JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Isu penularan flu burung ke manusia menjadi atensi Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kewaspadaan ini menyusul laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai kasus penularan flu burung terhadap manusia.
Pada 11 Juni lalu, WHO merilis kasus infeksi virus avian influenza tipe A (H9N2) pada manusia terdeteksi pada seorang anak yang tinggal di Negara Bagian Benggala Barat, India. Anak itu memiliki riwayat kontak dengan unggas. Dia saat ini telah pulih dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes Achmad Farchanny Tri Adryanto menyatakan, pihaknya senantiasa memantau strain avian influenza yang berpotensi menulari manusia. Strain atau jenis yang dipantau adalah highly pathogenic avian influenza (HPAI).
’’Yaitu, (strain) H5 di laboratorium kesehatan masyarakat (labkesmas) tier 4,’’ katanya. Selain itu, ada low pathogenic avian influenza (LPAI) yang terdiri atas strain H7 dan H9. Pemantauan dilakukan di labkesmas rujukan nasional.
HPAI merupakan virus avian influenza yang dapat mengakibatkan penyakit pada inangnya. Jika terjangkit, unggas yang terinfeksi akan menderita penyakit serius serta bisa mati. Sementara itu, LPAI termasuk virus avian influenza yang tidak mengakibatkan tanda-tanda penyakit atau penyakit ringan pada ayam atau unggas.
Merujuk pada Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, strain avian influenza kategori HPAI dan LPAI tipe A bisa mengakibatkan infeksi penyakit. Mulai yang berdampak ringan hingga parah pada manusia yang terinfeksi.
Dia menjelaskan, di Indonesia pemantauan HPAI strain H5 dilakukan dengan meningkatkan analisis data (surveilans sentinel) influenza like illness atau infeksi saluran pernapasan atas dan severe acute respiratory illnesses atau infeksi saluran pernapasan akut. Caranya, memantau faktor risiko kontak langsung dengan unggas yang sakit atau mati mendadak dan lingkungan yang terkontaminasi.
’’Kemudian, meningkatkan surveilans infeksi saluran pernapasan akut berat dengan faktor risiko untuk deteksi dini suspek flu burung,’’ ujar Farchanny. Dia mengimbau para peternak ayam, itik, sapi, atau hewan lainnya untuk menerapkan pengelolaan ternak dan kandang ternak dengan konsep higienitas dan sanitasi yang benar. Selain itu, para peternak harus rajin melakukan desinfeksi dan mencuci tangan.
Yang menemukan hewan sakit dilarang menjual ternak tersebut. Apalagi jika ada kematian ternak mendadak dan dalam jumlah besar. Masyarakat diminta segera melapor ke dinas terkait.
Sementara itu, di pintu masuk negara, Indonesia telah memperkuat pengawasan. Terutama terhadap pelaku perjalanan dari negara-negara yang melaporkan kasus infeksi flu burung.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes Imran Pambudi mengungkapkan, kasus flu burung di Indonesia kali pertama dilaporkan pada 2005. Sejak saat itu hingga 2017, tercatat ada 200 kasus dengan 168 kematian.
Kasus-kasus tersebut tersebar di 15 provinsi dan 59 kabupaten/kota. ’’Indonesia melaporkan kasus flu burung terakhir pada 2017 di Kabupaten Klungkung, Bali. Hingga kasus terakhir, penularan masih terjadi dari unggas ke manusia,’’ ungkap Imran.(lyn/bay/jpg)