Minggu, 22 Juni 2025

Korporasi Pembakar Hutan Bakal Sulit Dijerat Pidana

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kritik terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja tidak hanya terkait dengan ketenagakerjaan. Pegiat lingkungan hidup menyoroti rancangan regulasi baru yang mengancam kelestarian lingkungan.

Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga ada upaya menghilangkan tanggung jawab perusahaan dalam kerusakan lingkungan lewat pembahasan RUU Cipta Kerja. Setidaknya ada beberapa pasal yang potensial membebaskan perusahaan dari tanggung jawab perusakan lingkungan.

Misalnya direduksinya norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Kerja. Dihapusnya unsur ”tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dikhawatirkan mengaburkan pengoperasian ketentuan itu.

Manajer Kampanye Pangan-Air dan Ekosistem-Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu A. Perdana menyatakan, hal itu ditunjukkan dengan ketentuan pasal 49 UU Kehutanan yang diubah total. Tidak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di area konsesi. Di RUU Cipta Kerja, diubah menjadi sekadar bertanggung jawab untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran.

Baca Juga:  Antarkan Jenazah Sejauh 3.200 Km, Dua Sopir Ambulans Ini Dianggap Pahlawan di India

Selain UU Kehutanan, ada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Wahyu mengatakan, pasal 98 dan 99 selama ini menjadi senjata utama pemerintah untuk menjerat perusahaan pembakar hutan dan lahan. Dua pasal itu pernah menjadi sasaran judicial review (JR).

Di RUU Cipta Kerja, jelas Wahyu, pertanggungjawaban pidana harus terlebih dulu dilakukan melalui skema administrasi. ”Bahkan, ketentuan pidana sangat sulit dioperasikan kepada korporasi karena tidak ada sanksi denda. Seharusnya perumus RUU konsisten membedakan sanksi pidana dan sanksi administrasi,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi mengungkapkan, yang memberatkan dalam pasal 99 dan 98 PPLH adalah ketentuan mengenai strict liability (tanggung jawab penuh). Dalam prinsip itu dijelaskan, jika terjadi kebakaran di lahan yang dikelola perusahaan, perusahaan akan kena sanksi pidana dan perdata. Tanpa mempertimbangkan apakah kebakaran tersebut disengaja atau tidak disengaja dan apakah perusahaan dirugikan atau tidak.

Baca Juga:  Ekonomi Tetap Harus Bergerak, Patuhi Prokes

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kritik terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja tidak hanya terkait dengan ketenagakerjaan. Pegiat lingkungan hidup menyoroti rancangan regulasi baru yang mengancam kelestarian lingkungan.

Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga ada upaya menghilangkan tanggung jawab perusahaan dalam kerusakan lingkungan lewat pembahasan RUU Cipta Kerja. Setidaknya ada beberapa pasal yang potensial membebaskan perusahaan dari tanggung jawab perusakan lingkungan.

Misalnya direduksinya norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Kerja. Dihapusnya unsur ”tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dikhawatirkan mengaburkan pengoperasian ketentuan itu.

Manajer Kampanye Pangan-Air dan Ekosistem-Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu A. Perdana menyatakan, hal itu ditunjukkan dengan ketentuan pasal 49 UU Kehutanan yang diubah total. Tidak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di area konsesi. Di RUU Cipta Kerja, diubah menjadi sekadar bertanggung jawab untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran.

Baca Juga:  Antarkan Jenazah Sejauh 3.200 Km, Dua Sopir Ambulans Ini Dianggap Pahlawan di India

Selain UU Kehutanan, ada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Wahyu mengatakan, pasal 98 dan 99 selama ini menjadi senjata utama pemerintah untuk menjerat perusahaan pembakar hutan dan lahan. Dua pasal itu pernah menjadi sasaran judicial review (JR).

- Advertisement -

Di RUU Cipta Kerja, jelas Wahyu, pertanggungjawaban pidana harus terlebih dulu dilakukan melalui skema administrasi. ”Bahkan, ketentuan pidana sangat sulit dioperasikan kepada korporasi karena tidak ada sanksi denda. Seharusnya perumus RUU konsisten membedakan sanksi pidana dan sanksi administrasi,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi mengungkapkan, yang memberatkan dalam pasal 99 dan 98 PPLH adalah ketentuan mengenai strict liability (tanggung jawab penuh). Dalam prinsip itu dijelaskan, jika terjadi kebakaran di lahan yang dikelola perusahaan, perusahaan akan kena sanksi pidana dan perdata. Tanpa mempertimbangkan apakah kebakaran tersebut disengaja atau tidak disengaja dan apakah perusahaan dirugikan atau tidak.

- Advertisement -
Baca Juga:  Lantik Pengurus Dekranasda Periode Tahun 2021-2026

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kritik terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja tidak hanya terkait dengan ketenagakerjaan. Pegiat lingkungan hidup menyoroti rancangan regulasi baru yang mengancam kelestarian lingkungan.

Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga ada upaya menghilangkan tanggung jawab perusahaan dalam kerusakan lingkungan lewat pembahasan RUU Cipta Kerja. Setidaknya ada beberapa pasal yang potensial membebaskan perusahaan dari tanggung jawab perusakan lingkungan.

Misalnya direduksinya norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Kerja. Dihapusnya unsur ”tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dikhawatirkan mengaburkan pengoperasian ketentuan itu.

Manajer Kampanye Pangan-Air dan Ekosistem-Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu A. Perdana menyatakan, hal itu ditunjukkan dengan ketentuan pasal 49 UU Kehutanan yang diubah total. Tidak ada kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di area konsesi. Di RUU Cipta Kerja, diubah menjadi sekadar bertanggung jawab untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran.

Baca Juga:  Ini Pengakuan Geraldine Beldi, Sosok Pertama yang Temukan Jenazah Eril

Selain UU Kehutanan, ada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Wahyu mengatakan, pasal 98 dan 99 selama ini menjadi senjata utama pemerintah untuk menjerat perusahaan pembakar hutan dan lahan. Dua pasal itu pernah menjadi sasaran judicial review (JR).

Di RUU Cipta Kerja, jelas Wahyu, pertanggungjawaban pidana harus terlebih dulu dilakukan melalui skema administrasi. ”Bahkan, ketentuan pidana sangat sulit dioperasikan kepada korporasi karena tidak ada sanksi denda. Seharusnya perumus RUU konsisten membedakan sanksi pidana dan sanksi administrasi,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi mengungkapkan, yang memberatkan dalam pasal 99 dan 98 PPLH adalah ketentuan mengenai strict liability (tanggung jawab penuh). Dalam prinsip itu dijelaskan, jika terjadi kebakaran di lahan yang dikelola perusahaan, perusahaan akan kena sanksi pidana dan perdata. Tanpa mempertimbangkan apakah kebakaran tersebut disengaja atau tidak disengaja dan apakah perusahaan dirugikan atau tidak.

Baca Juga:  Rutin Minum Kopi Pahit Kurangi Resiko Diabetes 

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari