Senyum hangat langsung mengembang di bibir sosok pria paruh baya itu. Tak ada yang istimewa dari penampilan pria tersebut. Sederhana, ramah, khas warga desa pada umumnya. Dialah H Parjan (55). Namun siapa sangka, di balik kesederhanaan penampilannya, dia menjadi contoh keberhasilan petani sawit pola PIR Trans. Berkat dari kebun sawit yang diusahakannya dari nol, dia akhirnya berhasil menggapai asa yang dulu dianggapnya hanya mimpi. Bagaimana perjalanannya?
UKUI (RIAUPOS.CO) — Mengenakan kemeja warna ungu dipadu celana katun cokelat dan memakai sandal jepit, H Parjan menyambut Riau Pos yang menyambangi kediamannya di Desa Air Mas, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, belum lama ini. Terlihat santai. Sebelumnya, sedikitpun tak pernah terpikirkan oleh Parjan dirinya akan sampai dan akhirnya menetap di tengah Pulau Sumatera.
H Parjan kini bisa tertawa, dan menikmati hidup bahagia berkat kerja keras yang telah ia lakukan. Berkaca dari perjalanan hidupnya, kakek tiga orang cucu ini telah mengecap pahit getirnya kehidupan yang tidak mudah.
Terlahir dari keluarga miskin pada 27 Mei 1965 silam di Sragen, Jawa Tengah, saat masih bayi berusia tiga bulan, Parjan telah menjadi yatim ditinggal bapaknya. Anak bungsu dari tujuh bersaudara ini pun akhirnya harus menjalani kehidupan bersama orang tua tunggal, sang ibu.
"Masa kecil dulu dapat makan nasi adalah suatu hal yang sangat luar biasa bagi kami," ucap Parjan.
Beruntung, meski berasal dari keluarga kurang mampu, Parjan masih dapat mengecap pendidikan dengan belajar di pondok pesantren yang ada di Sragen, hingga ia dapat menamatkan pendidikan setingkat aliyah.
Selesai menamatkan pendidikan aliyah, pada 1982 Parjan yang saat itu masih bujang mencoba peruntungan dengan merantau ke Jakarta. Namun selama di Jakarta justru kehidupan keras yang ia dapatkan. Pendidikan aliyah yang ia miliki tak dapat ia andalkan untuk menaklukkan ibukota.
Menyerah dengan kerasnya ibukota. Parjan pun memutuskan untuk pulang kembali ke Sragen, dan ikut membantu usaha meubel milik kakaknya di Jepara, hingga dirinya pandai seni ukir kayu.
Memulai Hidup Baru ke Riau
Akhirnya, titik balik terjadi pada diri Parjan. Usai melaksanakan Salat Subuh dan pengajian di sebuah musala pada tahun 1987, dirinya diajak sahabatnya Madio untuk ikut program pemerintah, yakni program transmigrasi. "Namun syaratnya harus sudah berkeluarga. Padahal pada saat itu saya bersama teman-teman lainnya masih bujang," ucapnya tersenyum.
Untuk dapat memenuhi syarat tersebut, dirinya bersama kawan-kawan lain yang berjumlah 10 orang, memutuskan pada hari itu juga untuk bersama-sama mencari calon istri semua agar dapat ikut transmigrasi.
Usai menikah, dari kesepuluh orang ini, akhirnya hanya sembilan orang yang berangkat transmigrasi pindah dari Sragen.
Saat pertama kali menjejakkan kaki di Sumatra, tepatnya di wilayah Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan pada 1987 silam, Parjan yang masih pengantin baru dan berusia 22 tahun, memulai babak baru dalam sejarah hidupnya. Lahan seluas dua setengah hektare jatah dari pemerintah bagi warga transmigrasi, ia tanami jagung dan singkong.
"Pada masa itu di Ukui masih banyak binatang buas yang berkeliaran. Harimau, gajah apalagi babi hutan tiap hari berkeliaran di sekitar pemukiman. Saat itu kami belum menanam sawit," ujarnya.
Deraan kesusahan hidup yang dialaminya sejak kecil, dijadikan Parjan sebagai cambuk untuk dapat mengubah kehidupannya menjadi lebih baik di daerah baru. Siang hari, ia bekerja sebagai buruh pada perusahaan sawit. Pada malam hari, saat warga lainnya terbuai dalam nyenyaknya tidur, ia manfaatkan untuk mencangkul dan menggarap ladang yang dimiliki asal terang bulan.
Bekerja sebagai buruh pada perusahaan sawit pada tahun 1989 inilah, untuk kali pertama dalam hidupnya ia mulai mengenal tanaman sawit.
Konversi Sawit
Bekerja di ladang dan menjadi pekerja perusahaan, ia jalani dengan ikhlas. Hingga pada 1991, ada program konversi lahan untuk dijadikan kebun sawit. H Parjan bersama warga trans lainnya akhirnya mengikuti program konversi. Melalui program ini, lahan para petani akan ditanami sawit dalam pola PIR, dengan perusahaan perkebunan PT Inti Indosawit Subur-Asian Agri sebagai mitra.
"Inilah awal hidup kami," tegas H Parjan.
Diakui Parjan, pola kemitraan antara petani dengan perusahaan perkebunan dalam bentuk PIR, merupakan satu solusi yang tepat bagi petani. Kemampuan finansial petani yang terbatas, minimnya pengetahuan, hingga aspek teknis lainnya, adalah kendala utama yang dihadapi para petani.
Dengan pola kemitaraan ini, warga trans di Desa Air Mas sebagai pemilik lahan, akhirnya juga mulai mengenal sistem perbankan untuk mendapatkan kredit guna membangun kebun. Dana sebesar Rp9.025.000 dari bank yang didapatkan setiap petani, seluruhnya digunakan untuk pembiayaan membangun kebun sawit yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang menjadi mitra selama masa waktu tertentu.
Gajah pun Tak Surutkan Tekad Bersawit
Asa yang terlanjur membumbung tinggi dan kegembiraan Parjan yang berhasil memiliki kebun sawit yang baru ditanam, tak berlangsung lama. Sawit yang baru ditanam, ternyata menarik perhatian binatang liar yang masih banyak berkeliaran di daerah tersebut. Gajah, babi hutan hingga landak, datang dan memakan pokok sawit yang terasa manis.
Bahkan akibat serangan gajah, pada tahun 1991 itu pula dari dua hektare lahan miliknya yang telah ditanam sekitar 286 pokok sawit, hanya tersisa 65 pokok. Selebihnya habis dicabut dan dimakan kawanan gajah. Pokok sawit yang rusak ini selanjutnya dilakukan penanaman ulang dengan cara disisip.
Namun usai ditanam kembali, kawanan gajah masih kembali datang dan memakan sawit yang baru ditanam. Kedatangan kawanan gajah ini menurut Parjan tak cukup sekali dua kali, bahkan kejadian yang sama terus berulang. Bahkan dirinya bersama pihak perusahaan yang menjadi bapak angkat, sampai tujuh kali melakukan penyisipan penanaman sawit.
"Saya Salat Dhuha setiap pagi di kebun dan berdoa kepada Tuhan… ya Allah apakah aku hidup harus seperti ini terus, kebun dirusak gajah terus. Saya punya keyakinan Allah tidak pernah tidur," ujar Parjan.
Upaya pengusiran dan penghalauan gajah agar tidak masuk dan mencabut kebun sawit menurutnya selalu dilakukan para petani bersama pihak perusahaan.
Kelompok-kelompok tim penghalau gajah dibuat, dengan 20 orang setiap kelompok. Strategi disiapkan, mulai dari membuat bunyi-bunyian, membuat lentera api hingga memasang kawat berduri di sekeliling kebun. Namun demikian, upaya yang dilakukan tak terlalu membuahkan hasil.
Parjan yang ikut kelompok pengusir gajah, mengakui kalau gajah yang masuk ke kebun memiliki kecerdasan. Obor yang dipasang di sekeliling kebun untuk menakuti gajah, dipadamkan dengan cara dihembus menggunakan belalainya. Tak berhasil, gajah pun kembali masuk kebun, mencabut dan memakan sawit.
Upaya lain pun dilakukan. Pihak perusahaan dan warga mencoba memasang kawat berduri di sekeliling kebun agar gajah tak masuk. Tak dapat langsung menembus penghalang kawat yang dibuat, kawanan gajah merobohkan pohon yang ada di sekitar lahan dan meletakkan di atas bentangan kawat, menjadikan pohon sebagai titian melewati kawat. Gajah pun kembali dapat masuk ke kebun sawit, dan kebun sawit kembali porak poranda. Hancur dimakan gajah.
Serangan kawanan gajah ini berlangsung cukup lama. Begitu mengetahui ada gajah yang kembali masuk kebun sawit, warga secara berkelompok langsung bergerak melakukan upaya penghalauan.
"Bahkan ada satu gajah yang besar saya beri nama Jambul," ucapnya.
Tak hanya dicabut gajah, hama babi hutan dan landak yang memakan umbut sawit juga menjadi ancaman serius bagi kelangsungan pohon sawit. Akibat banyaknya hama inilah, menurut Parjan, berdampak pada keseragaman tinggi pohon sawit, umur panen kebun dan ujungnya jadwal pelunasan kredit yang terkendala.
"Bagi petani yang kebun sawitnya bagus dan tidak diserang gajah, pada 1997 kredit sudah lunas. Dan kebun menjadi milik petani," ujarnya.
Namum hal berbeda dirasakan petani yang kebunnya kerap diserang gajah. Untuk sawit yang kerap diserang gajah yang berada di areal perkebunan di kelompok tani 04 dan 03 tempat H Parjan dan petani lainnya, baru pada 2006 dirinya dapat melunasi kredit.
Bantuan dari PT Inti Indosawit Subur untuk kebun yang dirusak gajah, menurutnya juga sudah tidak tanggung-tanggung. Untuk menyisip tanaman yang diserang gajah dilakukan sejak dari tahun 1991 hingga 2001, karena banyak sawit yang dirusak gajah, landak hingga babi.
"Bayangkan, hampir selama sepuluh tahun saya masih melakukan pekerjaan menyisip. Sementara kebun petani lain sudah panen dan menikmati hasil. Menangis saya rasanya," ujarnya.
Akibat kerap rusaknya kebun inilah, yang akhirnya berdampak pada jadwal angsuran kredit. H Parjan yang saat itu menjabat sebagai ketua wadah kerja antar kelompok dan juga ikut mendirikan KUD Karya Bersama, kerap ditunjuk sebagai mediator dan juru bicara oleh teman-temannya untuk bernegosiasi dengan pihak perusahaan, maupun pemberi kredit
"Kelembagaan petani harus kuat. Itulah mengapa dulu kami mendirikan KUD Karya Bersama," ucapnya.
Terus Bertambah
Seiring berjalannya waktu, berkat kesabaran, kegigihan dan kerja keras, perlahan kebun sawit H Parjan dan petani lainnya membuahkan hasil. Dari hasil sawit, kesejahteraan H Parjan merangkak naik. Namun demikian, tak semua petani mampu bersabar dan bertahan menghadapi cobaan yang datang. Karena tak sedikit petani yang akhirnya menyerah, dan menjual lahan yang telah dimiliki.
"Saya tetap bekerja, mengumpulkan rezeki. Akhirnya saya dapat menambah kebun saya, ada yang jual kebun saya beli. Biarpun kebun awal saya rusak, Allah menambah rejeki dari yang lain, kebun bertambah luas," jelasnya.
H Parjan sendiri enggan menyebutkan berapa total luas kebun sawit yang kini dimilikinya, serta penghasilan per bulan yang didapat dari kebun sawit. Namun demikian, berawal dari hanya dua hektare kebun sawit, kini kebun yang ia miliki diakuinya telah bertambah luas.
Dan kini, kedua anaknya, adik serta anggota keluarga lainnya juga telah memiliki kebun sawit sendiri, hasil dari pemberiannya.
Berkat dari berkebun sawit pula, penghasilan yang didapat ia kumpulkan guna melaksanakan niatnya melaksanakan ibadah haji bersama istrinya ke Tanah Suci, Makkah. Dan keinginan pergi haji ini, akhirnya dapat terwujud pada 2011 silam.
Hingga saat ini, diakuinya kadang dirinya tidak percaya dengan apa yang telah berhasil diraih. Berasal dari keluarga tak mampu, yang bahkan untuk makan saja sangat sulit, kini berkat sawit telah mengubah ekonomi dan kesejahteraannya.
Meski telah memiliki enam pekerja, H Parjan mengaku masih melakukan kegiatan perawatan sawit secara langsung. Kegiatan pemeliharaan dari pruning dan memanen TBS terkadang ia lakukan sendiri. Dirinya ingin memberikan contoh kepada petani lain bahwa kebun sawit harus dirawat dengan pemupukan yang tepat dan teratur.
Kebun sawit yang dikelola petani di Desa Air Mas, menurut H Parjan dalam satu kapling atau dua hektare rata-rata dapat menghasilkan 4 ton TBS, atau satu hektare bisa menghasilkan sekitar Rp2,5 juta sebulan atau sekitar Rp5 jutaan dalam satu kapling. "Kalau dirawat dengan baik, di tempat saya bisa menghasilkan enam ton per dua hektare," ujarnya.
Sedangkan KUD Karya Bersama yang ikut didirikannya, kini juga telah menjelma menjadi koperasi berprestasi hingga tingkat nasional dengan jumlah anggota lebih dari 500 orang, dan memiliki aset sekitar Rp7,9 miliar.
Sebagai petani sawit, H Parjan adalah satu dari ratusan ribu petani sawit yang ada di Riau. Berdasarkan data BPS pada 2015, jumlah luasan perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 1.354.502 hektare atau 56 persen dari total seluruh luas kebun sawit yang ada di Provinsi Riau yang mencapai 2.424.544 hektare. Sedangkan jumlah kepala keluarga (KK) petani mencapi 524.561 KK dan jumlah orang yang tertanggung mencapai 2.098.244 jiwa, dengan jumlah tenaga kerja 534.827 jiwa.
Antarkan Anak Sarjana
Terkait mengenai keluarga, pasangan H Parjan dan Hj Sepi ini memiliki dua orang anak laki-laki. Bahkan kini keluarga besarnya semakin bertambah dengan hadirnya tiga orang cucu.
Usaha mereka mendidik anak-anak juga berhasil dicapai, Maulana Khidzir anak sulung H Parjan berhasil meraih gelar sarjana dari Universitas Muhammadiyah di Solo. Sedangkan putra bungsu yang bernama Abdul Qadir Zailani, sudah menyelesaikan progam S-2 dari Universitas Gadjah Mada. Bahkan pernah mendapatkan tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan program doktoral S-3 dari universitas di Australia.
Untuk kedua anaknya, dua unit rumah juga berhasil ia dirikan lengkap dengan kendaraan roda empat untuk buah hatinya. Dan semua itu, bersumber dari usaha perkebunan sawit.(ose)
Laporan : M Erizal