LIMAPULUH KOTA (RIAUPOS.CO) — Ruas Jalan Negara Riau-Sumbar yang terancam putus total di Jorong Simpangtigo, Nagari Kotoalam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, akhirnya diperbaiki petugas Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) III Padang.
Perbaikan jalan di Km 161 dari Kota Padang, persisnya di sekitar rumah warga Nagari Kotoalam yang terbelah akibat fenomena tanah bergerak, terpantau mulai serius dilakukan pada Ahad (22/12) siang."Badan jalan Sumbar-Riau yang retak di Km 161,8 dari Padang atau di Jorong Simpangtiga, Nagari Kotoalam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, sudah diperbaiki BPJN III Sumbar. Perbaikan dilakukan dengan cara menutupi seluruh badan jalan yang amblas menggunakan sirtu dan alat berat," kata Kapolres Limapuluh Kota AKBP Sri Wibowo kepada Padang Ekspres (RPG).
Diakui Kapolres, perbaikan jalan badan jalan Riau-Sumbar yang retak akibat fenomena tanah bergerak di Nagari Kotoalam, membuat arus lalu-lintas di tempat tersebut, berjalan dengan sistem buka-tutup.
"Untuk kelancaran masyarakat dan pengemudi, kami sudah terjunkan personel Satlantas Polres Limapuluh Kota di lokasi," kata AKBP Sri Wibowo.
Meski polisi sudah terjun mengatur lalu-lintas di kawasan Kotoalam, tapi kemacetan kendaraan akibat perbaikan jalan, tetapi tidak dapat dihindari. Bahkan, pada Ahad malam (22/12), panjang antrean di jalan negara itu mencapai 7 km. Umumnya, kendaraan yang terjebak antreaan, adalah kendaraan pengangkut sembako dari Sumbar ke Riau dan masyarakat umum.
Manajer Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Limapuluh Kota, Rahmadinol, yang kemarin siang meninjau penanganan longsor di Nagari Kotolamo, Kecamatan Kapur IX, ikut terjebak dalam antrean kendaraan di Kotoalam, tadi malam. "Panjang antrean, memang mencapai 7 km," ujarnya.
Rahmadinol mengatakan, kendaraan yang datang dari arah Riau, sudah harus mengantre sejak dari kawasan Lubuakjantan, Nagari Manggilang. Sedangkan kendaraan yang datang dari arah Sumbar, harus mengantre sejak dari kawasan Kuda Putih, Huluaia, Harau.
"Jangankan bisa saling mendahului, ambulans bencana saja, tidak bisa lewat akibat kemacetan," ujarnya.
Melihat kemacetan yang begitu panjang, ditambah pula dengan hujan deras yang mengguyur Nagari Kotoalam malam tadi, BPBD Limapuluh Kota dengan kendaraan operasionalnya, menyampaikan pengumuman sepanjang perjalanan.
"Kami sampaikan kepada pengemudi, agar menghindari berhenti di sepanjang jalan dekat perbukitan dan tebing. Karena memang, kondisi jalan masih sangat rawan," ujar Rahmadinol.
Sementara itu, Bupati Limapuluh Kota Irfendi Arbi mengapresiasi BPJN III Padang yang sudah merespons permintaah masyarakat dan pemerintaah, agar jalan retak di Kotoalam, segera ditangani.
"Kami apresiasi karena sudah ditangani. Tapi kami berharap, perbaikan ini dapat dikebut. Sebab, jalan Sumbar-Riau ini urat nadi perekonomian masyarakat di dua provinsi," kata Irfendi Arbi.
Mengingat kondisi cuaca yang masih ekstrem dan fenomena pergerakan tanah yang diperkirakan masih terjadi, Irfendi Arbi menyarankan agar jalur Sumbar-Riau di wilayah Limapuluh Kota, ditutup sementara waktu atau dilakukan pembatasan kendaraan bertonase besar yang lewat.
"Ini demi keselamatan jiwa pengemudi kendaraan dan masyarakat umum. Karena cuaca masih ekstrem. Kalau pun jalan tetap harus dilewati, kami imbau masyarakat, apalagi yang membawa keluarga, menghindari perjalanan di malam hari dan saat hujan turun," kata Irfendi.
Selain itu, Bupati Irfendi Arbi juga mengaku terus menunggu kajian dari seluruh stakholder terkait kondisi jalan Sumbar-Riau.
"Seperti kami sampaikan sebelumnya, kami di Limapuluh Kota, siap untuk dilakukan kajian bersama dengan BNPB, Pemprov Sumbar, dan para stakhoder, terkait penyebab bencana alam yang terjadi di Sumbar, sebagaimana disampaikan Kepala BNPB, Bang Doni Monardo," katanya.
Sebelumnya, Guru Besar Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas (Unand), Padang, Profesor Bujang Rusman yang dimintai pendapatnya, menyebut fenomena tanah bergerak di Nagari Kotoalam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru yang berada di perlintasan Jalan Sumbar-Riau bisa dikategorikan dalam dua hal. “Kalau skalanya besar, itu likuifaksi. Kalau kecil, namanya landslide,” kata Bujang Rusman.
Dewan Pakar Pusat Studi Lingkungan Hidup Unand ini menyebut, likuifaksi tanah ataupun landslide terjadi antara lain karena tiga hal. Pertama, karena formasi geologi atau batuan yang ada di dasar tanah. Kedua, karena posisi daerahnya yang miring dan dipercepat dengan curah hujan tinggi. Ketiga, karena terjadi perubahan tata guna lahan. Contohnya, dari hutan menjadi pertanian, menjadi perkebunan, atau untuk fungsi ekonomi lainnya.
"Sebenarnya, kawasan Kotoalam, Pangkalan itu, di dalam tata ruang, harus menjadi kawasan lindung atau cagar alam. Karena, kemiringannya di atas 45 persen. Sudah itu, solum tanahnya dangkal dan banyak bercampur pasir dengan kerikil. Menyebabkan, kawasan itu sebenarnya tidak boleh diganggu. Jadi, kalau ada izin-izin (tambang, red), sebenarnya tidak boleh," kata Profesor Bujang Rusman.
Apalagi, menurut Profesor Bujang Rusman, Nagari Kotoalam dilalui garis khatulistiwa. "Daerah- yang dilalui garis khatulistiwa seperti Kotoalam itu curah hujannya tinggi. Curam tanahnya. Begitu diganggu, diubah perannya, tentu akan memicu bencana alam. Sebenarnya, Tuhan itu sangat arif dalam membagi kawasan. Kita sebagai manusia saja yang tidak arif. Cara berpikir kita baru aspek ekonomi. Keseimbangan lingkungan dan ekologi, tidak diperhatikan," kata Profesor Bujang Rusman.(frv/rpg)