JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto tengah mencari ahli medis untuk melakukan eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana pemerkosa 12 bocah M Aris. Mereka khawatir Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak melakukannya.
Hal itu diungkapkan Kepala Kejari Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono. Menurut dia, rencana eksekusi tersebut merupakan kewajiban yang harus dijalankan. “Yang jelas, sikap saya, akan segera melaksanakan putusan. Karena itu wajib,” ungkapnya kemarin (24/8).
Menerapkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jatim itu, Rudy juga akan berkonsultasi ke atasnya. Dia mengaku belum tahu bagaimana juknis kebiri kimia tersebut. Berbeda dengan juknis hukuman mati yang sudah ada. “Saya ini mencari petunjuk dulu,” tambahnya.
Dokter, kata Rudy, boleh saja menolak menjalankan putusan pengadilan. Tetapi, eksekusi kebiri kimia merupakan perintah undang-undang. “Jadi harus dilakukan. Kalau tidak mau menjalankan undang-undang, itu juga pidana,” tutur mantan Kajari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, itu.
Sebagai tenaga medis, dokter semestinya juga memosisikan diri sebagai korban atau keluarga korban. Sehingga bisa merasakan pedihnya menjadi korban seorang predator seperti Aris, 21.
Rudy memaparkan, pihaknya sudah memberikan perhatian khusus terhadap kasus tersebut sejak kepolisian melimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU). Selain menjadi kasus kejahatan anak, jumlah korban kebejatan Aris mencapai belasan anak.
Perhatian itu terlihat dari tingginya tuntutan hukuman penjara saat sidang di PN Mojokerto pertengahan April lalu. Saat itu Aris yang duduk di kursi pesakitan dituntut JPU pidana penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta subsider kurungan 6 bulan. “Padahal, hukuman maksimal kejahatan anak dalam undang-undang hanya 15 tahun. Saya kasih tambahan dua tahun karena mengingat kejahatan pelaku yang sangat besar,” jelasnya.
Namun, hakim memberikan penilaian berbeda. Kata Rudy, hakim memberikan hukuman penjara 12 tahun dan hukuman tambahan ke anak tukang las tersebut berupa kebiri kimia. “Saya cuma menuntut 17 tahun. Tanpa kebiri. Jadi, bukan kami yang menuntut hukuman itu. Tetapi, hakim yang menjatuhkan hukuman itu,” ungkapnya.
Aris dijerat kasus pemerkosaan terhadap 12 anak. Selain vonis penjara 12 tahun dan kebiri kimia, warga Mengelo Tengah, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, itu harus membayar denda Rp 100 juta.
Mahkamah Agung (MA) menyebut tidak bisa mengintervensi putusan sanksi kebiri itu saat ini karena belum ada pengajuan banding. “Biasanya putusan belum berkekuatan hukum tetap, kecuali ada putusan MA setelah yang bersangkutan mengajukan banding,” jelas Juru Bicara MA Abdullah kemarin (24/8).
Ada batas untuk pengajuan banding. Jika dalam batas waktu tersebut MA belum menerima pengajuan banding dari yang bersangkutan, putusan dari pengadilan tinggi bisa segera dijalankan. “Nah, untuk pelaksananya memang dari kejaksaan. Karena pengadilan hanya menjatuhkan putusan,” lanjut Abdullah.
Itulah yang kemudian perlu disinkronkan antara penerapan sanksi dari kejaksaan dan dokter sebagai pelaksana hukuman kebiri. Kejaksaan Agung menjelaskan bahwa sanksi kebiri sebelumnya tidak ada dalam tuntutan. “Jadi, tuntutan pokoknya hanya penjara 17 tahun. Kebiri itu tambahannya saja,” jelas Kapuspen Kejagung Mukri tadi malam.
Undang-undang (UU) yang mengatur kebiri kimia sudah disahkan pada Oktober 2016. Pemerintah sebenarnya tengah menyusun peraturan pemerintah (PP) yang nanti menjadi aturan teknis kebiri. Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar mengungkapkan bahwa sekarang masih tahap harmonisasi. “Kamis kemarin (22/8) baru kami bahas lagi,” ujarnya.
Menurut Nahar, PP tersebut dibahas beberapa kementerian di Sekretariat Kabinet (Setkab). Selain PPPA, ada Kemenkes dan Kemensos. “Satu tahun ini selesai,” ucapnya.
Dengan adanya PP itu, nanti jaksa bisa melakukan eksekusi. Termasuk meminta tolong Kemenkes atau Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengeksekusi. Ketika sekarang ada penolakan, menurut Nahar, itu wajar karena belum ada aturan jelas.
Sementara itu, Komisioner KPAI Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum Putu Elvina mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo mendesak menterinya segera menyelesaikan PP. Mengingat perlindungan anak dari tindakan pencabulan perlu ditegakkan. Apalagi, hukuman kebiri sudah memiliki payung hukum. “Saat menjalankan hukuman kebiri ini, ada rehabilitasi dari tim bersama. Mereka bisa mengawasi,” ujarnya.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Prof dr Wimpie Pangkahila SpAnd mengungkapkan bahwa pihaknya pernah dilibatkan dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1/2016. Aturan itu merupakan cikal bakal UU 17/2016. Untuk saat ini dia bersikap menolak adanya hukuman kebiri. Sebab, banyak sisi negatifnya. “Lebih baik hukum seumur hidup atau hukum mati saja,” ujarnya.
Androlog dr Aminuddin Aziz SpAnd menambahkan, ada dua strategi kebiri kimia. Pertama, dengan mengurangi produksi testosteron dengan pemberian obat, misalnya jenis GnrH agonis atau GnRH antagonis. Keduanya bekerja memengaruhi otak untuk membuat produksi luteinizing hormone (LH) rendah. Sehingga rangsangan produksi testosteron pada testis menjadi rendah.
Cara kedua, dengan mengurangi efek testosteron dengan pemberian antitestosteron atau antiandrogen. Misalnya siproteron asetat atau medroksiprogesteron. Perlu dicatat, pemberian dua obat tersebut tidak berefek lama dalam pengurangan testosteron dalam tubuh pelaku. Hanya beberapa minggu, bergantung jenis obat yang diberikan.
“Ada yang hanya satu minggu malah,” kata Aminuddin.
Apakah pemerintah akan menyuntikkannya secara berkala? “Kalaupun dilakukan dalam jangka panjang, harus diperhatikan efek obat-obatan kastrasi ini bisa merugikan secara sistemik.”
Ada efek tulang keropos, anemia, atropi otot, sampai penuaan dini. Belum lagi, lanjut Aminuddin, sebetulnya ada celah yang bisa dilakukan si penerima. Yang bersangkutan bisa datang ke dokter untuk melakukan terapi hormon. Lalu, dokter akan memberikan injeksi testosteron setelah ada bukti memiliki kadar testosteron rendah. Pelaku bisa saja secara rutin diberi LOH/hipogonadisme. Misalnya testosteron undekanoat, testosteron suksinat, testosteron topikal, dan testosteron oral. “Kemampuan seksualnya balik lagi. Selesai,” katanya.
Menurut Aminuddin, adanya kasus pemerkosaan ini sejatinya bukan akibat kadar testosteron tinggi. Tapi memang pada otak pelaku. Dia sering menemukan orang dengan kadar testosteron tinggi, tapi mampu mengendalikan diri.
Sumber: Jawapos,co