Sabtu, 9 November 2024

AMSI: Sengketa Pemberitaan Melalui DP, Bukan Pengerahan Buzzer dan Intimidasi Digital

- Advertisement -

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengimbau warga masyarakat yang memiliki sengketa pemberitaan dengan media massa untuk menyelesaikannya melalui mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi. 

- Advertisement -

Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers (DP) untuk dicarikan solusi melalui mediasi. 

Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, DP adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi pada media massa. 

Imbauan ini menjadi penting karena sejak Selasa 26 Mei 2020 lalu terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan Detikcom yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo. Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh.

- Advertisement -

Kasus ini bermula ketika Detikcom menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi. 

Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB.  

Baca Juga:  Buruh Siap Gelar Aksi Besar-besaran Tolak RUU Cipta Kerja

Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya. 

Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya. Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp. Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom.  Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. 

Pers tentu tidak alpa dari kesalahan. UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan. 

Dengan kebebasan pers yang kokoh, publik diuntungkan oleh adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga. 

"Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi," sebut Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut, Kamis (28/5/2020) di Jakarta.

Pengurus Pusat AMSI, pertama, mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam  UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Baca Juga:  Menkumham Harus Prioritaskan Bangun Rutan Siak

"Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait,  lalu jika tidak mendapat respon yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers," jelas Wenseslaus.

Sejak era reformasi 1998, inilah mekanisme yang telah disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media maupun kebebasan pers. 

Kedua, AMSI mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber (terutama praktek doxing atau membuka informasi pribadi) yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini. Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi.  

Dan yang ketiga, meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online dan doxing), maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan.

Laporan: Eko Faizin
Editor: Eka G Putra

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengimbau warga masyarakat yang memiliki sengketa pemberitaan dengan media massa untuk menyelesaikannya melalui mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi. 

Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers (DP) untuk dicarikan solusi melalui mediasi. 

- Advertisement -

Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, DP adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi pada media massa. 

Imbauan ini menjadi penting karena sejak Selasa 26 Mei 2020 lalu terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan Detikcom yang menulis berita terkait Presiden Joko Widodo. Korban mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh.

Kasus ini bermula ketika Detikcom menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi. 

Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB.  

Baca Juga:  Jelang Puncak Haji, Pembangunan Tenda di Arafah Sudah 75 Persen

Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya. 

Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya. Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp. Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom.  Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. 

Pers tentu tidak alpa dari kesalahan. UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan. 

Dengan kebebasan pers yang kokoh, publik diuntungkan oleh adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga. 

"Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi," sebut Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut, Kamis (28/5/2020) di Jakarta.

Pengurus Pusat AMSI, pertama, mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam  UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Baca Juga:  Wako: Perjuangan Sekarang Melawan Persoalan Bangsa

"Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait,  lalu jika tidak mendapat respon yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers," jelas Wenseslaus.

Sejak era reformasi 1998, inilah mekanisme yang telah disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media maupun kebebasan pers. 

Kedua, AMSI mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber (terutama praktek doxing atau membuka informasi pribadi) yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini. Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi.  

Dan yang ketiga, meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber (perisakan online dan doxing), maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan.

Laporan: Eko Faizin
Editor: Eka G Putra

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari