JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Partai Buruh mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang meminta aturan Jaminan Hari Tua (JHT) direvisi. Bagi mereka, instruksi ini berarti mencabut Pemenaker Nomor 2 Tahun 2022.
Karenanya, Presiden Partai Buruh Said Iqbal meminta agar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah tak main akal-akalan lagi soal aturan JHT ini. Menurutnya, tidak boleh ada lagi permainan kalimat yang akan dituangkan dalam revisi permenaker yang diundangkan 4 Februari 2022 tersebut.
Dia menegaskan, bahwa arahan Presiden Jokowi soal JHT yang dipahami oleh para buruh ialah mencabut Permenaker 2/2022 tersebut. "Selayaknya revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut mengembalikan pada isi Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Dengan kata lain, mencabut Permenaker nomor 2 tahun 2022," ujarnya dalam temu media, kemarin (22/2).
Dengan begitu, lanjut dia, maka buruh/pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat langsung mencairkan JHT-nya paling lama 1 bulan setelah PHK. Tak perlu menunggu usia 56 tahun untuk bisa mencairkan JHT secara penuh.
Ia pun turut menekankan, bahwa buruh/pekerja memberikan waktu paling lama satu minggu bagi Airlangga dan Ida untuk mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Bila tidak, Partai Buruh dan serikat-serikat buruh akan mengorganisir kembali aksi-aksi unjuk rasa yang lebih besar lagi dari sebelumnya.
"Sekali lagi kami ingatkan kepada Menko Perekonomian dan Menaker untuk taat asas hukum kepada Bapak Presiden," tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi mengatakan, bahwa sesuai dengan petunjuk dan arahan Presiden Jokowi maka pihaknya segera merevisi Permenaker 2/2022. Tentunya, dengan mempertimbangkan banyak aspek. Mulai dari yuridis legal formal hingga sosiologis.
Selain itu, dalam prosesnnya nanti, akan dilakukan pengkajian menyeluruh dengan melibatkan para pakar untuk mendapatkan masukan-masukan. Tak terkecuali, masukan dari serikat buruh dan pekerja sebelumnya.
"Akan ditelaah bagian-bagian mana atau ayat-ayat mana yang perlu direvisi sesuai dengan arahan Bapak Presiden," ujarnya.
Disinggung soal desakan mencabut permenaker 2/2022, Anwar mengisyaratkan bahwa hal itu tidak akan dilakukan. Dia menegaskan, bahwa arahan yang diberikan adalah untuk mempermudah pencairan. Sehingga, pasal-pasal yang dinilai sudah baik di Permenaker 2/2022 akan dipertahankan.
Lagi pula, kata dia, hingga kini pun Permenaker 19/2015 masih berlaku. Pekerja/buruh masih bisa mencairkan JHT dengan mangacu pada aturan tersebut hingga Mei 2022 mendatang.
"Kita harapkan revisi Permenaker 2/2022 bisa rampung sebelum itu," ungkapnya.
Di sisi lain, Kemenaker memastikan peserta BPJS Ketenagakerjaan yang memenuhi persyaratan sudah dapat melakukan klaim manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Meski, program ini belum diluncurkan secara resmi. JKP sejatinya dijadwalkan untuk diresmikan kemarin. Namun, lantaran ada pertimbangan teknis maka acara peresmian dijadwalkan ulang.
"Program JKP sudah berlaku dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sejak 11 Februari 2022," ujar Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadhly Harahap.
Bahkan, kata dia, saat ini BPJS Ketenagakerjaan sudah mulai membayarkan manfaat uang tunai kepada sejumlah peserta yang telah melakukan klaim JKP. Hingga 18 Februari 2022, tercatat sekitar 48 orang yang mengklaim manfaat JKP ini.
ia menjelaskan, program ini diperuntukan bagi pekerja/buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam JKP, mereka nantinya akan menerima manfaat berupa uang tunai, informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
"Berdasarkan perhitungan aktuaris, tahun 2022 ini akan ada sekitar 629 ribu penerima manfaat JKP," tuturnya.
Untuk bisa mendapatkan program ini, maka peserta wajib memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan. Serta, membayar iuran 6 bulan berturut-turut sebelum terjadi PHK.
Sementara itu koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyoroti penundaan peluncuran JKP. Seperti diberitakan sebelumnya, santer tersiar kabar bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan meluncurkan program JKP pada Selasa (22/2) kemarin. Menurut Timboel, penundaan peluncuran JKP tersebut ada kaitannya dengan permintaan Jokowi kepada Menaker Ida Fauziyah untuk merevisi Permenaker soal JHT.
Lebih lanjut soal JKP, Timboel mengatakan program tersebut sejatinya bagus. Tetapi dia mengusulkan beberapa penambahan cakupan kepesertaan. Diantaranya Timboel berharap para pekerja migran Indonesia (PMI) juga dimasukkan ke dalam kepesertaan program JKP. "Aspek kepesertaan JKP ini masih fokus pada pekerja formal," tuturnya.
Dia mengingatkan seluruh peserta BPJS Ketenagakerjaan atau BPJAMSOSTEK seharusnya menjadi peserta program JKP tanpa terkecuali. Timboel mengatakan para PMI rawan mengalami PHK dan tidak mendapatkan pesangon. Apalagi para PMI yang bekerja di sektor nonformal.
Selain itu Timboel berharap para pekerja kontrak atau PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) juga dimasukkan dalam penerima manfaat JKP. Ketika para pekerja kontrak tersebut berakhir masa kontraknya, harus mendapatkan manfaat dari program JKP selayaknya pekerja terkena PHK.
Timboel mengatakan jika tenaga kontrak tidak dimasukkan dalam program JKP, BPJAMSOSTEK selaku operator harus bisa mengantisipasi potensi kecurangan. "Misalnya ada pekerja kontrak yang minta diberhentikan sebulan atau dua bulan sebelum kontraknya selesai. Karena ingin mendapatkan JKP," tuturnya. Untuk mencegah potensi kecurangan seperti itu, sebaiknya seluruh pekerja kontrak selama menjadi peserta BPJAMSOSTEK diikutkan program JKP.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan sebelum program JKP resmi dilucurkan, persoalan data harus diperbaiki dan transpran. "Persoalan data ini ngeri-ngeri sedap," katanya. Jangan sampai antara data dengan fakta penerima program JKP di lapangan berbeda.
Selain itu Trubus mengatakan program JKP ini sekilas menolang pekerja yang kehilangan pekerjaan. Tetapi sejatinya tidak menolong juga. Sebab program ini lebih mirip seperti bantuan sosial. Uang yang diterima pekerja sekedar cukup untuk menyambung hidup. Itupun sangat kecil dibandingkan upaya yang dia terima ketika masih bekerja.
Secara umum Trubus mengatakan besaran JHT lebih tinggi dibandingkan JKP. Tetapi dalam kondisi tertentu, besaran JKP lebih besar dibandingkan JHT. Tetapi dia berbicara dalam kondisi umum. Menurut Trubus uang JHT begitu diharapkan pekerja yang kehilangan pekerjaan. Sebab bisa digunakan untuk membuka usaha atau kegiatan produktif lainnya.
Di sisi lain, Anggota Ombudsman RI (ORI) Robert Na Endi Jaweng mengatakan landasan filosofi dan yuridis Permenaker JHT relatif kuat dan ideal. Namun dari sisi sosiologis yang meresonansi realitas empirik kehidupan pekerja tidak tertangkap dengan baik. "Suatu kebijakan yang baik harus meresonansi suasana kebatinan publik," ujarnya dalam keterangan tertulis, kemarin (22/2).
Robert menilai narasi terkait Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai alternatif pekerja yang terkena PHK tidak sepenuhnya tepat. Robert menegaskan, JKP hari ini tidak inklusif. Karena cakupannya terbatas pada pekerja formal tetap dengan masa iuran tertentu. "Bagaimana dengan pekerja informal, bagaimana dengan pekerja yang habis masa kontrak, mengundurkan diri dan sebagainya, ini tidak bisa mengakses manfaat JKP?" terangnya.
Melihat situasi saat ini, kata Robert, Permenaker tersebut harus diperpanjang masa transisinya dari tiga bulan menjadi setahun atau dua tahun untuk pemberlakuannya. Selain diperkirakan makin terkendalinya pandemi Covid 19 dan mulai pulihnya ekonomi tahun depan, juga agar pelaksanaan JKP sebagai bantalan sosial-ekonomi jangka pendek bisa ditata lebih baik sebagai "katup penyangga" atas kehidupan pekerja.(mia/wan/tyo/jpg)