Selasa, 15 April 2025

Dinda Nur Amelia Fitri, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas

Pembatasan Aspirasi dalam RUU Penyiaran?

INDONESIA adalah negara hukum yang dengan tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Ditambahkan oleh ahli Arief Sidharta, salah satu unsur negara hukum adalah adanya asas demokrasi yang diwujudkan melalui keberadaan ruang pers yang bebas. Sekalipun berjudul “bebas”, namun tetap Indonesia terikat dengan norma dan nilai yang harus dijunjung tinggi. Oleh sebab itu, menurut teori pers yang dikemukakan oleh Fred S Siebert, Indonesia menganut teori pers tanggung jawab sosial yang tetap menyatakan kebebasan pers, namun dibatasi dengan etika dan moral yang berlaku.

Para jurnalis di luar sana tentu memahami dengan benar bentuk pers tanggung jawab sosial. Namun bagaimana dengan Pemerintah sebagai penguasa, apakah akan mendukung kehendak kebebasan pers atau justru menekan dan membungkam pers demi kepentingan para elite politik? Jawabannya dapat kita temukan pada RUU Penyiaran.

Hilangnya Siaran Televisi Kritik Politik

Siaran televisi mengenai politik dan hukum seperti “Indonesia Lawyers Club” dan “Mata Najwa” kompak hilang dari publik di tahun 2021 dan muncul kembali di platform digital youtube yang memberi lebih banyak ruang kebebasan. Hilangnya dua acara kenamaan yang terkenal dengan keberaniannya mengkritik pemerintah sempat menjadi pertanyaan masyarakat, apakah hilangnya dikarenakan tekanan tendensi politik atau murni demi alasan perluasan kebebasan?

Pemindahan kedua acara televisi tersebut ke platform digital seperti youtube sebenarnya memberikan dampak positifnya sendiri karena platform digital tidak termasuk dalam ruang lingkup yang dilindungi dan diawasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran. Hal ini tentu saja memberikan dampak positif karena konten-konten yang disajikan dapat lebih tajam, jujur, dan lepas dari intervensi eksternal.

Baca Juga:  Tahun Move On

Kontroversi RUU Penyiaran

Kebebasan yang dimiliki oleh platform digital terancam lenyap dengan adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran di dalam draft RUU Penyiaran, tepatnya dalam Pasal 13 ayat (3) yang semula hanya jasa penyiaran radio dan televisi, kini diperluas dengan menambahkan jasa penyiaran platform digital.

Hingga Januari 2022, menurut  Kominfo, telah tercatat 291 lembaga penyiaran televisi yang memiliki siaran secara digital melalui berbagai platform.

Adanya perluasan terhadap ruang lingkup ini kemudian menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Dari segi pro, perluasan ruang lingkup jasa penyiaran dengan menambahkan platform digital dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para content creator karena sebelumnya tidak terdapat regulasi yang mengatur sama sekali.

Namun di lain sisi, adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran ini berisisko melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara kasar, ruang bicara di televisi telah sangat dibatasi dan berisiko besar masuknya tendensi dan tekanan politik dari “atasan”. Dan kini, ketika ruang platform digital mampu memberikan kebebasan tersebut, keadaan kembali “memaksa” para content creator untuk tunduk pada aturan serupa yang dilakoninya di stasiun televisi. Lantas apa perbedaan yang bisa diberikan kepada masyarakat?

Jika semula para content creator bebas menggunakan channel youtube yang mereka miliki untuk mengulas sesuatu secara mendalam, melakukan investigasi lepas terkait suatu persoalan, utamanya mengenai hukum dan politik, kemudian mengunggahnya dengan tujuan memberikan edukasi kepada masyarakat, kini terancam dibatasi jika RUU Penyiaran benar-benar disahkan.

Baca Juga:  Peningkatan Kekerasan dan Intimidasi Terhadap Media, AMSI Soroti Ancaman Terhadap Kebebasan Pers

Hal yang sama juga akan berlaku pada konten-konten seperti ILC dan Mata Najwa yang kembali terancam untuk “dihilangkan” dari peredaran penyiaran karena terlalu memberikan edukasi kepada masyarakat yang dapat mengancam citra politik dan aparat penegak hukum di Indonesia.

Solusi dan Resolusi

Dari uraian yang dipaparkan di atas, sekiranya solusi yang dapat diberikan adalah melakukan kajian ulang pasal per pasal dengan pendalaman kriteria pengawasan. Misalnya saja memasukkan batasan-batasan yang jelas mengenai konten-konten apa saja yang boleh diunggah dan apa yang tidak boleh. Kemudian juga mengatur mengenai mekanisme pengawasan yang jelas agar jangan sampai menimbulkan pasal-pasal karet bermakna ganda yang bukannya memberikan kepastian hukum, namun justru mengancam perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, terutama pelaku insan di dunia pers dan penyiaran.

Tidak hanya itu, kehidupan pers dan penyiaran yang bertanggung jawab sosial sebagaimana teori pers yang dianut oleh negara Indonesia juga harus ditekankan lagi, baik kepada pemerintah, jasa penyiaran, maupun masyarakat. Anggota pers dan penyiaran juga harus mengikuti etika dan moral yang mereka miliki, sementara pemerintah juga harus memahami batasan, sampai mana mereka berhak untuk ikut campur dalam “kebebasan” yang dijamin oleh konstitusi tersebut.***

Dinda Nur Amelia Fitri, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas

INDONESIA adalah negara hukum yang dengan tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Ditambahkan oleh ahli Arief Sidharta, salah satu unsur negara hukum adalah adanya asas demokrasi yang diwujudkan melalui keberadaan ruang pers yang bebas. Sekalipun berjudul “bebas”, namun tetap Indonesia terikat dengan norma dan nilai yang harus dijunjung tinggi. Oleh sebab itu, menurut teori pers yang dikemukakan oleh Fred S Siebert, Indonesia menganut teori pers tanggung jawab sosial yang tetap menyatakan kebebasan pers, namun dibatasi dengan etika dan moral yang berlaku.

Para jurnalis di luar sana tentu memahami dengan benar bentuk pers tanggung jawab sosial. Namun bagaimana dengan Pemerintah sebagai penguasa, apakah akan mendukung kehendak kebebasan pers atau justru menekan dan membungkam pers demi kepentingan para elite politik? Jawabannya dapat kita temukan pada RUU Penyiaran.

Hilangnya Siaran Televisi Kritik Politik

Siaran televisi mengenai politik dan hukum seperti “Indonesia Lawyers Club” dan “Mata Najwa” kompak hilang dari publik di tahun 2021 dan muncul kembali di platform digital youtube yang memberi lebih banyak ruang kebebasan. Hilangnya dua acara kenamaan yang terkenal dengan keberaniannya mengkritik pemerintah sempat menjadi pertanyaan masyarakat, apakah hilangnya dikarenakan tekanan tendensi politik atau murni demi alasan perluasan kebebasan?

Pemindahan kedua acara televisi tersebut ke platform digital seperti youtube sebenarnya memberikan dampak positifnya sendiri karena platform digital tidak termasuk dalam ruang lingkup yang dilindungi dan diawasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran. Hal ini tentu saja memberikan dampak positif karena konten-konten yang disajikan dapat lebih tajam, jujur, dan lepas dari intervensi eksternal.

Baca Juga:  Nabi Muhammad SAW sebagai Teladan

Kontroversi RUU Penyiaran

Kebebasan yang dimiliki oleh platform digital terancam lenyap dengan adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran di dalam draft RUU Penyiaran, tepatnya dalam Pasal 13 ayat (3) yang semula hanya jasa penyiaran radio dan televisi, kini diperluas dengan menambahkan jasa penyiaran platform digital.

Hingga Januari 2022, menurut  Kominfo, telah tercatat 291 lembaga penyiaran televisi yang memiliki siaran secara digital melalui berbagai platform.

Adanya perluasan terhadap ruang lingkup ini kemudian menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Dari segi pro, perluasan ruang lingkup jasa penyiaran dengan menambahkan platform digital dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para content creator karena sebelumnya tidak terdapat regulasi yang mengatur sama sekali.

Namun di lain sisi, adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran ini berisisko melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara kasar, ruang bicara di televisi telah sangat dibatasi dan berisiko besar masuknya tendensi dan tekanan politik dari “atasan”. Dan kini, ketika ruang platform digital mampu memberikan kebebasan tersebut, keadaan kembali “memaksa” para content creator untuk tunduk pada aturan serupa yang dilakoninya di stasiun televisi. Lantas apa perbedaan yang bisa diberikan kepada masyarakat?

Jika semula para content creator bebas menggunakan channel youtube yang mereka miliki untuk mengulas sesuatu secara mendalam, melakukan investigasi lepas terkait suatu persoalan, utamanya mengenai hukum dan politik, kemudian mengunggahnya dengan tujuan memberikan edukasi kepada masyarakat, kini terancam dibatasi jika RUU Penyiaran benar-benar disahkan.

Baca Juga:  Dampak Pembubaran Ormas

Hal yang sama juga akan berlaku pada konten-konten seperti ILC dan Mata Najwa yang kembali terancam untuk “dihilangkan” dari peredaran penyiaran karena terlalu memberikan edukasi kepada masyarakat yang dapat mengancam citra politik dan aparat penegak hukum di Indonesia.

Solusi dan Resolusi

Dari uraian yang dipaparkan di atas, sekiranya solusi yang dapat diberikan adalah melakukan kajian ulang pasal per pasal dengan pendalaman kriteria pengawasan. Misalnya saja memasukkan batasan-batasan yang jelas mengenai konten-konten apa saja yang boleh diunggah dan apa yang tidak boleh. Kemudian juga mengatur mengenai mekanisme pengawasan yang jelas agar jangan sampai menimbulkan pasal-pasal karet bermakna ganda yang bukannya memberikan kepastian hukum, namun justru mengancam perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, terutama pelaku insan di dunia pers dan penyiaran.

Tidak hanya itu, kehidupan pers dan penyiaran yang bertanggung jawab sosial sebagaimana teori pers yang dianut oleh negara Indonesia juga harus ditekankan lagi, baik kepada pemerintah, jasa penyiaran, maupun masyarakat. Anggota pers dan penyiaran juga harus mengikuti etika dan moral yang mereka miliki, sementara pemerintah juga harus memahami batasan, sampai mana mereka berhak untuk ikut campur dalam “kebebasan” yang dijamin oleh konstitusi tersebut.***

Dinda Nur Amelia Fitri, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

spot_img

Dinda Nur Amelia Fitri, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas

Pembatasan Aspirasi dalam RUU Penyiaran?

INDONESIA adalah negara hukum yang dengan tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Ditambahkan oleh ahli Arief Sidharta, salah satu unsur negara hukum adalah adanya asas demokrasi yang diwujudkan melalui keberadaan ruang pers yang bebas. Sekalipun berjudul “bebas”, namun tetap Indonesia terikat dengan norma dan nilai yang harus dijunjung tinggi. Oleh sebab itu, menurut teori pers yang dikemukakan oleh Fred S Siebert, Indonesia menganut teori pers tanggung jawab sosial yang tetap menyatakan kebebasan pers, namun dibatasi dengan etika dan moral yang berlaku.

Para jurnalis di luar sana tentu memahami dengan benar bentuk pers tanggung jawab sosial. Namun bagaimana dengan Pemerintah sebagai penguasa, apakah akan mendukung kehendak kebebasan pers atau justru menekan dan membungkam pers demi kepentingan para elite politik? Jawabannya dapat kita temukan pada RUU Penyiaran.

Hilangnya Siaran Televisi Kritik Politik

Siaran televisi mengenai politik dan hukum seperti “Indonesia Lawyers Club” dan “Mata Najwa” kompak hilang dari publik di tahun 2021 dan muncul kembali di platform digital youtube yang memberi lebih banyak ruang kebebasan. Hilangnya dua acara kenamaan yang terkenal dengan keberaniannya mengkritik pemerintah sempat menjadi pertanyaan masyarakat, apakah hilangnya dikarenakan tekanan tendensi politik atau murni demi alasan perluasan kebebasan?

Pemindahan kedua acara televisi tersebut ke platform digital seperti youtube sebenarnya memberikan dampak positifnya sendiri karena platform digital tidak termasuk dalam ruang lingkup yang dilindungi dan diawasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran. Hal ini tentu saja memberikan dampak positif karena konten-konten yang disajikan dapat lebih tajam, jujur, dan lepas dari intervensi eksternal.

Baca Juga:  Tersesat di Tempat yang Terang

Kontroversi RUU Penyiaran

Kebebasan yang dimiliki oleh platform digital terancam lenyap dengan adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran di dalam draft RUU Penyiaran, tepatnya dalam Pasal 13 ayat (3) yang semula hanya jasa penyiaran radio dan televisi, kini diperluas dengan menambahkan jasa penyiaran platform digital.

Hingga Januari 2022, menurut  Kominfo, telah tercatat 291 lembaga penyiaran televisi yang memiliki siaran secara digital melalui berbagai platform.

Adanya perluasan terhadap ruang lingkup ini kemudian menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Dari segi pro, perluasan ruang lingkup jasa penyiaran dengan menambahkan platform digital dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para content creator karena sebelumnya tidak terdapat regulasi yang mengatur sama sekali.

Namun di lain sisi, adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran ini berisisko melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara kasar, ruang bicara di televisi telah sangat dibatasi dan berisiko besar masuknya tendensi dan tekanan politik dari “atasan”. Dan kini, ketika ruang platform digital mampu memberikan kebebasan tersebut, keadaan kembali “memaksa” para content creator untuk tunduk pada aturan serupa yang dilakoninya di stasiun televisi. Lantas apa perbedaan yang bisa diberikan kepada masyarakat?

Jika semula para content creator bebas menggunakan channel youtube yang mereka miliki untuk mengulas sesuatu secara mendalam, melakukan investigasi lepas terkait suatu persoalan, utamanya mengenai hukum dan politik, kemudian mengunggahnya dengan tujuan memberikan edukasi kepada masyarakat, kini terancam dibatasi jika RUU Penyiaran benar-benar disahkan.

Baca Juga:  Tangani Banjir dengan SIG

Hal yang sama juga akan berlaku pada konten-konten seperti ILC dan Mata Najwa yang kembali terancam untuk “dihilangkan” dari peredaran penyiaran karena terlalu memberikan edukasi kepada masyarakat yang dapat mengancam citra politik dan aparat penegak hukum di Indonesia.

Solusi dan Resolusi

Dari uraian yang dipaparkan di atas, sekiranya solusi yang dapat diberikan adalah melakukan kajian ulang pasal per pasal dengan pendalaman kriteria pengawasan. Misalnya saja memasukkan batasan-batasan yang jelas mengenai konten-konten apa saja yang boleh diunggah dan apa yang tidak boleh. Kemudian juga mengatur mengenai mekanisme pengawasan yang jelas agar jangan sampai menimbulkan pasal-pasal karet bermakna ganda yang bukannya memberikan kepastian hukum, namun justru mengancam perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, terutama pelaku insan di dunia pers dan penyiaran.

Tidak hanya itu, kehidupan pers dan penyiaran yang bertanggung jawab sosial sebagaimana teori pers yang dianut oleh negara Indonesia juga harus ditekankan lagi, baik kepada pemerintah, jasa penyiaran, maupun masyarakat. Anggota pers dan penyiaran juga harus mengikuti etika dan moral yang mereka miliki, sementara pemerintah juga harus memahami batasan, sampai mana mereka berhak untuk ikut campur dalam “kebebasan” yang dijamin oleh konstitusi tersebut.***

Dinda Nur Amelia Fitri, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas

INDONESIA adalah negara hukum yang dengan tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Ditambahkan oleh ahli Arief Sidharta, salah satu unsur negara hukum adalah adanya asas demokrasi yang diwujudkan melalui keberadaan ruang pers yang bebas. Sekalipun berjudul “bebas”, namun tetap Indonesia terikat dengan norma dan nilai yang harus dijunjung tinggi. Oleh sebab itu, menurut teori pers yang dikemukakan oleh Fred S Siebert, Indonesia menganut teori pers tanggung jawab sosial yang tetap menyatakan kebebasan pers, namun dibatasi dengan etika dan moral yang berlaku.

Para jurnalis di luar sana tentu memahami dengan benar bentuk pers tanggung jawab sosial. Namun bagaimana dengan Pemerintah sebagai penguasa, apakah akan mendukung kehendak kebebasan pers atau justru menekan dan membungkam pers demi kepentingan para elite politik? Jawabannya dapat kita temukan pada RUU Penyiaran.

Hilangnya Siaran Televisi Kritik Politik

Siaran televisi mengenai politik dan hukum seperti “Indonesia Lawyers Club” dan “Mata Najwa” kompak hilang dari publik di tahun 2021 dan muncul kembali di platform digital youtube yang memberi lebih banyak ruang kebebasan. Hilangnya dua acara kenamaan yang terkenal dengan keberaniannya mengkritik pemerintah sempat menjadi pertanyaan masyarakat, apakah hilangnya dikarenakan tekanan tendensi politik atau murni demi alasan perluasan kebebasan?

Pemindahan kedua acara televisi tersebut ke platform digital seperti youtube sebenarnya memberikan dampak positifnya sendiri karena platform digital tidak termasuk dalam ruang lingkup yang dilindungi dan diawasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran. Hal ini tentu saja memberikan dampak positif karena konten-konten yang disajikan dapat lebih tajam, jujur, dan lepas dari intervensi eksternal.

Baca Juga:  Peningkatan Kekerasan dan Intimidasi Terhadap Media, AMSI Soroti Ancaman Terhadap Kebebasan Pers

Kontroversi RUU Penyiaran

Kebebasan yang dimiliki oleh platform digital terancam lenyap dengan adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran di dalam draft RUU Penyiaran, tepatnya dalam Pasal 13 ayat (3) yang semula hanya jasa penyiaran radio dan televisi, kini diperluas dengan menambahkan jasa penyiaran platform digital.

Hingga Januari 2022, menurut  Kominfo, telah tercatat 291 lembaga penyiaran televisi yang memiliki siaran secara digital melalui berbagai platform.

Adanya perluasan terhadap ruang lingkup ini kemudian menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Dari segi pro, perluasan ruang lingkup jasa penyiaran dengan menambahkan platform digital dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para content creator karena sebelumnya tidak terdapat regulasi yang mengatur sama sekali.

Namun di lain sisi, adanya perluasan ruang lingkup jasa penyiaran ini berisisko melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara kasar, ruang bicara di televisi telah sangat dibatasi dan berisiko besar masuknya tendensi dan tekanan politik dari “atasan”. Dan kini, ketika ruang platform digital mampu memberikan kebebasan tersebut, keadaan kembali “memaksa” para content creator untuk tunduk pada aturan serupa yang dilakoninya di stasiun televisi. Lantas apa perbedaan yang bisa diberikan kepada masyarakat?

Jika semula para content creator bebas menggunakan channel youtube yang mereka miliki untuk mengulas sesuatu secara mendalam, melakukan investigasi lepas terkait suatu persoalan, utamanya mengenai hukum dan politik, kemudian mengunggahnya dengan tujuan memberikan edukasi kepada masyarakat, kini terancam dibatasi jika RUU Penyiaran benar-benar disahkan.

Baca Juga:  Tersesat di Tempat yang Terang

Hal yang sama juga akan berlaku pada konten-konten seperti ILC dan Mata Najwa yang kembali terancam untuk “dihilangkan” dari peredaran penyiaran karena terlalu memberikan edukasi kepada masyarakat yang dapat mengancam citra politik dan aparat penegak hukum di Indonesia.

Solusi dan Resolusi

Dari uraian yang dipaparkan di atas, sekiranya solusi yang dapat diberikan adalah melakukan kajian ulang pasal per pasal dengan pendalaman kriteria pengawasan. Misalnya saja memasukkan batasan-batasan yang jelas mengenai konten-konten apa saja yang boleh diunggah dan apa yang tidak boleh. Kemudian juga mengatur mengenai mekanisme pengawasan yang jelas agar jangan sampai menimbulkan pasal-pasal karet bermakna ganda yang bukannya memberikan kepastian hukum, namun justru mengancam perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, terutama pelaku insan di dunia pers dan penyiaran.

Tidak hanya itu, kehidupan pers dan penyiaran yang bertanggung jawab sosial sebagaimana teori pers yang dianut oleh negara Indonesia juga harus ditekankan lagi, baik kepada pemerintah, jasa penyiaran, maupun masyarakat. Anggota pers dan penyiaran juga harus mengikuti etika dan moral yang mereka miliki, sementara pemerintah juga harus memahami batasan, sampai mana mereka berhak untuk ikut campur dalam “kebebasan” yang dijamin oleh konstitusi tersebut.***

Dinda Nur Amelia Fitri, Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Andalas

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari