JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Luka itu menganga di tempat yang sama lagi. Amarah kembali menjadi bahan bakar yang mengobarkan konflik lama antara Israel dan Palestina. Dalam alur kekerasan dan kekacauan narasi yang berkembang, korbannya selalu tetap sama. Kaum muda. Remaja dan anak-anak.
Alarm militer menjerit kencang di Jerusalem pada Senin malam (10/5). Galit, penduduk di permukiman Yahudi, langsung tegang. Dengan waspada dia mengumpulkan anak-anaknya. Mereka lantas bersembunyi di ruang darurat. Undang-undang Israel mewajibkan setiap keluarga punya ruang darurat di kediaman mereka. Selain itu, tiap kompleks hunian harus punya setidaknya satu bungker untuk berlindung dari serangan bom.
Setiba di ruang darurat, Galit mencoba menenangkan anak-anaknya yang panik. ”Saya bilang ke mereka bahwa ini hanya latihan,” ungkapnya kepada Algemeiner.
Kalimat Galit memang sempat membuat anak-anaknya tenang. Tapi tidak lama. Sebab, getaran yang terasa semakin hebat. Tidak semakin lemah seperti jika ada latihan militer. Ditambah lagi, asap juga semakin pekat. Tidak sama lagi dengan asap buatan yang sengaja diciptakan sebagai efek dalam simulasi. Puncaknya, dentuman roket yang kencang membuat anak-anak Galit memecahkan tangis.
Itu bukan simulasi. Roket tersebut mendarat di dekat rumah mereka. Hati Galit mencelos. Bagi penduduk Yahudi di Jerusalem seperti Galit, roket itu adalah serangan. Terorislah yang menembakkannya. Dan itu bukan sesuatu yang baru. Atas alasan politik, serangan-serangan dengan korban yang nyata itu selalu datang.
Seperti Galit, Muhammad Subih pun terlalu tidak berdaya untuk menilai siapakah teroris yang sesungguhnya. Pria yang tinggal di Kota Gaza, sekitar 76 kilometer barat daya Jerusalem, itu hanya tahu bahwa konflik bersenjata selalu merenggut nyawa orang tak berdosa. Ya. Mereka yang tidak tahu apa motivasi di balik serangan-serangan mematikan itu justru yang selalu menjadi korban. Baik itu penduduk Yahudi, Arab, maupun Kristiani.
Sebanyak 56 warga Palestina tewas dalam serangan udara Israel Defense Force (IDF) pasca bentrokan di kompleks Masjidilaqsa pada akhir pekan lalu. Sebanyak 14 korban tewas adalah anak-anak. ”Kakak perempuan saya dan anaknya terbunuh saat terlelap,” ujar Subih kepada Al Jazeera.
Subih berduka. Dia kehilangan sang kakak, Amira, dan keponakannya, Abdulrahman. Kini dia harus menjadi orang tua pengganti bagi Yousef, adik Abdulrahman. Yousef luput dari maut. Tapi, dia kini yatim piatu. Ayah Yousef terbunuh dalam serangan Israel pada 2003 silam.
Fakta bahwa serangan IDF merenggut keluarganya terlalu sulit untuk dicerna Yousef. Dalam usia belia, dia hanya bisa menyerap penjelasan-penjelasan bernada amarah dari orang-orang terdekatnya. Sebab, tidak pernah ada penjelasan masuk akal dari militer maupun pemerintah. Gelombang amarah yang menyemai dendam seperti pada kasus Yousef itulah yang lantas menjadi bibit-bibit konflik pada masa depan.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra