Setelah mencetak angka kemiskinan sebesar 1 digit untuk pertama kalinya di Maret 2018 yang lalu, kini persentase angka kemiskinan nasional kembali menyentuh 2 angka. Badan Pusat Statistik (BPS) resmi merilis persentase penduduk miskin nasional untuk kondisi bulan September 2020 sebesar 10,19 persen, atau terjadi penambahan sebanyak 0,41 persen dibandingkan bulan Maret 2020 yang sebesar 9,78 persen, dan meningkat sebanyak 0,97 persen dibandingkan bulan September 2019 yang sebesar 9,22 persen.
Kondisi yang tidak berbeda jauh juga dirasakan Provinsi Riau. Setelah sempat mempertahankan tren angka kemiskinan yang terus turun sejak September 2017, 3 tahun kemudian pergerakan tersebut berbalik arah. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau per September 2020 dilaporkan sebanyak 7,04 persen, atau bertambah sebesar 0,22 persen dibandingkan kondisi Maret 2020.
Gambaran kemiskinan di atas seolah mempertegas betapa kuatnya efek dari kejadian pandemi Covid-19 terhadap aspek sosial ekonomi, karena sebelumnya pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2020 juga dilaporkan mengalami kontraksi sebesar 2,07 persen (c-to-c) dibandingkan tahun 2019, serta tingkat pengangguran terbuka (TPT) kondisi bulan Agustus 2020 terhitung sebesar 7,07 persen, atau mengalami kenaikan sebanyak 1,84 persen dari kondisi bulan Agustus 2019.
Secara konsep, BPS menggunakan pendekatan basic need approach (kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar) dalam mengukur kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan di dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan, yang diukur menurut Garis Kemiskinan (GK). Seseorang baru dikatakan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran sebulan yang besarnya di bawah GK.
GK terdiri dari 2 komponen, yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Pada kondisi bulan September 2020 yang lalu, GK di Provinsi Riau diketahui sebesar Rp. 546 ribu per kapita per bulan, atau mengalami kenaikan sebanyak 0,37 persen dari kondisi Maret 2020 yang sebesar Rp. 544 ribu per kapita per bulan. Dari nilai GK yang sebesar Rp. 546 ribu tadi, ternyata sumbangan GKM jauh lebih besar daripada GKBM, yakni 73 berbanding 27 persen.
Bila kita tengok data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2020 yang lalu, maka diketahui bahwa rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk Provinsi Riau adalah sebesar Rp. 1,3 juta. Lebih lanjut, ternyata persentase pengeluaran untuk kelompok barang makanan lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok barang non makanan (49,84 persen berbanding 50,16 persen).
Bila data pengeluaran konsumsi tersebut kita lihat lebih detail lagi, maka akan kita temukan fakta bahwa ternyata rokok masuk ke dalam lima besar kelompok pengeluaran terbesar rumah tangga dari 20 kelompok komoditas yang ada, dan lebih menyedihkannya lagi hal itu terjadi pada populasi 40 persen penduduk dengan kelompok pengeluaran terendah, dan juga terjadi di seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau. Keunggulan rokok tersebut berada di atas kelompok komoditas harian lainnya seperti ikan, daging, telur dan susu.
Kalau saja pengeluaran untuk rokok tadi dapat dialihkan kepada bahan-bahan makanan, tentu bisa lebih berdaya guna, karena setiap harinya manusia membutuhkan nutrisi berupa karbohidrat, protein, lemak dan juga kalori dalam mendukung aktivitasnya sehari-hari. Solusinya harus mengurangi kebiasaan merokok untuk mengurangi kontribusinya pada angka kemiskinan.
Keempat komponen tersebut terkandung di dalam setiap makanan yang kita makan.
Setelah kita membaca bagaimana rokok memiliki peranan yang besar dalam penghitungan kemiskinan dan mempunyai porsi yang tidak sedikit dalam total pengeluaran rumah tangga, tentu kita harus merasa khawatir, lebih-lebih saat ini kita tengah berhadapan dengan kondisi ekonomi yang tidak ideal. Namun tidak sah rasanya mempersoalkan pengaruh rokok yang besar bila kita tidak melihat dari sisi pola kebiasaan perokoknya sendiri.
Masih dari data Susenas, diketahui bahwa jumlah perokok aktif penduduk berusia 5 tahun ke atas di Provinsi Riau mengalami penurunan, yakni dari 22,67 persen pada tahun 2019 menjadi 21,86 persen di tahun 2020. Penurunan tersebut juga diiringi dengan berkurangnya rataan jumlah rokok yang dihisap oleh perokok kita, yakni dari 120 batang per minggu (2019) menjadi 111 batang per minggu (2020). Namun rataan tersebut masih jauh sekali dari rata-rata nasional, yang jumlahnya hanya sebesar 81 batang per minggu. Itu artinya, walau jumlah perokok kita berkurang, namun jumlah batang rokok yang kita hisap masih tinggi.***