Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Batin Felicia

MUMPUNG hari Ahad, kita bicara komunikasi di Disway hari ini –dengan contoh Felicia Tissue. Saya tidak tahu apakah nama belakangnya itu nama panggilan atau sungguhan. Saya tidak pernah mengikuti ”kasus Felicia” ini.

Saya terpaksa sedikit tahu karena ada kiriman video dari teman. Saya tidak pernah dengan sengaja ingin atau mencari berita tentang Felicia.

Tiga hari lalu begitu banyak yang kirim ke saya video yang sama: Felicia Tissue. Yang lagi bicara di video. Yang kelihatannya sengaja dibuat khusus untuk itu. Terasa di video itu Felicia membaca teks. Berarti, isi video tersebut sudah dipersiapkan. Mungkin pula sudah dibaca beberapa kali sebelum divideokan. Pokoknya: isi video tersebut sengaja dibuat seperti itu.

Wajah Felicia terlihat imut. Sedikit memelas. Air matanya meleleh, tapi terkontrol dengan baik. Cara menyapu air mata itu –dengan jarinya yang dibengkokkan– juga sangat terkontrol.

Felicia pinter: menaruh boneka di sebelahnya duduk. Hanya boneka. Tidak ada apa pun lagi di sekitarnya. Hanya Felicia dan boneka di situ –menggambarkan kesendiriannya setelah ditinggal ghosting oleh calon suaminya yang tidak jadi. Konon boneka itu tempatnya curhat sejak ditinggal diam-diam oleh Kaesang –putra Pak Jokowi.

Saya dua kali memutar video itu. Untuk bisa menyelami esensi apa yang diinginkan Felicia. Pertama, soal bully. Kedua, soal penyelesaian. Kalau kesimpulan saya itu salah, maafkan Felicia. Terasa sekali Felicia tersiksa oleh bully. Terutama karena dikaitkan dengan SARA –bahwa dia Tionghoa. Juga, karena dia beragama bukan Islam.

Kelihatannya dia Buddha –dari caranya mengucapkan selamat Hari Raya Waisak. Lalu, soal kewarganegaraan –kelihatannya ada yang meragukan dia masih warga negara Indonesia. Itu karena Felicia sejak kecil sekolah di Singapura. Ke-Tionghoa-an, ke-Buddha-an, dan ke-Indonesia-an itu yang kelihatannya menggelisahkannya.

Baca Juga:  IMEI Tak Terdaftar, Pasti Tak Dapat Sinyal

Saya tidak tahu seberapa kejam medsos menghajar Felicia di tiga hal itu. Saya belum pernah membaca satu pun medsos yang mem-bully Felicia –karena saya terbelakang di bidang medsos. Yang menarik adalah ini: mengapa Felicia membawa-bawa Pak Jokowi. Bukan hanya membawa-bawa, tapi justru menjadikan Pak Jokowi fokus videonya itu.

Sebenarnya itu sangat berlebihan. Menjadikan Pak Jokowi sebagai sasaran sangat tidak nyambung. Ini kan soal hubungan dua anak muda. Yang selama lima tahun mereka pacaran. Yang sudah saling memberi tahu keluarga besar. Yang keinginan kawin sudah dibicarakan. Yang di acara-acara keluarga sudah saling dilibatkan.

Seperti sudah pasti Felicia-lah istri Kaesang –sebentar lagi. Ternyata ambyar.

Dari video itu, saya tidak melihat Felicia menuntut yang berlebihan. Misalnya, harus tetap kawin. Atau harus mendapat ganti rugi harta benda.

Felicia terlihat hanya minta ada penyelesaian. Sebelum ada penyelesaian itu, Felicia merasa belum tahu apakah dia itu sudah ditinggalkan atau belum. Ghosting, di mata Felicia, rupanya dianggap bukan bentuk penyelesaian.

Dalam istilah umum sebenarnya lebih sederhana: datang tampak muka, hilang harus tampak belakang. Apalagi, ini menyangkut seorang gadis yang entah apa saja yang sudah dia korbankan.

Terlihat ada perbedaan budaya di dalamnya. Satu, budaya berterus terang. Satu lagi, budaya menghilang. Yang punya budaya terus terang menuntut sesuatu itu harus jelas. Yang punya budaya menghilang rupanya berprinsip: situ yang harus merasa sendiri.

Saya tidak percaya Kaesang menggerakkan buzzer untuk mem-bully habis Felicia. Mungkin para buzzer sendiri yang mencoba mengambil hati Kaesang. Tapi, dampak bully masif itu begitu dalam bagi Felicia.

Baca Juga:  Ternyata, Pegawai KPK Tak Lulus ASN Pimpin OTT Bupati Nganjuk

Dia seperti kehilangan segala-galanya. Saya bersyukur dia mengatakan telah mencoba menguatkan diri. Tidak sampai seperti di Amerika Serikat: murid yang tidak tahan atas bully sampai meloncat dari bus sekolah yang lagi melaju di jalan raya.

Maka, kakanda Kaesang benar ketika mengatakan ‘’selesaikanlah’’. Sang kakak, Gibran, yang kini menjadi Wali Kota Solo, memang dikejar wartawan. Gibran ditanya soal Kaesang. Jawab Gibran seperti itu. Yang itu ditujukan kepada adiknya, lewat media.

Saya setuju dengan Gibran. Selesaikanlah. Tidak semua orang punya budaya ”bisa mengerti sendiri”. Kaesang punya gerbong besar. Atau bagian dari gerbong besar. Jangan sampai gerbong besar itu mengangkut asap yang hitam.

Saya tidak tahu dari daerah mana Felicia berasal. Dari bahasa Indonesia yang dia gunakan, pastinya dia bukan orang Jawa. Intonasi kata per katanya ‘’sangat Indonesia’’. Kelihatannya Felicia dari Sumatera. Atau Riau. Atau Kalimantan. Budayanya adalah budaya terus terang. Apalagi, lama pula sekolah di Singapura.

Felicia memang keterlaluan menjadikan Pak Jokowi sasaran utama. Tapi, itu tadi, dia sudah merasa mentok. Mau ke mana lagi. Berbagai usaha sudah dilakukan. Termasuk pun neneknya yang berumur 84 tahun. Sang nenek sampai ke Istana Bogor. Tapi tidak berhasil. Dalam istilah Felicia, ‘’Kami menghadapi tembok yang tebal’’.

Felicia juga berlebihan membawa-bawa konstitusi negara. Apalagi juga Pancasila. Tapi, orang seperti Felicia menganggap Pancasila itu harus seperti agama: yang mengaku Pancasilais juga harus menjalankan Pancasila. Bagi Felicia, menjalankan Pancasila itu sederhana: jangan menyakiti orang. Tanpa penyelesaian, Felicia mungkin akan lama membawa derita batinnya. Batin seorang wanita.***

 

MUMPUNG hari Ahad, kita bicara komunikasi di Disway hari ini –dengan contoh Felicia Tissue. Saya tidak tahu apakah nama belakangnya itu nama panggilan atau sungguhan. Saya tidak pernah mengikuti ”kasus Felicia” ini.

Saya terpaksa sedikit tahu karena ada kiriman video dari teman. Saya tidak pernah dengan sengaja ingin atau mencari berita tentang Felicia.

- Advertisement -

Tiga hari lalu begitu banyak yang kirim ke saya video yang sama: Felicia Tissue. Yang lagi bicara di video. Yang kelihatannya sengaja dibuat khusus untuk itu. Terasa di video itu Felicia membaca teks. Berarti, isi video tersebut sudah dipersiapkan. Mungkin pula sudah dibaca beberapa kali sebelum divideokan. Pokoknya: isi video tersebut sengaja dibuat seperti itu.

Wajah Felicia terlihat imut. Sedikit memelas. Air matanya meleleh, tapi terkontrol dengan baik. Cara menyapu air mata itu –dengan jarinya yang dibengkokkan– juga sangat terkontrol.

- Advertisement -

Felicia pinter: menaruh boneka di sebelahnya duduk. Hanya boneka. Tidak ada apa pun lagi di sekitarnya. Hanya Felicia dan boneka di situ –menggambarkan kesendiriannya setelah ditinggal ghosting oleh calon suaminya yang tidak jadi. Konon boneka itu tempatnya curhat sejak ditinggal diam-diam oleh Kaesang –putra Pak Jokowi.

Saya dua kali memutar video itu. Untuk bisa menyelami esensi apa yang diinginkan Felicia. Pertama, soal bully. Kedua, soal penyelesaian. Kalau kesimpulan saya itu salah, maafkan Felicia. Terasa sekali Felicia tersiksa oleh bully. Terutama karena dikaitkan dengan SARA –bahwa dia Tionghoa. Juga, karena dia beragama bukan Islam.

Kelihatannya dia Buddha –dari caranya mengucapkan selamat Hari Raya Waisak. Lalu, soal kewarganegaraan –kelihatannya ada yang meragukan dia masih warga negara Indonesia. Itu karena Felicia sejak kecil sekolah di Singapura. Ke-Tionghoa-an, ke-Buddha-an, dan ke-Indonesia-an itu yang kelihatannya menggelisahkannya.

Baca Juga:  Gerakan Cinta Zakat di Riau

Saya tidak tahu seberapa kejam medsos menghajar Felicia di tiga hal itu. Saya belum pernah membaca satu pun medsos yang mem-bully Felicia –karena saya terbelakang di bidang medsos. Yang menarik adalah ini: mengapa Felicia membawa-bawa Pak Jokowi. Bukan hanya membawa-bawa, tapi justru menjadikan Pak Jokowi fokus videonya itu.

Sebenarnya itu sangat berlebihan. Menjadikan Pak Jokowi sebagai sasaran sangat tidak nyambung. Ini kan soal hubungan dua anak muda. Yang selama lima tahun mereka pacaran. Yang sudah saling memberi tahu keluarga besar. Yang keinginan kawin sudah dibicarakan. Yang di acara-acara keluarga sudah saling dilibatkan.

Seperti sudah pasti Felicia-lah istri Kaesang –sebentar lagi. Ternyata ambyar.

Dari video itu, saya tidak melihat Felicia menuntut yang berlebihan. Misalnya, harus tetap kawin. Atau harus mendapat ganti rugi harta benda.

Felicia terlihat hanya minta ada penyelesaian. Sebelum ada penyelesaian itu, Felicia merasa belum tahu apakah dia itu sudah ditinggalkan atau belum. Ghosting, di mata Felicia, rupanya dianggap bukan bentuk penyelesaian.

Dalam istilah umum sebenarnya lebih sederhana: datang tampak muka, hilang harus tampak belakang. Apalagi, ini menyangkut seorang gadis yang entah apa saja yang sudah dia korbankan.

Terlihat ada perbedaan budaya di dalamnya. Satu, budaya berterus terang. Satu lagi, budaya menghilang. Yang punya budaya terus terang menuntut sesuatu itu harus jelas. Yang punya budaya menghilang rupanya berprinsip: situ yang harus merasa sendiri.

Saya tidak percaya Kaesang menggerakkan buzzer untuk mem-bully habis Felicia. Mungkin para buzzer sendiri yang mencoba mengambil hati Kaesang. Tapi, dampak bully masif itu begitu dalam bagi Felicia.

Baca Juga:  Bupati Rohil Ajak Gemar Makan Ikan

Dia seperti kehilangan segala-galanya. Saya bersyukur dia mengatakan telah mencoba menguatkan diri. Tidak sampai seperti di Amerika Serikat: murid yang tidak tahan atas bully sampai meloncat dari bus sekolah yang lagi melaju di jalan raya.

Maka, kakanda Kaesang benar ketika mengatakan ‘’selesaikanlah’’. Sang kakak, Gibran, yang kini menjadi Wali Kota Solo, memang dikejar wartawan. Gibran ditanya soal Kaesang. Jawab Gibran seperti itu. Yang itu ditujukan kepada adiknya, lewat media.

Saya setuju dengan Gibran. Selesaikanlah. Tidak semua orang punya budaya ”bisa mengerti sendiri”. Kaesang punya gerbong besar. Atau bagian dari gerbong besar. Jangan sampai gerbong besar itu mengangkut asap yang hitam.

Saya tidak tahu dari daerah mana Felicia berasal. Dari bahasa Indonesia yang dia gunakan, pastinya dia bukan orang Jawa. Intonasi kata per katanya ‘’sangat Indonesia’’. Kelihatannya Felicia dari Sumatera. Atau Riau. Atau Kalimantan. Budayanya adalah budaya terus terang. Apalagi, lama pula sekolah di Singapura.

Felicia memang keterlaluan menjadikan Pak Jokowi sasaran utama. Tapi, itu tadi, dia sudah merasa mentok. Mau ke mana lagi. Berbagai usaha sudah dilakukan. Termasuk pun neneknya yang berumur 84 tahun. Sang nenek sampai ke Istana Bogor. Tapi tidak berhasil. Dalam istilah Felicia, ‘’Kami menghadapi tembok yang tebal’’.

Felicia juga berlebihan membawa-bawa konstitusi negara. Apalagi juga Pancasila. Tapi, orang seperti Felicia menganggap Pancasila itu harus seperti agama: yang mengaku Pancasilais juga harus menjalankan Pancasila. Bagi Felicia, menjalankan Pancasila itu sederhana: jangan menyakiti orang. Tanpa penyelesaian, Felicia mungkin akan lama membawa derita batinnya. Batin seorang wanita.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari