LBH: Buzzer-Buzzer Politik Penebar Fitnah Dibiarkan Kepolisian

JAKARTA (RIAUPOS.CO)- Polisi terus memburu orang-orang yang dianggap terlibat dalam berbagai kasus kerusuhan. Para aktivis pun menjadi sasaran.

Dua penggiat sosial Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu dijemput paksa jajaran Polda Metro Jaya kemarin. Namun, mereka akhirnya tidak ditahan.

- Advertisement -

Dandhy adalah jurnalis yang mendirikan rumah produksi film dokumenter WatchdoC. Dia pernah merilis film dokumenter Sexy Killers yang menyoroti bisnis batu bara di Indonesia. Dandhy memang kerap menyuarakan kritik kepada pemerintah. Dia juga sempat tampil dalam acara debat tentang referendum Papua. Dandhy juga sempat menulis cuitan di Twitter tentang Papua. Gara-gara kasus yang terakhir itulah, dia dijemput paksa aparat Polda Metro Jaya pada Kamis malam lalu.

Dandhy akhirnya ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian. Polisi menjeratnya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, Dandhy tidak ditahan. Jawa Pos kemarin mewawancarai Dandhy di rumahnya di kawasan Pondok Gede, Kota Bekasi. Kendati ditetapkan sebagai tersangka, Dandhy tidak mau bungkam. Dia justru menyoroti UU ITE yang sering dipakai untuk menggerus ruang demokrasi. Dandhy menegaskan, dirinya bukan korban pertama lahirnya UU ITE. ”Saya pikir UU ITE harus diamandemen karena korbannya sudah banyak,” ujarnya.

- Advertisement -

Dandhy juga meminta publik tidak fokus pada kasus yang menjerat dirinya. Alasannya, masih banyak kasus lain yang lebih besar dan butuh perhatian semua pihak. Dandhy mengatakan, kasus yang dialaminya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan persoalan di Papua.

Dandhy kemarin juga mengadakan jumpa pers di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Pancoran, Jakarta Selatan. Dalam acara itu dia mengungkapkan alasannya membuat twit terkait Papua. Menurut dia, sebenarnya banyak informasi yang beredar soal Papua. Misalnya, ada foto-foto orang terluka dan jurnalis yang diusir. ”Sayangnya, informasi itu tidak terstruktur. Tidak ada nama lokasi dan waktu kejadian,” paparnya.

Karena itu, muncul niat untuk menyederhanakan sekaligus membuat informasi tersebut lebih terstruktur. Dandhy mengaku menghubungi sejumlah redaktur media di Papua untuk mengidentifikasi beberapa informasi, foto, dan video terkait Papua. ”Mereka yang pastikan, foto ini kejadian ini, video itu soal ini,” bebernya.

Karena itulah kemudian twit terkait Papua dibuat. Harapannya, masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar dengan rujukan yang jelas. ”Rujukannya ya dari media di Papua,” ucapnya.

Terkait penangkapannya, Dandhy menjelaskan bahwa prosedur penangkapan sudah dilakukan polisi. Misalnya menunjukkan surat perintah dan lainnya. Namun, yang mengusik dirinya, mengapa tidak ada pemanggilan terlebih dahulu?

Sementara itu, Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani mendesak Polda Metro Jaya mencabut status tersangka Dandhy. Sebab, ada prosedur penangkapan yang dilanggar. ”Penetapan tersangka terhadap Dandhy ini melanggar hak asasi manusia untuk berpendapat,” katanya. AJI juga meminta Komnas HAM dan Ombudsman RI memeriksa penyidik Polda Metro Jaya terkait penangkapan tersebut. ”Karena ada dugaan pelanggaran dan maladministrasi,” tegasnya.

Ananda Badudu Hanya Saksi

Jumat subuh (27/9) menjadi mimpi buruk bagi Ananda Badudu. Musisi sekaligus wartawan Vice itu tiba-tiba dijemput polisi dari Polda Metro Jaya. Dia diciduk pukul 04.25 WIB di kos-kosannya di Gedung Sarana Jaya, Tebet, Jakarta Selatan. Ananda yang sedang tidur tiba-tiba dikagetkan suara gedoran pintu. Ada empat polisi berpakaian preman yang datang. Mereka membawa surat penangkapan untuk mantan anggota band Banda Neira tersebut.

Kemarin beberapa aktivis mendatangi Polda Metro Jaya untuk mendampingi Ananda. Tak lama kemudian, Ananda akhirnya diperbolehkan pulang. Statusnya hanya saksi. Kepada wartawan, Ananda menyatakan merasa beruntung karena punya privilese hingga bisa segera dibebaskan.

Kendati baru dibebaskan, Ananda ternyata tak mau diam. Dia mengungkap kondisi para mahasiswa yang ditangkap polisi. ”Di dalam (kantor polisi, Red) saya lihat banyak sekali mahasiswa yang diproses tanpa pendampingan, diproses dengan cara-cara tidak etis. Mereka butuh pertolongan lebih dari saya,” tegas Ananda.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombespol Argo Yuwono mengatakan, Ananda dimintai keterangan sebagai saksi. ”Sementara ini hanya untuk diklarifikasi,” ucapnya.

Ananda diperiksa karena mengirim uang kepada peserta demo pada 24 September lalu. ”Ada peserta demo yang dijadikan tersangka karena melawan petugas. Dari hasil pemeriksaan, tersangka mengaku mendapat transferan Rp 10 juta dari saksi (Ananda, Red),” jelas Argo. Namun, imbuh dia, polisi telah memulangkan Ananda.

Argo juga membantah pernyataan Ananda yang menyebutkan bahwa mahasiswa diperiksa tanpa didampingi kuasa hukum. ”Prinsipnya, kita (polisi, Red) siapkan penasihat hukum. Tadi pagi (kemarin) memang ada Pak Dudu (Ananda) sampaikan ke media temukan mahasiswa diperiksa enggak didampingi penasihat hukum. Padahal, mahasiswa sudah dipulangkan di sini,” terangnya.

Menurut Argo, seluruh mahasiswa di subditresmob sudah dipulangkan. Hanya ada dua mahasiswa yang masih diperiksa resmob. Tapi, mereka juga didampingi penasihat hukum. ”Jadi, jangan sampai membuat statemen yang bisa fitnah orang lain, nanti bisa timbulkan pidana baru,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan, yang dilakukan Ananda merupakan bentuk partisipasi masyarakat. Dia membantu mahasiswa menggalang dana hingga terkumpul sekitar Rp 10 juta. Usman menolak jika Ananda ditetapkan sebagai tersangka hanya karena tindakan tersebut.

Sementara itu, pengacara publik dari Tim Advokasi untuk Demokrasi Jenny Sirait mengungkapkan adanya upaya menghalang-halangi oleh aparat ketika timnya mencoba memberikan bantuan hukum kepada Ananda dan Dandhy. ”Saya tidak tahu apakah itu prosedur atau memang ada kebijakan tertentu sehingga kami tidak bisa menemui Mas Ananda, bahkan sampai dia dipulangkan,” ungkap Jenny saat ditemui di kantor LBH Jakarta kemarin. Alasan penangkapan dan pemulangan pun tidak jelas.

Kesulitan tidak hanya dialami sekali dua kali. Sejak demonstrasi pun, puluhan mahasiswa yang ditangkap sulit mendapat bantuan hukum dari LBH.

Tindakan polisi menjemput Dhandy dan Ananda, menurut dia, tidak bisa didiamkan begitu saja. Penangkapan itu menunjukkan kondisi saat ini sudah genting. ”Sangat mengkhawatirkan,” ungkap Direktur LBH Jakarta Arif Maulana kemarin. Menurut dia, tindakan polisi merupakan bentuk kriminalisasi aktivis. ”Dan fakta kemunduran demokrasi kita,” tegasnya.

Arif menyatakan, tindakan polisi tidak ubahnya bentuk pengekangan terhadap kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Dengan memakai UU ITE, lanjut dia, kemerdekaan tersebut dibungkam lewat pasal-pasal karet. Selama ini UU ITE sudah memakan banyak korban. Sebagian adalah masyarakat yang menyuarakan sikap kritis lewat media sosial.

Karena itu, Arif menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap Dandhy dan Ananda adalah bukti kemunduran demokrasi. ”Kalau suara dan pemikiran kritis dianggap kejahatan, gerakan masyarakat untuk menjaga demokrasi dan memperjuangkan amanat reformasi dianggap ancaman bagi kekuasaan subversi,” paparnya. ”Sebaliknya, buzzer-buzzer politik penebar fitnah dan kebencian dibiarkan kepolisian,” tambah dia.

Sementara itu, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (pur) Slamet Soebianto yang hadir dalam demonstrasi mahasiswa di sekitar Mabes TNI pada Rabu (25/9) juga dimintai keterangan. Pusat Polisi Militer Angkatan Laut (Puspomal) memanggil Slamet untuk datang ke kantor Puspomal kemarin. Saat dimintai konfirmasi, KSAL Laksamana TNI Siwi Sukma Adji membenarkan adanya panggilan itu. Orang nomor satu di TNI-AL tersebut menyampaikan bahwa panggilan dilakukan untuk mencari informasi. ”Ya, untuk (Slamet) memberikan informasi saja,” terang dia.(bru/yay/idr/mia/deb/syn/far/c9/c10/oni)

Sumber: Jawapos.com
Editor :Deslina

JAKARTA (RIAUPOS.CO)- Polisi terus memburu orang-orang yang dianggap terlibat dalam berbagai kasus kerusuhan. Para aktivis pun menjadi sasaran.

Dua penggiat sosial Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu dijemput paksa jajaran Polda Metro Jaya kemarin. Namun, mereka akhirnya tidak ditahan.

Dandhy adalah jurnalis yang mendirikan rumah produksi film dokumenter WatchdoC. Dia pernah merilis film dokumenter Sexy Killers yang menyoroti bisnis batu bara di Indonesia. Dandhy memang kerap menyuarakan kritik kepada pemerintah. Dia juga sempat tampil dalam acara debat tentang referendum Papua. Dandhy juga sempat menulis cuitan di Twitter tentang Papua. Gara-gara kasus yang terakhir itulah, dia dijemput paksa aparat Polda Metro Jaya pada Kamis malam lalu.

Dandhy akhirnya ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian. Polisi menjeratnya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, Dandhy tidak ditahan. Jawa Pos kemarin mewawancarai Dandhy di rumahnya di kawasan Pondok Gede, Kota Bekasi. Kendati ditetapkan sebagai tersangka, Dandhy tidak mau bungkam. Dia justru menyoroti UU ITE yang sering dipakai untuk menggerus ruang demokrasi. Dandhy menegaskan, dirinya bukan korban pertama lahirnya UU ITE. ”Saya pikir UU ITE harus diamandemen karena korbannya sudah banyak,” ujarnya.

Dandhy juga meminta publik tidak fokus pada kasus yang menjerat dirinya. Alasannya, masih banyak kasus lain yang lebih besar dan butuh perhatian semua pihak. Dandhy mengatakan, kasus yang dialaminya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan persoalan di Papua.

Dandhy kemarin juga mengadakan jumpa pers di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Pancoran, Jakarta Selatan. Dalam acara itu dia mengungkapkan alasannya membuat twit terkait Papua. Menurut dia, sebenarnya banyak informasi yang beredar soal Papua. Misalnya, ada foto-foto orang terluka dan jurnalis yang diusir. ”Sayangnya, informasi itu tidak terstruktur. Tidak ada nama lokasi dan waktu kejadian,” paparnya.

Karena itu, muncul niat untuk menyederhanakan sekaligus membuat informasi tersebut lebih terstruktur. Dandhy mengaku menghubungi sejumlah redaktur media di Papua untuk mengidentifikasi beberapa informasi, foto, dan video terkait Papua. ”Mereka yang pastikan, foto ini kejadian ini, video itu soal ini,” bebernya.

Karena itulah kemudian twit terkait Papua dibuat. Harapannya, masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar dengan rujukan yang jelas. ”Rujukannya ya dari media di Papua,” ucapnya.

Terkait penangkapannya, Dandhy menjelaskan bahwa prosedur penangkapan sudah dilakukan polisi. Misalnya menunjukkan surat perintah dan lainnya. Namun, yang mengusik dirinya, mengapa tidak ada pemanggilan terlebih dahulu?

Sementara itu, Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani mendesak Polda Metro Jaya mencabut status tersangka Dandhy. Sebab, ada prosedur penangkapan yang dilanggar. ”Penetapan tersangka terhadap Dandhy ini melanggar hak asasi manusia untuk berpendapat,” katanya. AJI juga meminta Komnas HAM dan Ombudsman RI memeriksa penyidik Polda Metro Jaya terkait penangkapan tersebut. ”Karena ada dugaan pelanggaran dan maladministrasi,” tegasnya.

Ananda Badudu Hanya Saksi

Jumat subuh (27/9) menjadi mimpi buruk bagi Ananda Badudu. Musisi sekaligus wartawan Vice itu tiba-tiba dijemput polisi dari Polda Metro Jaya. Dia diciduk pukul 04.25 WIB di kos-kosannya di Gedung Sarana Jaya, Tebet, Jakarta Selatan. Ananda yang sedang tidur tiba-tiba dikagetkan suara gedoran pintu. Ada empat polisi berpakaian preman yang datang. Mereka membawa surat penangkapan untuk mantan anggota band Banda Neira tersebut.

Kemarin beberapa aktivis mendatangi Polda Metro Jaya untuk mendampingi Ananda. Tak lama kemudian, Ananda akhirnya diperbolehkan pulang. Statusnya hanya saksi. Kepada wartawan, Ananda menyatakan merasa beruntung karena punya privilese hingga bisa segera dibebaskan.

Kendati baru dibebaskan, Ananda ternyata tak mau diam. Dia mengungkap kondisi para mahasiswa yang ditangkap polisi. ”Di dalam (kantor polisi, Red) saya lihat banyak sekali mahasiswa yang diproses tanpa pendampingan, diproses dengan cara-cara tidak etis. Mereka butuh pertolongan lebih dari saya,” tegas Ananda.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombespol Argo Yuwono mengatakan, Ananda dimintai keterangan sebagai saksi. ”Sementara ini hanya untuk diklarifikasi,” ucapnya.

Ananda diperiksa karena mengirim uang kepada peserta demo pada 24 September lalu. ”Ada peserta demo yang dijadikan tersangka karena melawan petugas. Dari hasil pemeriksaan, tersangka mengaku mendapat transferan Rp 10 juta dari saksi (Ananda, Red),” jelas Argo. Namun, imbuh dia, polisi telah memulangkan Ananda.

Argo juga membantah pernyataan Ananda yang menyebutkan bahwa mahasiswa diperiksa tanpa didampingi kuasa hukum. ”Prinsipnya, kita (polisi, Red) siapkan penasihat hukum. Tadi pagi (kemarin) memang ada Pak Dudu (Ananda) sampaikan ke media temukan mahasiswa diperiksa enggak didampingi penasihat hukum. Padahal, mahasiswa sudah dipulangkan di sini,” terangnya.

Menurut Argo, seluruh mahasiswa di subditresmob sudah dipulangkan. Hanya ada dua mahasiswa yang masih diperiksa resmob. Tapi, mereka juga didampingi penasihat hukum. ”Jadi, jangan sampai membuat statemen yang bisa fitnah orang lain, nanti bisa timbulkan pidana baru,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan, yang dilakukan Ananda merupakan bentuk partisipasi masyarakat. Dia membantu mahasiswa menggalang dana hingga terkumpul sekitar Rp 10 juta. Usman menolak jika Ananda ditetapkan sebagai tersangka hanya karena tindakan tersebut.

Sementara itu, pengacara publik dari Tim Advokasi untuk Demokrasi Jenny Sirait mengungkapkan adanya upaya menghalang-halangi oleh aparat ketika timnya mencoba memberikan bantuan hukum kepada Ananda dan Dandhy. ”Saya tidak tahu apakah itu prosedur atau memang ada kebijakan tertentu sehingga kami tidak bisa menemui Mas Ananda, bahkan sampai dia dipulangkan,” ungkap Jenny saat ditemui di kantor LBH Jakarta kemarin. Alasan penangkapan dan pemulangan pun tidak jelas.

Kesulitan tidak hanya dialami sekali dua kali. Sejak demonstrasi pun, puluhan mahasiswa yang ditangkap sulit mendapat bantuan hukum dari LBH.

Tindakan polisi menjemput Dhandy dan Ananda, menurut dia, tidak bisa didiamkan begitu saja. Penangkapan itu menunjukkan kondisi saat ini sudah genting. ”Sangat mengkhawatirkan,” ungkap Direktur LBH Jakarta Arif Maulana kemarin. Menurut dia, tindakan polisi merupakan bentuk kriminalisasi aktivis. ”Dan fakta kemunduran demokrasi kita,” tegasnya.

Arif menyatakan, tindakan polisi tidak ubahnya bentuk pengekangan terhadap kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Dengan memakai UU ITE, lanjut dia, kemerdekaan tersebut dibungkam lewat pasal-pasal karet. Selama ini UU ITE sudah memakan banyak korban. Sebagian adalah masyarakat yang menyuarakan sikap kritis lewat media sosial.

Karena itu, Arif menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap Dandhy dan Ananda adalah bukti kemunduran demokrasi. ”Kalau suara dan pemikiran kritis dianggap kejahatan, gerakan masyarakat untuk menjaga demokrasi dan memperjuangkan amanat reformasi dianggap ancaman bagi kekuasaan subversi,” paparnya. ”Sebaliknya, buzzer-buzzer politik penebar fitnah dan kebencian dibiarkan kepolisian,” tambah dia.

Sementara itu, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (pur) Slamet Soebianto yang hadir dalam demonstrasi mahasiswa di sekitar Mabes TNI pada Rabu (25/9) juga dimintai keterangan. Pusat Polisi Militer Angkatan Laut (Puspomal) memanggil Slamet untuk datang ke kantor Puspomal kemarin. Saat dimintai konfirmasi, KSAL Laksamana TNI Siwi Sukma Adji membenarkan adanya panggilan itu. Orang nomor satu di TNI-AL tersebut menyampaikan bahwa panggilan dilakukan untuk mencari informasi. ”Ya, untuk (Slamet) memberikan informasi saja,” terang dia.(bru/yay/idr/mia/deb/syn/far/c9/c10/oni)

Sumber: Jawapos.com
Editor :Deslina

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya