Jefrison Haryanto Fernando dan Yulius Boni Geti adalah dua “pejuang” literasi di Pulau Sabu dan Raijua yang hidup di jalan sunyi. Mereka tak ingin anak-anak di sana bodoh dan miskin, salah satu stigma yang selama ini tertancap pada Kabupaten Sabu Raijua.
Oleh Hary B Koriun
SEBUAH pesan WhatsApp masuk ke samartphone saya: “Jadi kita ketemu hari ini, Bang?”
“Jadi… Saya sudah siap meluncur, Bang…” jawab saya.
“Baik, kabari nanti ya kalau sudah sampai…” balasnya.
Beberapa saat kemudian saya sudah meluncur dengan sepedamotor saya menuju Seba. Sebuah perjalanan rutin, hampir setiap hari, karena untuk makan berbuka puasa dan sekalian membeli untuk makan sahur, saya harus ke pusat kota itu. Sekali lagi, jangan berpikir pusat kota ini adalah sebuah tempat yang hiruk-pikuk dengan manusia yang berdesakan, jalanan yang penuh dengan kendaraan, atau ruko-ruko dan gedung-gedung menjulang selayaknya di sebuah kota setingkat kabupaten di daerah lainnya.
Seba hanyalah sebuah kawasan kecil, yang bahkan untuk mencari dan memilih jenis makanan yang kita inginkan saja, tak banyak pilihan. Tetapi, inilah tempat paling ramai di kabupaten yang baru tahun 2009 lalu resmi “memisahkan diri” dari Kupang dan berdiri sebagai sebuah kabupaten sendiri.
Sesampai di tempat yang dijanjikan untuk bertemu, saya menghubunginya. Kami berjanji ketemu di warung “Es Kelapa NTB” di sebelah Kantor Pos dan Giro Sabu Raijua, Seba.
Tentang “Es Kelapa NTB” ini, pada Jumat, 3 Mei, tiga hari sebelum ini, setelah selesai acara di Kantor Dinas Pendidikan untuk “penyerahan” saya kepada Pemkab Sabu Raijua, kami minum di sini. Waktu itu masih formasi lengkap. Masih ada Dr Sastri Sunarti, Mbak Eko Marini, dan Mas Salim. Juga, tentu saja, Abang Brother, yang menemani dan mengantar kami. Dr Sastri sudah berjanji bertemu dengan Nando, lelaki yang juga sekarang sedang berjanji dengan saya bertemu di sini.
Sekitar 5 menit saya menunggu, sebuah motor Honda Beat yang dikendarai lelaki plontos berkacamata hitam, parkir di dekat saya. Setelah melihat kanan-kiri, tiba-tiba lelaki itu bilang, “Kita cari tempat lain, Bang. Ikuti saja saya,” katanya kemudian.
Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba dia membatalkan bertemu di tempat itu. Sesampai di tujuan dia baru mengatakan kalau tak enak ngobrol di sana. “Abang puasa, kan?” katanya sambil tersenyum.
Saya juga membalasnya hanya dengan senyuman, sebagai pengganti kata “iya”. Saya kemudian mengikutinya. Dari Kantor Pos dan Giro itu kami memutar ke arah kanan. Setelah berjalan sekitar 200 meter, kami sampai pada sebuah jalan berbatu di perkampungan penduduk. Sepertinya saya ingat jalan ini.
Benar. Dia membawa saya ke Pantai Napae, yang sudah kami kunjungi beberapa hari sebelumnya. Lalu kami masuk ke gerbang menuju deretan dangau berbentuk rumah panggung tanpa dinding di sana. Saat memasuki gerbang, meski cuaca sangat panas terik, tiba-tiba jadi terasa adem karena angin laut datang. Semilir yang membuat nyaman. Di depan kami, Pantai Napae yang indah dengan pasir putihnya, terhampar luas, dengan lautnya yang membiru.