Meraih emas PON 2021 Papua, Yogi Pratama mengaku peran orantuanya sangat penting atas keberhasilannya itu. Prestasi yang didapatkan saat ini adalah buah dari latihan yang tak kenal lelah.
Laporan: Hary B Koriun (Pekanbaru)
NAMA Yogi Pratama menjadi salah satu buah bibir kontingen Riau di PON 2021 Papua. Tak diperhitungkan oleh daerah lain, Yogi berhasil mengejutkan dengan meraih emas di nomor campound 50 meter putra.
Yang menarik, lawan yang ditaklukkannya di final adalah atlet nasional asal Jawa Barat yang merupakan unggulan di nomor ini, yakni Deki Andika Hastian. Angkanya cukup tipis, 146-144.
Yogi mengaku tak menyangka bisa meraih emas di PON 2021. Sebab, dari awal dia mengaku tidak menargetkan terlalu tinggi meski di PON 2016 Jawa Barat (Jabar) dia mampu sampai ke semifinal di nomor tersebut.
Menurut pemuda kelahiran Pekanbaru, 9 April 1999 ini, tampil di PON merupakan sebuah kebanggaan baginya meski ini bukan PON pertama kali yang diikuti Yogi. Meski senang bisa membela Riau di PON, tapi dia berusaha untuk mengendalikan emosi dan memberikan yang terbaik.
"Dapat medali emas juga tidak saya sangka, karena kami bertanding dengan target yang tidak terlalu tinggi. Dapat medali, apalagi emas, masih di luar ekspektasi saya. Dan ketika saya berada di podium, saya meraskan eforia, meski eforia itu hanya saat penyerahan medali saja. Sekarang saya berusaha untuk fokus untu ke depannya," jelas Yogi.
Kesuksesan Yogi meraih emas di PON 2021 tak lepas dari pengaruh orangtuanya. Sang ayah, Muslim SPd, adalah pelatih panahan Riau yang sangat tekun melatih anak-anak didiknya.
Yogi mulai belajar membidikkan anak panah sekitar tahun 2010-2011 (saat usia 11 tahun). Dia diajak sang ayah ikut latihan. Awalnya hanya ingin ikut latihan, hingga akhirnya keterusan. Tahun 2012, Yogi masuk dalam program Pusat Pembinaan dan Latihan Pelajar (PPLP) Panahan Riau dan ikut dalam kejuaraan resmi pada 2013 di Papua Barat.
Dia mengaku, ayahnya memilik peran yang lebih dominan dalam karirnya sebagai atlet. Karena keterikatan emosional dan kedekatan sebagai anak-ayah inilah yang membuat Yogi bersungguh-sungguh menekuni panahan. Sebagai pelatih, dia percaya kepada ayahnya yang tahu seluk-beluk panahan.
"Ibu (Deni Astuti, red) juga mendukung karir saya di panahan. Orangtua menekankan untuk serius dalam latihan, tetapi tetap berusaha untuk tidak meninggalkan pendidikan. Pendidikan lebih utama dari karir atlet," ujar mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) tersebut.
Selama menjalani karir sebagai atlet sejak awal, Yogi mengaku tahu risikonya, yakni harus membagi waktu antara belajar sebagai pelajar atau mahasiswa dan berlatih sebagai atlet. Untuk saat ini dia mengaku ingin sukses di keduanya. Baginya pendidikan sangat penting karena dia tahu karir seorang atlet tidak akan selamanya.
"Itu sudah menjadi resiko seorang atlet. Saya rasa setiap atlet dituntut untuk mampu mengatur waktu, dan saya sedang berusaha melakukan itu. Sampai sekarang, saya merasa bahwa manajemen waktu saya masih buruk," jelas peraih emas Popnas 2015 di Jabar tersebut.
Yogi berharap, para orangtua yang anaknya ingin berkarir di olahraga diberi dukungan penuh. Kata dia olahraga bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif pengisi waktu luang, bahkan bisa jadi pekerjaan apabila digeluti secara serius. Setidaknya bisa dicoba dan dilihat apakah anak memiliki minat atau tidak.
"Yang penting berolahraga dulu sesuai yang diinginkan. Soal prestasi itu akan datang dengan sendirinya jika kita serius," jelas Yogi yang meraih perunggu dalam Kejohanan Memanah Muzium Diraja, Malaysia 2019, tersebut.
Kepada pemangku kepentingan olahraga (pemerintah, lembaga, organisasi), sebagai atlet dia mengharapkan bantuannya dalam bidang fasilitas. Mungkin untuk sekarang cukup, tetapi fasilitas ini tidak bertahan lama, dan sering habis pada saat genting, seperti menjelang pertandingan.
"Dukungan fasilitas untuk latihan dan pertandingan ini sangat penting," ujar peraih perak pada Kejurnas Panahan 2017 di Aceh ini.
Terakhir, Yogi berharap kepada lembaga pendidikan memberi perhatian dan kemudahan bagi siswa/mahasiswa yang menjadi atlet. Menurutnya, terkadang ada situasi dan kondisi yang bentrok antara latihan dan belajar, hingga harus memilih salah satunya. Pada kondisi atlet harus bertanding, tentu jam belajar harus ditunda.
"Saya yakin para atlet tidak ingin meninggalkan pendidikan, tetapi karena kondisi yang mengharuskan untuk ditunda. Jadi saya berharap kepada lembaga pendidikan, baik itu kampus atau sekolah, memberi kemudahan administrasi kepada pelajar atau mahasiswa yang berkarir sebagai atlet," ujarnya lagi.
Soal bonus yang dijanjikan Pemerintah Provinsi Riau untuk atlet yang meraih medali di PON, Yogi mengaku tak telalu memikirkannya. Sebab dari awal dia hanya fokus menyelesaikan pekerjaannya sebagai atlet. Dapat atau tidak dapat medali.
"Jika bonusnya sudah sampai ke saya, mungkin baru kepikiran mau dipakai buat apa," ujarnya setengah bercanda.***