Minggu, 10 November 2024

Pandemi Covid-19 Jadi Krisis Ekonomi Global

- Advertisement -

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pandemi Covid-19 mengganggu stabilitas perekonomian dunia. Bahkan, International Monetary Fund (IMF) menyebut wabah virus corona yang menyerang hampir seluruh negara di dunia tersebut sebagai krisis ekonomi dan keuangan global.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam pernyataan bersama Ketua Komite Moneter dan Keuangan Internasional Lesetja Kganyago. ”Kita berada dalam situasi yang belum per­nah terjadi sebelumnya, pandemi kesehatan global telah berubah menjadi krisis ekonomi dan keuangan,’’ ujar dia, Sabtu (28/3).

- Advertisement -

Georgieva menuturkan, aktivitas ekonomi yang mandek di sejumlah negara akan memberikan kontraksi pada pertumbuhan ekonomi tahun ini. Sebab, negara-negara anggota telah mengambil tindakan untuk menyelamatkan nyawa warganya dan melindungi kegiatan ekonomi.

Namun, lanjut dia, masih banyak upaya yang harus dilakukan. Prioritas utama adalah dukungan fiskal yang ditujukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga. Selain itu, menjaga kelangsungan bisnis untuk mempercepat pemulihan ekonomi pada 2021.

Meski dampak kesehatan yang paling terasa di negara maju, kombinasi dari persoalan kesehatan dan krisis ekonomi akan membuat negara berkembang mengalami capital outflow secara tiba-tiba dan penurunan harga komoditas.

- Advertisement -
Baca Juga:  Diskominfotiks Terima Kunjungan Komisi Informasi Riau

”Banyak dari negara-negara ini memerlukan bantuan untuk memperkuat respons krisis ini serta untuk memulihkan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi,” kata dia. Penyebabnya, kekurangan likuiditas valuta asing di negara berkembang dan beban utang yang tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah.

IMF pun menyiapkan dana USD 1 triliun kepada negara-negara anggotanya. Lembaga itu juga mengajak lembaga keuangan internasional lainnya untuk berkontribusi. ”IMF telah mengambil tindakan guna memberikan bantuan pembiayaan utang dan mengeksplorasi opsi lainnya untuk membantu anggota yang kekurangan valuta asing,’’ jelasnya.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengamini pernyataan IMF tersebut. Ekonomi global akan menunjukkan penurunan pertumbuhan yang tajam sampai akhir tahun ini. ”Karena banyak negara yang melakukan lockdown. Daya beli masyarakat turun juga, khususnya untuk negara berkembang,’’ ujar dia kepada JPG, Sabtu (28/3).

Namun, Bhima tak sepakat dengan bentuk solidaritas IMF yang memberikan fasilitas bagi negara anggota untuk menarik pinjaman baru. Termasuk Indonesia. Menurut dia, tindakan itu sama dengan yang pernah dilakukan IMF pada 2008. Kala itu IMF memberikan pinjaman kepada negara-negara yang mengalami krisis dengan beberapa tuntutan kepada pemerintah. ”Nah, ini yang harus diwaspadai. Jangan sampai masuk jurang untuk kedua kalinya,’’ ujar dia.

Baca Juga:  Misi Mulia dalam Menyambung Sumatera, Diapresiasi Menteri PUPR

Menurut Bhima, Indonesia belum perlu mengajukan pinjaman baru kepada IMF dan kreditor asing lainnya. Sebab, kapasitas anggaran nasional disebut masih bisa digeser dan mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. ”Pos infrastruktur Rp423 triliun. Anggaran perjalanan dinas, belanja rutin pun bisa dipangkas, termasuk gaji pejabat. Nggak perlu (berutang ke IMF, red),’’ tegasnya.

Berbagai pergeseran anggaran itu bisa dilakukan melalui mekanisme APBN perubahan. Dengan begitu, pemerintah bisa mengalihkan anggaran-anggran dengan nilai jumbo pada penanganan Covid-19 tanpa meminta pertolongan IMF.

Namun, apabila lembaga seperti IMF telah menyebut kondisi saat ini sebagai krisis ekonomi global, RI patut mewaspadai dampak yang akan terjadi. Di antaranya, pelemahan nilai tukar di atas level Rp17.000 per dolar AS, IHSG yang terkoreksi cukup dalam, defisit transaksi berjalan di atas 3 persen, defisit APBN melebar, hingga adanya PHK masal di hampir semua sektor ekonomi.(dee/c10/fal/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pandemi Covid-19 mengganggu stabilitas perekonomian dunia. Bahkan, International Monetary Fund (IMF) menyebut wabah virus corona yang menyerang hampir seluruh negara di dunia tersebut sebagai krisis ekonomi dan keuangan global.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam pernyataan bersama Ketua Komite Moneter dan Keuangan Internasional Lesetja Kganyago. ”Kita berada dalam situasi yang belum per­nah terjadi sebelumnya, pandemi kesehatan global telah berubah menjadi krisis ekonomi dan keuangan,’’ ujar dia, Sabtu (28/3).

- Advertisement -

Georgieva menuturkan, aktivitas ekonomi yang mandek di sejumlah negara akan memberikan kontraksi pada pertumbuhan ekonomi tahun ini. Sebab, negara-negara anggota telah mengambil tindakan untuk menyelamatkan nyawa warganya dan melindungi kegiatan ekonomi.

Namun, lanjut dia, masih banyak upaya yang harus dilakukan. Prioritas utama adalah dukungan fiskal yang ditujukan untuk mendorong konsumsi rumah tangga. Selain itu, menjaga kelangsungan bisnis untuk mempercepat pemulihan ekonomi pada 2021.

- Advertisement -

Meski dampak kesehatan yang paling terasa di negara maju, kombinasi dari persoalan kesehatan dan krisis ekonomi akan membuat negara berkembang mengalami capital outflow secara tiba-tiba dan penurunan harga komoditas.

Baca Juga:  Marsha Aruan Jajal Kemampuan di Dunia Tarik Suara

”Banyak dari negara-negara ini memerlukan bantuan untuk memperkuat respons krisis ini serta untuk memulihkan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi,” kata dia. Penyebabnya, kekurangan likuiditas valuta asing di negara berkembang dan beban utang yang tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah.

IMF pun menyiapkan dana USD 1 triliun kepada negara-negara anggotanya. Lembaga itu juga mengajak lembaga keuangan internasional lainnya untuk berkontribusi. ”IMF telah mengambil tindakan guna memberikan bantuan pembiayaan utang dan mengeksplorasi opsi lainnya untuk membantu anggota yang kekurangan valuta asing,’’ jelasnya.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengamini pernyataan IMF tersebut. Ekonomi global akan menunjukkan penurunan pertumbuhan yang tajam sampai akhir tahun ini. ”Karena banyak negara yang melakukan lockdown. Daya beli masyarakat turun juga, khususnya untuk negara berkembang,’’ ujar dia kepada JPG, Sabtu (28/3).

Namun, Bhima tak sepakat dengan bentuk solidaritas IMF yang memberikan fasilitas bagi negara anggota untuk menarik pinjaman baru. Termasuk Indonesia. Menurut dia, tindakan itu sama dengan yang pernah dilakukan IMF pada 2008. Kala itu IMF memberikan pinjaman kepada negara-negara yang mengalami krisis dengan beberapa tuntutan kepada pemerintah. ”Nah, ini yang harus diwaspadai. Jangan sampai masuk jurang untuk kedua kalinya,’’ ujar dia.

Baca Juga:  Misi Mulia dalam Menyambung Sumatera, Diapresiasi Menteri PUPR

Menurut Bhima, Indonesia belum perlu mengajukan pinjaman baru kepada IMF dan kreditor asing lainnya. Sebab, kapasitas anggaran nasional disebut masih bisa digeser dan mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. ”Pos infrastruktur Rp423 triliun. Anggaran perjalanan dinas, belanja rutin pun bisa dipangkas, termasuk gaji pejabat. Nggak perlu (berutang ke IMF, red),’’ tegasnya.

Berbagai pergeseran anggaran itu bisa dilakukan melalui mekanisme APBN perubahan. Dengan begitu, pemerintah bisa mengalihkan anggaran-anggran dengan nilai jumbo pada penanganan Covid-19 tanpa meminta pertolongan IMF.

Namun, apabila lembaga seperti IMF telah menyebut kondisi saat ini sebagai krisis ekonomi global, RI patut mewaspadai dampak yang akan terjadi. Di antaranya, pelemahan nilai tukar di atas level Rp17.000 per dolar AS, IHSG yang terkoreksi cukup dalam, defisit transaksi berjalan di atas 3 persen, defisit APBN melebar, hingga adanya PHK masal di hampir semua sektor ekonomi.(dee/c10/fal/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari