RIAUPOS.CO – Piala Adipura adalah penghargaan yang diberikan kepada kota-kota di Indonesia yang memiliki keberhasilan dalam pengelolaan lingkungan dan kebersihan. Adipura diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Program Adipura telah dilaksanakan setiap tahun sejak 1986, kemudian terhenti pada tahun 1998.
Dalam lima tahun pertama, program Adipura difokuskan untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi “Kota Bersih dan Teduh”. Program Adipura kembali dicanangkan di Denpasar, Bali pada tanggal 5 Juni 2002, dan berlanjut hingga sekarang. Pengertian kota dalam penilaian Adipura bukanlah kota otonom, namun bisa juga bagian dari wilayah kabupaten yang memiliki karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan batas-batas wilayah tertentu.
Penghargaan Adipura telah mengalami penyempurnaan. Penyempurnaan program Adipura terlihat dari elaborasi indikator penilaian yang tidak hanya menyentuh sisi kebersihan dan keteduhan di 2 perkotaan, penggunaan teknologi pemantauan melalui aerial survey (drone) dan citra satelit, peningkatan kapasitas terpasang, namun juga melihat perkembangan terbangunnya Kampung Iklim di setiap kabupaten/kota sebagai insentif dalam penilaian.
Peserta program Adipura dibagi ke dalam 4 kategori berdasarkan jumlah penduduk, yaitu kategori kota metropolitan (lebih dari 1 juta jiwa), kota besar (500.001-1.000.000 jiwa), kota sedang (100.001-500.000 jiwa), dan kota kecil (sampai dengan 100.000 jiwa). Pelaksanaan Program Adipura 2022 dilaksanakan terhadap 258 kabupaten/kota se-Indonesia, atau sebanyak 50,2 persen dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Sebanyak lima kabupaten/kota berhasil meraih Anugerah Adipura Kencana, yang juga sebagai penghargaan tertinggi bagi kabupaten/kota yang mampu menunjukkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup yang inovatif dan berkelanjutan. Kemudian, sebanyak 80 kabupaten/kota berhasil mendapatkan Anugerah Adipura.
Selain itu, terdapat juga 61 kabupaten/kota memperoleh penghargaan sertifikat Adipura, dan empat kabupaten/kota menerima penghargaan plakat Adipura yang merujuk pada lokasi tematik dengan kondisi pengelolaan sampah terbaik.
Untuk memahami konsep rindu terhadap Piala Adipura, mari kita bahas dua indikator yang menjadi fokus dalam pemberian penghargaan tersebut: Indikator kondisi fisik lingkungan perkotaan dalam hal kebersihan dan indikator keteduhan kota. Rindu terhadap Piala Adipura dapat dimaknai sebagai aspirasi untuk memiliki lingkungan perkotaan yang bersih, bebas dari sampah, limbah, dan polusi. Kota yang rapi, tertata dengan baik, dan minim sampah menjadi tujuan yang diinginkan.
Keteduhan kota Ini merujuk pada upaya untuk menciptakan kota yang teduh, dengan memperbanyak taman, area hijau dan pelestarian ruang terbuka hijau. Rindu terhadap Piala Adipura mencerminkan keinginan untuk memiliki kota yang nyaman, sejuk, dan asri. Indikator pengelolaan lingkungan perkotaan (non-fisik), yang meliputi institusi, manajemen, dan daya tanggap Institusi.
Rindu terhadap Piala Adipura dapat mencerminkan keinginan untuk membangun institusi yang efektif dalam mengelola lingkungan perkotaan, seperti lembaga pemerintah setempat dan lembaga terkait lainnya yang bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan. Manajemen Ini merujuk pada upaya kota untuk memiliki sistem manajemen yang efisien dalam mengelola berbagai aspek lingkungan, termasuk perencanaan tata ruang, pengelolaan sampah, penghijauan, dan penanggulangan polusi.
Daya tanggap rindu terhadap Piala Adipura dapat diartikan sebagai keinginan untuk memiliki kota yang responsif terhadap tantangan lingkungan, dengan cepat mengatasi masalah-masalah yang muncul dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Dengan memahami indikator-indikator ini, rindu terhadap Piala Adipura bisa diinterpretasikan sebagai dorongan untuk menciptakan kota-kota yang bersih, hijau, dan terkelola dengan baik, baik dari segi fisik maupun nonfisik. Hal ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya lingkungan yang sehat dan berkualitas dalam membangun kota yang berkelanjutan.
Pengelolaan sampah menjadi salah satu dari lima sektor yang diamanatkan untuk dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam pengendalian perubahan iklim. Sebagai bentuk komitmen kepada dunia dalam pengendalian perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada tanggal 23 September 2022.
Dokumen ini meliputi target penurunan tingkat emisi (GRK) sebesar 40 Mton CO2eq dengan upaya sendiri (CM1) dan 43,5 Mton CO2eq dengan dukungan internasional (CM2). Sebagai bagian dari upaya mencapai target tersebut, KLHK telah menyusun rencana aksi pencapaian zero waste, zero emission dari subsektor sampah, meliputi: pertama, peningkatan pengelolaan seluruh TPA di Indonesia untuk mengimplementasikan metode pengelolaan controlled/sanitary landfill dengan 4 pemanfaatan gas metan pada tahun 2025;
Kedua, tidak ada lagi pembangunan TPA baru mulai tahun 2030 dengan penggunaan TPA eksisting akan dilanjutkan hingga masa operasionalnya berakhir serta landfill mining sudah mulai dilakukan.
Ketiga, tidak ada pembakaran liar mulai tahun 2031. Keempat, optimalisasi fasilitas pengelolaan sampah seperti PLTSa, RDF, SRF, biodigester, dan maggot untuk sampah biomass dan diharapkan tahun 2040 operasional TPA diperuntukkan khusus sebagai tempat pembuangan sampah residu.
Kelima, penguatan kegiatan pemilahan sampah di sumber dan pemanfaatan sampah sebagai bahan baku daur ulang. Rindu terhadap Piala Adipura bisa dijelaskan sebagai perasaan nostalgia atau keinginan untuk melihat kota atau daerah tempat tinggal kita memenangkan penghargaan tersebut atau setidaknya memiliki kualitas lingkungan yang layak mendapatkannya.
Rindu terhadap Piala Adipura harus diikuti dengan tindakan konkret untuk menjaga lingkungan dan kebersihan kota, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas. Semua pihak harus berperan aktif dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, tanpa harus menunggu penghargaan tertentu. ***
Oleh: Afrinaldy Rustam , Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau