RIAUPOS.CO – Jelajah itu sejatinya belajar mencari mutiara hikmah. Ungkapan di atas sengaja penulis jadikan tirai pembuka tulisan ini terkait jelajah penulis bersama beberapa rekan sepekan menjelang Ramadan ke Ho Chi Minh City, Vietnam. Tak ada alasan signifikan menjadikan Vietnam sebagai tujuan wisata sebagai bagian dari jelajah penulis kali ini. Hanya saja mencoba membawa diri di tengah ragam perbedaan, baik politik, agama dan juga budaya walaupun masih dalam rantau yang sama.
Nama kota Ho Chi Minh merujuk kepada bapak pendiri Negara Vietnam sendiri yakni Ho Chi minh, Tokoh Revolusioner beraliran komunis yang pernah menjadi Perdana Menteri dan juga Presiden Vietnam pada tahun 1954-1969. Semula kota ini lebih dikenal dengan nama Saigon, nama yang popular dalam film Rambo besutan Amerika. Mendengar kata Saigon sepintas menyintas masa kelam nan tragis masa lalu Perang Vietnam. Paska reunifikasi nama Ho Chi Minh dipilih menggantikan nama Saigon.
Menyelami Kota Ho Chi Minh, Vietnam walaupun tidak sampai ke kedalaman, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita bisa bawa ke permukaan kehidupan. Pertama, perang adalah musuh kemanusiaan. Perang atas nama apapun tidak akan membawa kebaikan, persis seperti ungkapan Benjamin Franklin bahwa, tak ada perang yang baik. sebaliknya tak ada perdamaian yang buruk. Jejak buruk perang Vietnam terlihat dengan terang di War Remnant Meseum melalui ratusan foto, salah satunya hasil jepretan dari Ishikawa Bunyo fotografer perang asal Jepang. Perang hanya akan menyisakan kepiluan dan kehancuran bagi semua pihak. Oleh itu perang atas nama apapun harus dihentikan, karena hanya akan merugikan banyak orang dan memuaskan dahaga kuasa dan egoisme segelintir penganut dan pemuja kuasa atas ragam alasan, termasuk alasan ekonomi berbaju ideologi.
Kedua, memegang harapan. Sesulit dan sepahit apapun perjalanan bangsa, secercah sinar harapan itu akan selalu ada. Menyusuri jalan-jalan di distrik 1, dan juga beberapa distrik lainnya, kita tidak akan pernah menyangka, bahwa negeri ini pernah mengalami peristiwa kelam atau tragedi nan memilukan. Dulu, lahan-lahan pertanian di Vietnam menjadi sasaran semburan herbisida mematikan yang lebih dikenal dengan Agen Oranye yang tidak hanya berdampak terhadap lahan perhatian, namun juga berakibat pada manusia. Namun Vietnam terus bangkit, bahkan pada tahun 2023 ekpor beras Vietnam tercatat 8 juta ton atau setara 4,6 miliar dolar, meningkat 35 persen dari tahun sebelumnya, kendati musim el nino melanda. Ekonomi Vietnam tumbuh 5,3 persen pada kuartal ketiga pada September 2023, bahkan menurut analis dari New World Wealth Andrew Amoils, Vietnam akan menjadi raja ekonomi Asia Tenggara dengan peningkatan kekayaan 125 persen selama 10 tahun ke depan. Semua itu bermula dari Kota Ho Chi Minh sebagai lokomotif ekonomi Vietnam, dan itu artinya harapan akan selalu ada dan itu harus menjalar di setiap nadi anak bangsanya.
Ketiga, persatuan menjadi tulang punggung pembangunan. Perang saudara antara Vietnam Utara dan Selatan dan berlanjut dengan perang Vietnam atau perang Indocina II mengajarkan mereka, bahwa perbantahan akan menjadi ladang pembantaian bagi musuh dan itu tidak bisa dibiarkan. Ikatan perdamaian dan persatuan itu mereka patri dalam perjanjian pada tahun 1975 yang kini bisa dilihat di Istana Reunifikasi atau perdamaian (Hoi Truong Thong Nhat) di Kota Ho chi Minh. Sebuah istana yang awalnya menjadi tempat kediaman Presiden Vietnam yang di disain sendiri oleh anak Vietnam yang bernama Ngo Viet Thu dan sekarang telah menjadi meseum yang bisa dikunjungi semua orang sebagai bukti sejarah persatuan itu dilaungkan.
Keempat, mengukuhkan keyakinan di tengah perubahan. Islam menjadi agama minoritas di negeri komunis ini. Kendati minoritas, kita masih menemukan beberapa masjid di Kota Ho Chi Minh. Sebut saja Masjid Jamik al-Musulman, masjid terbesar di Kota Ho Chi Minh dan Masjid Jamiul Islamiyah yang terletak di jalan utama. Penulis sempat Salat Subuh berjemaah yang Imam masjidnya lulusan Universitas di Madinah. Ada berbincangan menarik di antara kami selepas Salat Subuh dengan Imam masjid tersebut, kendati ia bermazbah lain, tapi ia membaca qunut. Alasannya kenapa ia melakukan tersebut, karena masjid itu sudah ada puluhan tahun sebelum ia lahir. Artinya ia menghormati dan menghargai pendapat yang berbeda darinya. Lanjut imam tersebut kenapa kita memperdebatkan hal-hal kecil yang akan membuat kita bergaduh. Bukankah menghormati sepanjang itu tidak substansi jauh lebih utama daripada menegakkan kepahaman sendiri, terlebih di negeri yang jumlah kita sedikit alias minoritas. Sungguh jawaban mengukuhkan sekaligus menjadi pelajaran bagi kita yang selalu menegakkan egoisme kepahaman terkait hal-hal kecil perbedaan yang tidak substansial.
Menyelami Ho chi Minh City memanglah tidak mudah, terlebih terkait selera. Pencarian pemenuhan selera bermula dari Nguyen Trai tempat penulis menginap berlanjut Nguyen Huu Cau dan beberapa jalan lainnya dan berakhir di Nguyen An Ninh Street, biasa disebut kawasan melayu asal Malaysia. Di kawasan ini beragam makanan halal tersedia seperti Halal food haji Osman dan Halal Amin Pho Muslim, juga Hj.Jamilah. Sembari menyantap Pho (sop bihun) dan seruput kopi Vietnam pikiran penulis menerawang terbang ke nusantara tanah air tercinta. Sungguh beruntung kita punya negeri Indonesia. Kita harus menjaga, merawatnya dari seluruh infiltrasi yang berpotensi merusak bangsa. Baik infiltrasi asing maupun infiltrasi anak negeri yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan oligarki. Lamunan penulis berhenti seketika, kala gadis berjilbah merah jingga (Bunga Nguyen Ann Ninh) menyapa, “Ong..Cik.., dengan tergagap penulis ucapkan, “ Cam On, alias terima kasih..he..he mengakhiri menyelami Ho Chi Minh City.***
Oleh: Suhardi Behrouz, Pemerhati Politik, Alumnus UKM Malaysia