JAKARTA (PEKANBARU) Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan agar ujian nasional (UN) 2020 ditiadakan. Hal ini menyusul merebaknya wabah virus corona atau Covid-19. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyebut, ada risiko yang tinggi jika tetap harus menggelar UN pada 2020.
"Prinsip dasar Kemendikbud adalah keamanan dan kesehatan siswa-siswa kita dan keamanan keluarga siswa. Kalau melakukan UN di dalam tempat-tempat pengujian bisa menimbulkan risiko kesehatan bukan hanya untuk siswa-siswa, tapi juga keluarga dan kakek nenek, karena jumlah sangat besar, 8 juta yang dites UN," kata Nadiem di Jakarta, Selasa (24/3).
Nadiem menyampaikan, pemerintah memikirkan keluarga para siswa jika harus tetap menggelar UN pada 2020. Terlebih, Nadiem memandang UN bukan merupakan syarat kelulusan yang utama.
"Karena kita sudah tahu juga bahwa sebenarnya UN itu bukan menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jadinya, setelah kami timbang pro dan kontra, bahwa lebih banyak risikonya daripada benefitnya untuk melakukan UN," tegas Nadiem.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memutuskan meniadakan UN untuk tahun 2020 yang sebelumnya sudah ada kesepakatan UN mulai dihapus pada 2021. Keputusan ini sebagai bagian dari sistem respons wabah Covid-19 yang salah satunya adalah pengutamaan keselamatan kesehatan rakyat.
"Seperti yang telah disampaikan bahwa sistem respons Covid-19 harus menyelamatkan kesehatan rakyat, daya tahan sosial dan dunia usaha," kata Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman dalam keterangannya, Selasa (24/3).
Fadjroel menyampaikan, peniadaan UN menjadi penerapan kebijakan pembatasan sosial atau social distancing untuk memotong rantai penyebaran virus korona atau Covid-19. Hal ini telah disampaikan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas mengenai pembahasan Ujian Nasional, melalui video conference.
"Ujian nasional ditiadakan untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau setingkat Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau setingkat Madrasah Tsnawiyah (MTs), dan Sekolah Dasar (SD) atau setingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI)," ujar Fadjroel.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendukung langkah pemerintah meniadakan UN tingkat SD hingga SMA tahun 2020. Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim menyampaikan, UN memang sudah tak bermanfaat bagi siswa. Hal itu mendukung langkah FSGI untuk satu suara terkait dengan peniadaan UN di Tanah Air.
"Kami apresiasi dan mendukung keputusan pemerintah meniadakan UN untuk SD sampai SMA. Ini menjadi langkah strategis di waktu dan kondisi yang tepat dan darurat. Pilihan yang baik demi kesehatan, keselamatan para siswa dan guru, serta mencegah penyebaran Covid-19," ujarnya melalui keterangan tertulisnya kepada JPG.
Terlebih, lanjut Salim, bagi FSGI, kedudukan, tujuan, dan fungsi UN sudah tidak ada lagi, sudah tak relevan. "Apalagi di tingkat SMA atau Madrasah Aliyah (MA). UN SMA tak bermanfaat secara praktis untuk masuk ke jenjang berikutnya, PTN. Sebab masuk PTN bukan dengan nilai hasil UN, melainkan melalui Undangan (Nilai Raport) dan Tes UTBK," tegas Salim.
Selanjutnya, FSGI menilai, kedudukan, tujuan, dan fungsi UN untuk tingkat SD-SMP juga tak terlalu relevan lagi. Sebab masuk SMP dan SMA saat ini (sudah 3 tahun jalan) melalui mekanisme PPDB Zonasi yang memiliki 3 jalur, Jarak rumah (zona), Prestasi Siswa (Akademik, non akademik) dan Perpindahan orang tua termasuk afirmasi.
"Jadi walaupun ada jalur prestasi dalam PPDB, tetapi prestasi yang dimaksud tak hanya dilihat dari Nilai UN, melainkan bisa juga dilihat dari prestasi nilai raport; nilai Ujian Sekolah; dan prestasi non-akademik lainnya seperti juara vokal, menggambar, mendongeng, debat, olahraga, seni musik dan lainnya. Artinya Nilai UN bukan lagi satu-satunya parameter prestasi siswa," jelas Salim.(ted)
Laporan: JPG (Jakarta)