JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listiyarti mencoba menjaring aspirasi guru, siswa, dan orangtua terkait pembukaan sekolah pada saat pandemi. Hasilnya cukup menggelitik. Banyak yang ingin buru-buru sekolah. Melalui Facebook, Retno mengunggah angket dengan sepuluh pertanyaan.
"Saya mengapresiasi semangat dan antusias masyarakat mengisi dan men-share angket tersebut. Bahkan ketika pengisian angket di tutup pada Kamis (28/5) pukul 7.30 WIB, ada ratusan WhatsApp dan inbox Facebook ke nomor pribadi dari masyarakat yang berminat mengisi angket tersebu," ungkap Retno dalam keterangan resminya, kemarin (29/5).
Diperoleh partisipasi siswa sebanyak 9.643 orang, partisipasi guru sebanyak 18.112 orang, dan partisipasi orangtua mencapai 196.559 orang. Orangtua yang paling antusias mengikuti pengisian angket ini.
"Orangtua yang mengisi mencapai ratusan ribu dalam waktu singkat menggambarkan bahwa masyarakat khawatir melepas anaknya bersekolah di saat pandemi. Kasus masih tinggi dan belum terlihat persiapan sekolah dan Dinas Pendidikan dalam melindungi anak-anak selama di sekolah nantinya," tutur Retno.
Data yang diperoleh secara umum cukup unik. Siswa mayoritas setuju masuk sekolah, namun sebagian besar orangtua justru tidak setuju sekolah dibuka 13 Juli ini.
"Sebagian besar anak setuju sekolah dibuka karena kemungkinan mereka sudah jenuh belajar dari rumah," ungkapnya. Ini mengkonfirmasikan bahwa data survei PJJ KPAI beberapa waktu lalu yang menunjukkan siswa mengalami kejenuhan selama PJJ dan bahkan siswa berpendapat lebih senang belajar di sekolah.
Selain itu, KPAI juga mendorong agar mendorong seluruh dinas pendidikan provinsi, kota, dan kabupaten utnuk segera membuat petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB). mengingat, PPDB tahun ini diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19. Sehingga harus lebih detil dalam mengadopsi protokol kesehatan.
Pengamat pendidikan sekaligus pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengomentari keresahan orang tua murid terkait rencana pemberlakuan new normal. Termasuk rencana new normal dengan cara kembali masuk sekolah di tengah wabah Covid-19. Meskipun untuk wilayah atau zona hijau penularan Covid-19, Rizal mengatakan sebaiknya murid tidak perlu datang ke sekolah pada sampai akhir Desember 2020 nanti.
"Juli sampai Desember siswa tetap belajar di rumah saja. Kita tidak ingin membentuk klaster Covid-19 baru di sekolah," katanya kemarin.
Apalagi sampai saat ini belum ada tanda-tanda penemuan vaksin Covid-19. Rizal mengatakan saat ini boleh saja Kemendikbud membuat panduan new normal untuk di sekolah. Baik itu bagi para guru, murid, atau warga sekolah lainnya. Namun regulasi new normal di dunia pendidikan itu perlu disosialisasikan dahulu. Tidak bisa diterapkan saat ini. Termasuk di awal tahun pelajaran baru yang dimulai 13 Juli nanti. Dia mengatakan sampai sekarang budaya hidup sehat berdasarkan Covid-19 belum tercipta secara masif di masyarakat.
"Jangan memandang sekolah hanya di Jakarta saja," kata pria yang juga menjadi dosen di UGM Jogjakarta itu.
Menurut Rizal, kebiasaan siswa untuk saling bergandengan, berjabat tangan, bermain ramai-ramai bersama teman-temannya masih tinggi. Sehingga protokol untuk jaga jarak cukup susah jika seketika diterapkan tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu. Sementara itu fasilitas kesehatan di sekolah juga masih minim. Misalnya fasilitas untuk mencuci tangan di setiap kelas, menurutnya belum ada di sekolah. Jangankan di sekolah-sekolah di daerah. Di pusat kota seperti Jakarta saja, fasilitas tempat cuci tangan untuk anak-anak di sekolah belum memadai. Dia berharap pemerintah menyiapkan dahulu fasilitas cuci tangan di sekolah sebelum menjalankan pembelajaran tatap muka kembali.
"Anggarannya bisa dari dana bantuan operasional sekolah (BOS, red)," jelasnya. Selain infrasktruktur kesehatan, Rizal menuturkan infrasktur untuk pembelajaran jarak jauh juga harus ditingkatkan.
Seperti infrastruktur internet maupun listrik. Pengalaman pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berbasis online selama tiga bulan terakhir, harus dijadikan bahan evaluasi bagi pemerintah untuk tahun ajaran baru nanti. Rizal lantas menjelaskan GSM sempat membuat survei dengan 1.600 responden. Meliputi guru dan murid.
"Baik di sekolah yang menjalankan GSM mapun non GSM," tuturnya. Diantara hasil surveinya adalah anak banyak yang bosan dengan proses pembelajaran online dari rumah. Diantara sebabnya adalah merasa banyak kelebihan beban tugas dari guru.
Kemudian siswa banyak yang mengaku rindu dengan sekolah. Namun yang membuat mereka rindu itu adalah teman-teman di kelas.
"Anak-anak rindu bermain di sekolah," jelasnya. Ada sebagian yang pingin bertemu dengan gurunya lagi.
Temuan lain dari survei itu adalah guru mengalami kesulitan menilai atau evaluasi siswa dari proses pembelajaran online. Kemudian guru juga kesulitan mengembangkan metodologi belajar online. Umumnya para guru menggunakan aplikasi (WA) dalam proses pembelajaran online, karena mudah WhatsApp penggunaannya. Tugas cukup difoto kemudian disebar ke murid atau orangtuanya. Dia berharap Kemendikbud membuat pelatihan pengembangan metode pembelajaran online untuk para guru. Khususnya guru-guru yang menjalankan pembelajaran jarak jauh dari rumah.
Merespons hal tersebut, Kemendikbud telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah (BDR) Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Regulasi Chatarina Muliana Girsanga menyampaikan, ini akan memperkuat SE Mendikbud sebelumnya tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19).(lyn/wan/jpg)