PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Bertempat di Kedai Kopikirapa Jl Kundur, Pekanbaru, diskusi bertema "Jurnalisme Perjalanan atau Jurnalisme Sastrawi" berlangsung lumayan hangat pada Jumat (24/1/2020). Sekitar 15 peserta terlihat antusias mengikuti paparan Hary B Koriun tersebut tentang perkembangan jurnalistik.
Hadir dalam diskusi tersebut beberapa mahasiswa yang berkonsentrasi bidang jurnalistik dari Universitas Riau (Unri) atau UIN Sultan Syarif Kasim II, pakar komunikasi Dr M Badri, Ketua Sindikat Kartunis Riau (Sikari) Eko Faizin, dan dari Komunitas Bogger Riau. Haldi dari Komunitas Arus Balik memandu diskusi tersebut. Hampir semua peserta terlibat aktif dalam diskusi tersebut.
Hary menjelaskan tentang bagaimana perjalanannya ke dua pulau kecil di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Mei 2019 lalu. Dia ikut Program Sastrawan Berkarya ke Wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang diselenggarakan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selama sebulan di sana, dia harus melakukan liputan tentang masyarakat. Setelah pulang, selama dua bulan, Juni dan Juli, harus menyelesaikan satu buku bergenre jurnalisme sastrawi. Maka terbitlah buku berjudul Ke Sabu, Kita ke Raijua, yang diluncurkan pada 28 Oktober 2019 di Jakarta.
"Ada delapan peserta dalam program ini yang disebar ke berbagai daerah. Dan hampir semuanya buta tentang apa itu jurnalisme sastrawi. Tahunya mereka hanya menulis karya sastra," kata Hary.
Lalu, karena hal itu, akhirnya para kurator menyerahkan kepada para peserta tentang genre apa yang ditulis. Yang penting sebuah laporan menarik dengan bahasa yang tak sekaku laporan jurnalistik biasa, yang isinya menggambarkan secara konprehensif masing-masing daerah yang ditinggali.
Maka jurnalisme bergenre perjalanan akhirnya banyak yang dipilih peserta. Kata Hary, jurnalisme traveller ini sebenarnya bisa dikembangkan menjadi jurnalisme sastrawi versi sederhana. Sebab, jika mengacu pada jurnalisme sastrawi seperti yang dicetuskan Tom Wolfe dalam The New Journalism, pasti sulit. Apalagi mau menyaingi karya John Hersey dengan Hiroshima-nya, atau Stevlana Alexievich dengan Voices from Chernobyl: The Oral History of a Nuclear Disaster atau Zinky Boys: The Record of a Lost Soviet Generation.
Di Indonesia, jurnalisme sastrawi dikembangkan oleh Andreas Harsono, Linda Christanty dan banyak jurnalis lainnya yang pernah menerbitkan Majalah Pantau. Linda sendiri sudah menerbitkan buku berjudul Hikayat Kebo, yang merupakan kumpulan karya jurnalisme sastrawi yang ditulis dalam beberapa tahun belakangan.
"Jurnalisme sastrawi itu puncak kemahiran seorang wartawan dalam menulis sebuah liputan. Dia harus mendalam, komprehensif, banyak data dan sumber, dan menulisnya dengan gaya sastra selayaknya cerpen atau novel. Tak banyak wartawan yang bisa melahirkan karya model itu," kata Hary.
Tetapi, untuk pengetahuan awal, gaya jurnalisme perjalanan sangat cocok untuk liputan seperti Program Sastrawan Berkarya tersebut. Dengan memotret kondisi masyarakat dan menulisnya dengan bahasa plastik namun tetap berpijak pada fakta yang merupakan "Tuhan" bagi jurnalistik, karya itu akan tetap menarik.
"Untuk melahirkan karya seperti ini, seseorang tidak harus berprofesi sebagai wartawan. Para blogger, traveller dan yang lainnya bisa menulis genre ini. Tak perlu menanggung beban berat harus menulis jurnalisme sastawi," jelas Hary lagi.
Hary pun tak berani menyebut 9 tulisan dalam buku Ke Sabu, Kita ke Raijua sebagai genre jurnalisme satrawi, meskipun dia mencoba menulis dengan memasukkan elemen-elemen genre sasrtawi dalam buku tersebut.
Laporan: Furqon LW
Editor: M Erizal