JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Santer diberitakan umat Islam di Indonesia mengawali puasa dengan perbedaan. Muhammadiyah menetapkan awal puasa jatuh pada 2 April. Sementara pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) kemungkinan besar mengawali puasa pada 3 April. Ternyata potensi perbedaan seperti ini juga terjadi pada penetapan Idulfitri sampai Iduladha nanti.
Potensi perbedaan awal Ramadan, 1 Syawal, dan Iduladha itu disampaikan guru besar astronomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin dalam webinar yang digelar Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) dan LPBKI-MUI di Jakarta, kemarin (24/3). "Dengan wujudul hilal 1 April itu sudah wujud," katanya. Dengan demikian ormas keagamaan yang menggunakan acuan wujudul hilal bakal mulai berpuasa 2 April.
Sementara itu bagi ormas keagamaan yang menggunakan rukyat, pada 1 April nanti hilal belum bisa dirukyat atau diamati. Sehingga 1 Ramadan jatuh pada 3 April. "Secara rukyat, tidak mungkin terjadi rukyat (pada 1 April). Sehingga awal Ramadan ini akan terjadi perbedaan," jelas mantan kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu.
Begitu pun dengan 1 Syawal, Thomas mengatakan dengan kriteria wujudul hilal maka Idulfitri jatuh pada 2 Mei.
Namun dia menjelaskan ada potensi hilal tidak bisa dirukyat pada 30 April. Sehingga 1 Syawal bagi yang berpatokan pada rukyat bisa jatuh pada 3 Mei. "Kecuali nanti di wilayah Sumatera ada yang bisa rukyat (hilal), Idulfitrinya 2 Mei," katanya. Jadi untuk di Indonesia ada peluang Idulfitri jatuh pada 3 Mei.
Pun demikian dengan penetapan awal Dzulhijjah sebagai patokan Iduladha (10 Dzulhijjah). Thomas mengatakan dengan metode wujudul hilal, maka 1 Dzulhijjah jatuh pada 30 Juni dan Iduladha pada 9 Juli. Sementara itu dengan kriteria rukyat, pada 29 Juni kemungkinan besar hilal tidak bisa diamati. sehingga 1 Dzulhijjah jatuh pada 1 Juni dan Iduladha pada 10 Juli. "Perlu disampaikan, dengan perbedaan kriteria tersebut, keputusan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah ada potensi perbedaan," tegas Thomas.
Wakil Ketua Umum MUI Marsyudi Syuhud mengatakan perbedaan adalah hal biasa. "Kita sudah diajarkan cara menyikapinya," katanya. Dia mengatakan Kemenag sampai saat ini berupaya menyatukan perbedaan-perbedaan itu dengan menggelar sidang isbat. Untuk sidang isbat penentuan awal puasa, rencananya digelar 1 April depan.
Marsyudi berharap umat Islam di Indonesia tidak mempermasalahkan perbedaan pendapat soal penetapan hari-hari penting dalam kalender hijriyah. Baik itu yang menggunakan metode hisab atau wujudul hilal, maupun metode rukyat sama-sama memiliki dasar.
Webinar ini menghadirkan sejumlah tokoh. Di antaranya Ketua LPBKI-MUI Prof Endang Soetari, Sekjen MUI Amirsyah Tambunan, dan Ketua Umum MPII Ishfah Abidal Aziz. Kemudian Direktur Urais Binsyar Kemenag Adib dan penemu kalender Bahari Nusantara M Ali Shodiqin.(wan/jpg)