(RIAUPOS.CO) – Peringatan hari bebas malaria tahun 2024 yang diperingati setiap tanggal 25 April dimana tahun ini mengambil tema Accelerating the fight against malaria for a more equitable world atau “Kita bebaskan Indonesia dari malaria untuk kesejahteraan yang adil dan merata”. Oke gas malaria perlu ditegaskan sebagai simbol semangat perubahan saling bersatu dan bersinergi memberikan dukungan yang kuat dalam pengendalian malaria. Berbagai strategi dan program yang lebih intensif sangat dibutuhkan dalam mencapai bebas malaria di Indonesia.
Sejarah malaria di Indonesia dimulai tahun 1900-an ketika jumlah penderita mencapai 30 juta orang serta kematian 120.000 orang. Arah kebijakan RJMN 2020-2024 adalah eliminasi malaria kabupaten/kota sebagai tindakan mengurangi jumlah kasus malaria yang lebih rendah. Serta melakukan pengendalian yang efektif mencegah penyebaran parasit ke daerah lain. Peran pemerintah daerah sangat penting melakukan penyuluhan dan edukasi, komitmen, perencanaan dan monitoring dan evaluasi. Pada saat ini kita masih berada periode 2020 sampai 2024 serta akan berlanjut periode berikutnya 2025 hingga 2023 dalam upaya eliminasi malaria.
Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dimana penyakit infeksi ini dapat terjadi akut maupun kronik yang disebabkan oleh protozoa genus plasmodium (plasmomodium vivax, falciparum, malariae, ovale dan spesies baru knowlesi) yang hidup serta berkembang biak di sel darah manusia yang ditularkan oleh nyamuk anopheles betina. Ciri khas malaria adalah suhu tubuh meningkat, anemia, pembesaran limpa (splenomegali), pembesaran hati (hepatomegali), menggigil dan berkeringat. Gejala malaria muncul biasanya 10-15 hari setelah gigitan nyamuk anopheles betina.
Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia, sebelum pandemi, kasus malaria secara global ditemukan sebanyak 232 juta kasus dengan 568.0000 kematian. Jumlah kasus malaria terus mengalami peningkatan saat pandemik Covid-19, dimana pada tahun 2020 sebanyak 245 juta kasus dengan 625.000 kematian. Ketika tahun kedua pandemik tahun 2021, ditemukan kasus sebanyak 247 kasus dengan 619.000 kematian dan diikuti tahun 2022. Menurut data Kementerian Kesehatan RI didapatkan kasus malaria di Indonesia turun 58 persen di tahun 2021 sebanyak 94.610 kasus, sedangkan tahun 2020 sebanyak 226.364 kasus.
Ada 3 hal yang perlu diperkuat dalam pengendalian penyakit malaria, Pertama, pengendalian faktor risiko. Hal yang perlu dikendalikan faktor risiko dengan data/informasi yang benar tentang vector, perkembangbiakan, serta perilaku masyarakat. Pelaksanaan pengendalian vector berdasarkan aspek rasional berdasarkan data dan fakta, efektif, efisien, sustainable/ berlanjut, acceptable/dapat diterima dan affordable/mampu dilaksanakan pada lokasi terjangkau sarana transportasi lebih murah.
Penguatan sistem surveilans kabupetan/kota yang sudah mencapai eliminasi dengan memperkuat relawan pengendalian vektor di masyarakat, penguatan babinsa dan babimkamtibmas, serta komunikasi perubahan perilaku. Pembentukan kader juru malaria desa dengan penemuan kasus berbasis masyarakat dan pengendalian vector, monitoring kelambu, komunikasi perubahan prilaku dan penguatan Dinas Pendidikan serta Perguruan tinggi. Pengendalian vektor dengan cara modifikasi tempat perindukan nyamuk dengan alat berat, pengaliran air yang tersumbat/tergenang langsung dipantau kepala desa, babinsa dan tokoh masyarakat.
Komunikasi perubahan perilaku dapat dilakukan di sekolah. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dengan menamkan, menumbuhkan, mengembangkan hidup sehat pada guru penggerak dan kader cilik sekolah malaria. Daerah endemis malaria perlu buku muatan lokal malaria oleh kepala dinas pendidikan kab/kota yang diberikan kepada kepala puskesmas dan kepala sekolah. Upaya peningkatan peran kader melakukan pemantauan kelambu dan jentik sekitar rumah dan promosi kesehatan pembersihan air. Dukungan dana kampung atau dana desa agar pembangunan desa benar-benar menyeluruh melakukan upaya percepatan pengendalian malaria. Adanya malaria center di desa perlu digesa sehingga mendukung upaya pengendalian melalui advokasi, penguatan sumber daya manusia, laboratoroium dan logistik.
Kedua, komitmen kuat pemerintah dalam mendukung upaya pengendalian malaria di daerah. Malaria sebagai masalah global memerlukan komitmen kuat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota secara terpadu penguatan respon, mitigasi risiko, deteksi dini, diagnosis tepat dan pengobatan penyakit malaria serta lingkungan yang bersih mencegah penularan malaria. Adanya penganggaran dana pengendalian malaria, berjalannya kerja sama lintas sektor, musyawarah masyarakat desa dan evaluasi program kesehatan di kampung.
Ketiga, adalah dengan memelihara lingkungan yang bersih dan sehat di setiap wilayah. Pengaktifan kegiatan gotong royong di desa perlu ditingkatkan dan terjadwal sehingga lingkungan tetap terjaga. Penyakit berbasis lingkungan ini dipengaruhi lingkungan fisik, biologi dan sosial budaya yang memerlukan kerjasama lintas sektor dan lintas program. Pembentukan kecamatan atau desa yang peduli malaria sangat dibutuhkan dalam mewujudkan desa atau kecamatan yang sehat bagi masyarakat.***