Revisi Rasa Keadilan yang Terkoyak

“Keadilan bukanlah sekadar tentang masalah kesalahan dan hukuman. Keadilan adalah mengenai lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan.”

Marilah kita renungkan kutipan itu terkait dengan wacana Revisi UU ITE yang sekarang masih terus bergema. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU  ITE) diwacanakan akan segera direvisi setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan serta tetap mampu menjaga ruang digital Indonesia senantiasa bersih, sehat, beretika, penuh sopan santun, tata krama, dan juga produktif.

- Advertisement -

“Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan maka saya akan minta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersama-sama merevisi UU ini. Terutama untuk menghapus pasal-pasal karet yang mudah diinterpretasikan secara sepihak dan berpotensi multitafsir karena di sinilah hulunya. Revisi,” kata Jokowi kepada pers (15/2).

Sebetulnya wacana revisi ini bukan pertama kali ini saja bergulir. Pada 2016, DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Akan tetapi revisi saat itu tidak serta merta menghapus pasal-pasal karet dan yang ada duplikasi hukum di dalamnya.

- Advertisement -

Bergulirnya kembali wacana merevisi UU ITE diharapkan dapat mencabut pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE. Ada sembilan bermasalah dalam UU ITE. Pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu adalah Pasal 26 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (3), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 Ayat (2a), Pasal 40 Ayat (2b), dan Pasal 45 Ayat (3).

Pakar hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Juajir Sumardi meminta pemerintah mengikut sertakan keterlibatan publik dalam merevisi UU ITE. “Dalam UU nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ada dicantumkan tentang partisipasi publik.  Salah satunya bisa melibatkan pakar pakar hukum, bisa perguruan tinggi. Hal itu bisa dibahas secara bersama secara objektif dan transparan. Jangan hanya berdasarkan kepentingan,” kata Juajir.

Dalam membuat aturan hendaknya pemerintah harus mengedepankan aspek filosofis, sosiologis dan yuridisnya, sehingga UU ITE yang dikeluarkan mampu mengakomodir seluruh pemangku kepentingan terutama kepentingan publik. Publik adalah subyek utama yang auto akan menerima dampak dari implementasi UU ITE ini.

Implementasi UU ITE

UU ITE pada hakikat awalnya adalah untuk dijadikan sebagai landasan filosofis informasi teknologi (IT).  Yaitu bagaimana menyelesaikan problem bisnis dan transaksi ekonomi yang menggunakan elektronik dan bukan untuk memenjarakan orang.

Namun pada kenyataanya, justru UU ini menimbulkan berbagai persoalan dan membuat polarisasi di tengah kehidupan masyarakat. Dimanfaatkan sebagai “senjata” untuk memenjarakan yang berbeda pandangan, menangkap individu yang mengkritisi dan tak sehaluan serta melibas lawan politik yang selalu berbeda pemahaman. Presiden Joko Widodo meminta secara terbuka kepada publik untuk dikritik apabila dalam menjalankan tugas, pemerintah dalam hal ini tidak memenuhi aspek-aspek layanan publik.  Sekilas,  permintaan itu terkesan sederhana. Permintaan dari seorang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya. Dimana dalam sistem demokrasi sekuler, rakyatlah yang telah memberikan mandat kepadanya untuk menjadi pemimpin. Dan pada dasarnya publik berharap agar pernyataan Presiden Jokowi di atas tidak sekadar retorika atau lip service.

Mengingat publik sepertinya sudah terlanjur kecewa dengan beberapa kasus hukum yang terjadi, yang mengusik rasa keadilan publik.  Rasa keadilan publik terkoyak ketika keadilan tidak diletakkan pada porsi yang sepatutnya, hukum jadi tebang pilih. Lemah pada kawan dan garang pada lawan. Tajam ke bawah tapi tumpul keatas.

Dalam Islam, kritik rakyat untuk penguasa adalah keniscayaan. Kritik adalah fitrah bagi penguasa untuk bermuhasabah dan memperbaiki kinerjanya. Islam tidak antikritik. Kritik dalam Islam terwujud dalam aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar. Yaitu menasihati dalam kebaikan, mengoreksi kebijakan penguasa, dan mencegah kezaliman dan kemungkaran.

Dari Tamim ad-Dari (diriwayatkan), bahwasanya Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka.” (HR Muslim). Nasihat bisa berupa kritik membangun agar pemimpin lebih memahami apa yang  perlu dilakukan perbaikan.***

 

 

“Keadilan bukanlah sekadar tentang masalah kesalahan dan hukuman. Keadilan adalah mengenai lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan.”

Marilah kita renungkan kutipan itu terkait dengan wacana Revisi UU ITE yang sekarang masih terus bergema. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU  ITE) diwacanakan akan segera direvisi setelah Presiden Joko Widodo meminta agar implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan serta tetap mampu menjaga ruang digital Indonesia senantiasa bersih, sehat, beretika, penuh sopan santun, tata krama, dan juga produktif.

“Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan maka saya akan minta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersama-sama merevisi UU ini. Terutama untuk menghapus pasal-pasal karet yang mudah diinterpretasikan secara sepihak dan berpotensi multitafsir karena di sinilah hulunya. Revisi,” kata Jokowi kepada pers (15/2).

Sebetulnya wacana revisi ini bukan pertama kali ini saja bergulir. Pada 2016, DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Akan tetapi revisi saat itu tidak serta merta menghapus pasal-pasal karet dan yang ada duplikasi hukum di dalamnya.

Bergulirnya kembali wacana merevisi UU ITE diharapkan dapat mencabut pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE. Ada sembilan bermasalah dalam UU ITE. Pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu adalah Pasal 26 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (3), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 Ayat (2a), Pasal 40 Ayat (2b), dan Pasal 45 Ayat (3).

Pakar hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Juajir Sumardi meminta pemerintah mengikut sertakan keterlibatan publik dalam merevisi UU ITE. “Dalam UU nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ada dicantumkan tentang partisipasi publik.  Salah satunya bisa melibatkan pakar pakar hukum, bisa perguruan tinggi. Hal itu bisa dibahas secara bersama secara objektif dan transparan. Jangan hanya berdasarkan kepentingan,” kata Juajir.

Dalam membuat aturan hendaknya pemerintah harus mengedepankan aspek filosofis, sosiologis dan yuridisnya, sehingga UU ITE yang dikeluarkan mampu mengakomodir seluruh pemangku kepentingan terutama kepentingan publik. Publik adalah subyek utama yang auto akan menerima dampak dari implementasi UU ITE ini.

Implementasi UU ITE

UU ITE pada hakikat awalnya adalah untuk dijadikan sebagai landasan filosofis informasi teknologi (IT).  Yaitu bagaimana menyelesaikan problem bisnis dan transaksi ekonomi yang menggunakan elektronik dan bukan untuk memenjarakan orang.

Namun pada kenyataanya, justru UU ini menimbulkan berbagai persoalan dan membuat polarisasi di tengah kehidupan masyarakat. Dimanfaatkan sebagai “senjata” untuk memenjarakan yang berbeda pandangan, menangkap individu yang mengkritisi dan tak sehaluan serta melibas lawan politik yang selalu berbeda pemahaman. Presiden Joko Widodo meminta secara terbuka kepada publik untuk dikritik apabila dalam menjalankan tugas, pemerintah dalam hal ini tidak memenuhi aspek-aspek layanan publik.  Sekilas,  permintaan itu terkesan sederhana. Permintaan dari seorang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya. Dimana dalam sistem demokrasi sekuler, rakyatlah yang telah memberikan mandat kepadanya untuk menjadi pemimpin. Dan pada dasarnya publik berharap agar pernyataan Presiden Jokowi di atas tidak sekadar retorika atau lip service.

Mengingat publik sepertinya sudah terlanjur kecewa dengan beberapa kasus hukum yang terjadi, yang mengusik rasa keadilan publik.  Rasa keadilan publik terkoyak ketika keadilan tidak diletakkan pada porsi yang sepatutnya, hukum jadi tebang pilih. Lemah pada kawan dan garang pada lawan. Tajam ke bawah tapi tumpul keatas.

Dalam Islam, kritik rakyat untuk penguasa adalah keniscayaan. Kritik adalah fitrah bagi penguasa untuk bermuhasabah dan memperbaiki kinerjanya. Islam tidak antikritik. Kritik dalam Islam terwujud dalam aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar. Yaitu menasihati dalam kebaikan, mengoreksi kebijakan penguasa, dan mencegah kezaliman dan kemungkaran.

Dari Tamim ad-Dari (diriwayatkan), bahwasanya Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam, dan kaum awam mereka.” (HR Muslim). Nasihat bisa berupa kritik membangun agar pemimpin lebih memahami apa yang  perlu dilakukan perbaikan.***

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya