KEPERGIAN mendadak Artidjo Alkostar pada Ahad (28/2/2021) mengagetkan sejumlah pihak. Ia diketahui masih prima ketika menjalankan aktivitas sebagai anggota Dewan Pengawas KPK pada Jumat (26/2/2021) di Gedung Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK.
Namun pada Ahad (28/2) siang sekitar pukul 14.00 WIB, sopir Artidjo menelepon ajudan dan mengatakan pintu kamar Artidjo di Apartemen Springhill Terrace Residence Tower Sandalwood lantai 6 No 6-H tidak bisa dibuka.
Saat pintu didobrak, Artidjo diketahui sudah tidak sadarkan diri dan diketahui kemudian telah meninggal. Kemudian jenazah Artidjo dibawa ke Rumah Sakit Polri Jakarta.
Artidjo Alkostar lahir di Situbondo pada 22 Mei 1948. Sejak 20 Desember 2019, Artidjo menjadi Dewan Pengawas KPK 2019-2023 bersama dengan Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho, Syamsuddin Haris, dan Harjono.
Artidjo mengaku menerima permintaan Presiden Jokowi untuk menjadi Anggota Dewas KPK untuk membantu republik.
"Ya panggilan republik ini, saya tidak boleh egois untuk kepentingan saya, tapi kan kalau itu diperlukan, kan negara perlu kita bantu, negara kita kan negara kita bersama," kata Artidjo di Istana Negara pada 20 Desember 2019.
Ia pun bertekad untuk dapat bekerja secara profesional dan proporsional.
"Kita profesional dan proporsional, proporsional itu penting menjaga keseimbangan supaya lembaga ini sehat dan bekerja baik, sesuai harapan bersama," tambah Artidjo.
Sebelum menjabat sebagai anggota Dewas KPK, Artidjo adalah Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung yang dikenal memberikan hukuman berat dan tambahan hukuman kepada terdakwa kasus korupsi.
***
Artidjo menyelesaikan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo. Ia selanjutnya melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dia kemudian melanjutkan Master of Laws di Nort Western University, Chicago, lulus 2002, serta melanjutkan S3 di Universitas Diponegoro Semarang dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum pada 2007.
Artidjo mengawali karir sebagai pengacara publik di LBH Yogyakarta. Ketika ia berada di New York pada 1989-1991 untuk mengikuti pelatihan pengacara HAM di Columbia University, ia juga bekerja di Human Rights Watch.
Sepulangnya dari Amerika, Artidjo mendirikan kantor hukum bernama Artidjo Alkostar and Associates sampai tahun 2000 dan selanjutnya berkarir sebagai Hakim Agung hingga 22 Mei 2018. Sebagai orang hukum, dia sudah menangani 19.483 perkara.
Artidjo juga dikenal sebagai seorang Hakim Agung yang kerap memberikan vonis berat pada pelaku korupsi. Terhitung sejak bertugas di MA, Artidjo telah menyidangkan 842 pelaku korupsi dengan mayoritas putusan tergolong sangat berat.
Ketegasan Artidjo pernah dirasakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam perkara penerimaan suap terkait perkara-perkara di MK. Saat itu permohonan kasasinya ditolak sehingga dirinya tetap dihukum seumur hidup.
Selain itu, ada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan lshaaq dalam perkara korupsi berupa penerimaan suap terkait impor daging sapi, juga mengalami hal serupa. Sebelumnya, Luhfi Hasan divonis 16 tahun, tetapi kasasi yang dijatuhkan Artijdo memperberat vonisnya menjadi 18 tahun dan memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.
Kemudian ada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang awalnya dijatuhi vonis 8 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Jakarta, namun di tangan majelis kasasi Artidjo, MS Lumme dan Krisna Harahap, Anas mendapat vonis kasasi 14 tahun penjara dalam perkara korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah.