JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)‎, Fajri Nursyamsi mengatakan ‎kondisi pemberantasan korupsi mengalami kebuntuan. Pasalnya, pimpinan KPK menyerahkan tanggung jawab pengelolaan lembaga antirasuah kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sehingga, masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia masih di tangan orang nomor satu di Indonesia itu.
Menurut Fajri, kondisi pimpinan KPK itu karena perkembangan proses pembentukan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sejak awal sudah bermasalah. Menurutnya, ‎ada tiga aspek yang mendasari kebuntuan terjadi, yaitu. Pertama, pernyataan Pimpinan KPK menegaskan bahwa KPK tidak dilibatkan dalam proses pembentukan Revisi UU tersebut.
“Padahal KPK adalah lembaga yang akan terdampak langsung terhadap pembentukan Revisi UU tersebut,†ujar Fajri kepada JawaPos.com, Sabtu (14/9).
Selanjutnya, kedua adalah, proses pembentukan Revisi UU KPK sudah bermasalah sejak awal, selain melanggar Undang-Undang 12/2011 dan Tata Tertib DPR karena prosesnya tidak melalui tahapan perencanaan. “Apalagi Revisi UU KPK pun dilakukan tertutup tanpa pelibatan publik secara luas,†katanya.
Sejumlah masyarakat melakukan aksi tabur bunga di depan gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Aksi simbolis berupa tabur bunga pada keranda ini diklaim menjadi simbol matinya KPK usai diterpa badai persoalan yang menyelimuti lembaga antirasuah tersebut.
Oleh sebab itu, PSHK mendorong Presiden Jokowi untuk menarik kembali Surpres dalam proses pembentukan Revisi UU KPK. Penarikan kembali dapat dilakukan dengan berdasar kepada asas contrarius actus, yaitu asas dalam hukum administrasi negara yang memberikan kewenangan pada pejabat negara untuk membatalkan keputusan yang sudah ditetapkannya.
“Artinya, Presiden berwenang untuk membatalkan atau menarik kembali Surpres yang sudah ditetapkan sebelumnya,†ungkapnya.
Dengan penarikan Surpres diharapkan Presiden Jokowi dapat mengambil langkah lebih tegas dan efektif untuk mewujudkan visinya menciptakan KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi, tanpa harus tersandera oleh proses pembentukan Revisi UU KPK yang sedang digagas oleh DPR.
“Selain itu, dengan penarikan Surpres, Presiden menjalankan perannya sebagai lembaga yang mengoreksi kesalahan DPR dalam hal kekuasaan pembentukan Revisi UU KPK yang sejak awal sudah melanggar hukum,†pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: deslina