(RIAUPOS.CO) – Presiden Joko Widodo mendukung amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Namun, perubahan konstitusi itu tidak boleh melebar ke pasal lain terkait perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Revisi tersebut harus fokus pada pokok-pokok haluan negara (PPHN).
Dukungan Jokowi terhadap amandemen UUD itu disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Menurut dia, saat pimpinan MPR berkunjung ke Istana Bogor dalam rangka menyampaikan rencana sidang tahunan pada Jumat (13/8), pihaknya dan presiden juga membahas amandemen UUD NRI 1945.
Hadir dalam pertemuan itu, jajaran wakil ketua MPR. Yakni, Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarifuddin Hasan, Zulkifli Hasan, Arsul Sani, dan Fadel Muhammad. Hadir pula Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono.
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi secara tegas memberikan dukungan dilakukan amandemen terbatas UUD NRI 1945. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghadirkan PPHN dan tidak melebar ke persoalan lain. "PPHN diperlukan sebagai bintang penunjuk arah pembangunan nasional," terangnya kepada Jawa Pos (JPG), Sabtu (14/8).
Menurut Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR mengenai pembahasan amandemen UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN. Jokowi berpesan agar pembahasan tidak melebar ke hal lain, seperti perubahan masa periodisasi presiden dan wakil presiden. "Karena Presiden Jokowi tidak setuju dengan itu," jelas Bamsoet.
Wakil ketua umum Partai Golkar tersebut memaparkan, pasal 37 UUD NRI 1945 mengatur secara rigid mekanisme usulan perubahan konstitusi. Perubahan tidak dapat dilakukan secara serta-merta. Tapi, harus terlebih dahulu diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul. Usulan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR.
Dengan demikian, kata Bamsoet, tidak terbuka peluang menyisipkan gagasan amandemen di luar materi PPHN yang sudah diagendakan. Misalnya, penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode. "Karena MPR juga tidak pernah membahas hal tersebut," terang mantan ketua DPR itu.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI tersebut menambahkan, hanya akan ada penambahan dua ayat dalam amandemen UUD NRI 1945. Yaitu, penambahan ayat di pasal 3 dan pasal 23 UUD NRI 1945. Penambahan satu ayat pada pasal 3 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara itu, penambahan satu ayat pada pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN. "Selain itu, tidak ada penambahan lain dalam amandemen terbatas UUD NRI 1945," tegas legislator asal dapil Jawa Tengah itu.
Pengamat politik Ujang Komarudin mengatakan, jika amandemen UUD dibuka, akan terbuka kemungkinan-kemungkinan lain. Menurut dia, akan banyak usulan yang masuk. Jika awalnya hanya ingin memasukkan PPHN, akan muncul usulan lain. Misalnya, perubahan masa jabatan presiden. "Jadi, tidak ada yang bisa menjamin kalau amandemen tidak menjadi bola liar," terang dia.
Direktur eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu mengungkapkan, MPR harus mengkaji secara matang sebelum melakukan amandemen. Perubahan UUD akan menjadi tantangan dan pertaruhan bagi pimpinan MPR periode 2019–2024.(lum/c7/oni/das)
Laporan JPG, Jakarta