalan menuju pelestarian keanekaragaman hayati mungkin sulit dan berlarut-larut, namun menundanya justru akan menimbulkan risiko kerugian lebih besar dan jangka panjang. Hal ini memerlukan upaya kolektif dan komitmen terpadu untuk menjaga jaringan rumit ekosistem yang menjadi sandaran seluruh keanekaragaman hayati.

Pada akhirnya, pelestarian keanekaragaman hayati tidak hanya bermanfaat bagi satwa dan tumbuhan semata, namun juga memberikan manfaat kepada seluruh rakyat yang hidup di negeri luar biasa yang kita sebut Indonesia ini.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya