Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Waktu 14 Hari bagi Mahkamah Konstitusi, Cukupkah?

JAKARTA (RIAUPOS.CO)  – Masa yang dimiliki Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan sengketa pemilu presiden selama 14 hari yang diajukan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapat sorotan.
Ketentuan masa 14 hari itu mengacu kepada pasal 475 ayat 3 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemerhati pemilu, Said Salahudin menyebutkan, masa itu tidak ideal. ’’Sekalipun ketentuan terkait hari tidak merujuk pada hari kalender, karena telah dimaknai oleh MK sebagai hari kerja, tetapi menurut penalaran yang wajar waktu tersebut tampaknya tidak akan cukup memadai,’’ ujar Said di Jakarta, Rabu (29/5/2019).

Said kemudian membeberkan pembagian waktu dalam persidangan di MK. Yaitu, pemeriksaan pendahuluan, pembuktian dan pembacaan putusan. Dari tiga tahapan tersebut, pembuktian sangat penting. Pada tahap ini para pihak berkesempatan saling menunjukan bukti serta beradu argumentasi hukum, untuk membuktikan benar-tidaknya Pilpres 2019 berlangsung curang.

Baca Juga:  Empat Tahun Berjuang, Tetap Produktif Berkarya

’’Persoalannya, jangan dibayangkan dalam 14 hari itu MK nantinya akan menggelar sidang pembuktian sebanyak 14 kali. Jumlahnya pasti akan kurang dari itu. Pada PHPU Pilpres 2014 saja, misalnya, MK hanya menggelar tujuh kali sidang pembuktian dari total sembilan kali persidangan,’’ ucap Said.

Menurut Dewan Pakar Pusat Konsultasi Hukum Pemilu ini, MK pada 2014 lalu hanya fokus pada sidang PHPU Pilpres saja. Berbeda dengan masa sidang PHPU 2019, MK masih harus menangani PHPU Pileg secara bersamaan. Melihat kondisi yang ada, Said memprediksi sangat tidak mudah bagi MK mengatur jadwal dan mengoptimalkan persidangan.
Apalagi dalam hal ini efektivitas yang dimaksud terkait kualitas persidangan. MK diharapkan tidak sekadar menggelar sidang, tetapi diharapkan persidangan dapat mengungkap berbagai permasalahan yang muncul pada penyelenggaraan pemilu.

’’Jadi, pendeknya masa persidangan PHPU Pilpres saya kira jauh dari ideal untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagaimana didalilkan oleh Paslon 02,’’ katanya.

Baca Juga:  Kuansing dan Rohil Boleh Beraktivitas

Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini lebih lanjut mengatakan, kalau argumentasinya TSM, artinya MK diminta memeriksa kembali semua proses pemilu sejak tahapan awal. Sebab, ketika disebut pelanggaran sistematis, misalnya, itu terkait dugaan adanya rencana yang telah dirancang jauh-jauh hari untuk memenangkan paslon tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan.

JAKARTA (RIAUPOS.CO)  – Masa yang dimiliki Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan sengketa pemilu presiden selama 14 hari yang diajukan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapat sorotan.
Ketentuan masa 14 hari itu mengacu kepada pasal 475 ayat 3 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemerhati pemilu, Said Salahudin menyebutkan, masa itu tidak ideal. ’’Sekalipun ketentuan terkait hari tidak merujuk pada hari kalender, karena telah dimaknai oleh MK sebagai hari kerja, tetapi menurut penalaran yang wajar waktu tersebut tampaknya tidak akan cukup memadai,’’ ujar Said di Jakarta, Rabu (29/5/2019).

Said kemudian membeberkan pembagian waktu dalam persidangan di MK. Yaitu, pemeriksaan pendahuluan, pembuktian dan pembacaan putusan. Dari tiga tahapan tersebut, pembuktian sangat penting. Pada tahap ini para pihak berkesempatan saling menunjukan bukti serta beradu argumentasi hukum, untuk membuktikan benar-tidaknya Pilpres 2019 berlangsung curang.

Baca Juga:  Ibunda: Kembalikan Anakku, Kembalikan Anakku Kasihan...

’’Persoalannya, jangan dibayangkan dalam 14 hari itu MK nantinya akan menggelar sidang pembuktian sebanyak 14 kali. Jumlahnya pasti akan kurang dari itu. Pada PHPU Pilpres 2014 saja, misalnya, MK hanya menggelar tujuh kali sidang pembuktian dari total sembilan kali persidangan,’’ ucap Said.

- Advertisement -
Menurut Dewan Pakar Pusat Konsultasi Hukum Pemilu ini, MK pada 2014 lalu hanya fokus pada sidang PHPU Pilpres saja. Berbeda dengan masa sidang PHPU 2019, MK masih harus menangani PHPU Pileg secara bersamaan. Melihat kondisi yang ada, Said memprediksi sangat tidak mudah bagi MK mengatur jadwal dan mengoptimalkan persidangan.
Apalagi dalam hal ini efektivitas yang dimaksud terkait kualitas persidangan. MK diharapkan tidak sekadar menggelar sidang, tetapi diharapkan persidangan dapat mengungkap berbagai permasalahan yang muncul pada penyelenggaraan pemilu.

’’Jadi, pendeknya masa persidangan PHPU Pilpres saya kira jauh dari ideal untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagaimana didalilkan oleh Paslon 02,’’ katanya.

Baca Juga:  Masyarakat pun Khawatir Tertular Corona secara Masif

Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini lebih lanjut mengatakan, kalau argumentasinya TSM, artinya MK diminta memeriksa kembali semua proses pemilu sejak tahapan awal. Sebab, ketika disebut pelanggaran sistematis, misalnya, itu terkait dugaan adanya rencana yang telah dirancang jauh-jauh hari untuk memenangkan paslon tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan.

- Advertisement -

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari