Kusut masai pengelolaan negara seakan terkuak dengan adanya tragedi minyak goreng di Indonesia. Antrean pajang ibu-ibu untuk mendapatkan minyak goreng bersubsidi telah menimbulkan korban jiwa. Begitu menariknya barang-barang bersubsidi bagi rakyat mencerminkan kegagalan negara paling tidak dalam dua hal. Pertama, meningkatkan taraf hidup rakyat secara merata dan adil. Kedua, memupuk kesadaran dan kepedulian berbangsa dan bernegara (civic competence). Rakyat termanjakan dengan sesuatu yang gratis dan atau bersubsidi tidak hanya karena ia miskin tetapi karena keberadaan negara bangsa sangat minim ia rasakan dan ia lakukan.
Pada tingkat produsen upaya mensuplai minyak goreng di Indonesia seharusnya tidak akan bermasalah. Saat ini terdapat sekitar 100 pabrik minyak goreng dengan tiga jenis klasifikasinya. Pertama, kelompok pabrik minyak goreng yang terintegrasi. Kelompok ini menguasai dari hulu sampai hilirnya. Mereka selain memiliki pabrik minyak goreng juga memiliki pabrik CPO dan kebun sawitnya sekali gus. Orientasinya adalah ekspor namun memiliki tanggung jawab yang diberikan negara untuk memasarkannya di dalam negeri sebanyak 20 persen dari produksinya.
Kedua adalah pabrik minyak goreng yang tidak memiliki pasokan sumber bahan baku sendiri namun orientasi produksinya ditujukan untuk ekspor. Kelompok ini juga memiliki kewajiban untuk memasarkan hasil produksinya sebanyak 20 persen untuk dalam negeri. Sedangkan yang ketiga adalah pabrik minyak goreng yang produksinya sepenuhnya dipasarkan di dalam negeri.
Dari semua produsen minyak goreng tersebut diperkirakan mampu memproduksi sekitar 600.000 liter setiap bulannya untuk pemasaran dalam negeri. Ini berarti dari aspek mekanisme pasar kemampuan suplai minyak goreng masih lebih tinggi dari permintaannya. Dari perspektif ini tidak ada alasan untuk terjadinya kenaikan harga dan kelangkaan produk. Kenaikan harga dengan sendirinya hanyalah disebabkan dari sisi naiknya harga bahan baku yang dipicu oleh permintaan bahan baku yang meningkat tajam.
Perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan turunnya suplai minyak nabati yang terbuat dari bunga matahari. Masyarakat Eropa beralih ke minyak sawit atau CPO sehingga permintaannya melonjak dan harga pun meroket. Pada posisi Januari 2022 harga CPO sudah mencapai Rp12.736 per liternya yang berarti meningkat 49,36 persen jika dibandingkan dengan kondisi pada Januari 2021. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) bahkan memperkirakan permintaan CPO global akan mencapai 50,6 juta ton untuk periode November 2021-Oktober 2022. Angka tersebut meningkat sebesar 6,3% dibanding periode November 2020-Oktober 2021.
Itulah sumber penyebab utama terjadinya tragedi minyak goreng di Indonesia. Penyesuaian harga jual harus dilakukan agar dinamika bisnis para produsen tetap berjalan. Kondisi ini bukannya tidak memakan korban pada produsen minyak goreng di Indonesia. Disinyalir sampai saat ini sudah terdapat 6 buah pabrik minyak goreng yang bankrupt khususnya mereka yang hanya melayani pasar dalam negeri. Ini terjadi akibat sulitnya melakukan penyesuaian harga jual minyak goreng mereka pada segmen pasar yang mereka layani. Sementara dari sisi permintaan tragedi minyak goreng telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi kesejahteraan masyarakat dan multiplier effect-nya.
Bagaimana persoalan ini seharusnya ditangani? baik oleh pemerintah, organisasi masyarakat, dan stakeholder terkait lainnya. Selain memberikan anjuran kepada rakyat agar membatasi penggunaan minyak goreng mungkin perlu beberapa hal untuk dilakukan bersama. Pertama, menjaga kelancaran pasokan di pasar. Kelangkaan minyak goreng di pasar pada periode Januari sampai Maret 2022 ini sepertinya akibat "kecolongan" pada sisi distribusi. Pasokan minyak goreng oleh produsen lebih dari cukup tetapi di pasar justru raib entah ke mana? Ini menandakan adanya permainan di tingkat distribusi sehingga barang tidak sampai ke konsumen. Untuk itu semua stakeholder harus bahu-membahu untuk memastikan produk minyak goreng baik kemasan maupun curah tersalurkan dengan lancar sampai ketangan konsumen.
Kedua, sinkronisasi strategti untuk menaut-suaikan produksi dan permintaan. Di Malaysia persoalan ini sudah dilakukan sejak lama sehingga tidak pernah terjadi kelangkaan di pasar. Produsen akan melemparkan produk minyak goreng pada distributor dan distributor akan menyalurkannya ke pasar ketika permintaan akan produk minyak goreng terjadi, baik pada posisi normal maupun pada saat adanya lonjakan-lonjakan permintaan. Pada hari-hari besar keagamaan biasanya permintaan akan meningkat. Sinergi organisasi bisnis atau asosiasi-asosiasi pengusaha (baik di tingkat produsen, penyalur maupun konsumen) dengan pemerintah dan NGO sangat dibutuhkan untuk memastikan suasana pasar yang efisien.
Ketiga, subsidi selektif dan dorongan kepahlawanan produsen. Bagi kelompok produsen berorientasi ekspor, baik yang terintegrasi maupun tidak, dapat diwajibkan untuk menjual minyak goreng yang terjangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Terutama untuk minyak goreng curah berkualitas ekspor. Saat ini pemerintah sudah menggelontorkan dana subsidi untuk minyak goreng curah mencapai Rp 7,28 triliun.
Keempat, penguatan pengawasan pada semua lini. Pada tingkat produsen berorientasi ekspor harus tetap diawasi kepatuhan terhadap produksi untuk pasokan dalam negeri sebesar 20 persen sehingga pasokan minyak goreng tetap terjada pada timing yang sesuai. Jika lengah maka tragedi minyak goreng ini akan makin berkepanjangan. Minyak itu licin dan jangan sampai terpeleset jika "menari" diatasnya agar Indonesia tidak terpelanting pada tragedi yang kian memilukan. Ontah lah?***