Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meminta agar proses negosiasi business to business (B to B) antara PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan Pertamina terkait percepatan pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Rokan sebelum kontrak kerjasama WK Rokan (Pertamina) efektif, segera diselesaikan. Hal ini diperlukan untuk menjaga agar penurunan produksi minyak nasional tidak berkelanjutan. Demikian dikatakan Penasihat Ahli SKK Migas, Satya Widya Yudha, di Jakarta, Kamis (12/3).
Statemen Satya ini disampaikan untuk menanggapi proses alih kelola WK Rokan yang terjadi saat ini. "Kesepakatan antarbisnis antara Pertamina dan CPI menjadi kunci bagi Pertamina dalam pengelolaan WK Rokan, Riau. Jadi inilah yang harus diusahakan oleh kedua belah pihak," kata Satya. Pada masa alih kelola, kata Satya, SKK Migas telah mengurus dua hal. Pertama adalah percepatan kegiatan dan yang kedua, adalah proses peralihan blok itu sendiri. "Kedua kegiatan itu prosesnya terpisah," katanya.
Berdasarkan peraturan perundangan, pada proses kedua yaitu proses peralihan, telah berjalan sebagaimana seharusnya. Sementara pada proses kegiatan pertama yaitu percepatan kegiatan, harus dilakukan melalui kesepakatan B to B antara CPI dan Pertamina. Pada proses peralihan, tambah Satya, SKK Migas telah berhasil memfasilitasi agar CPI membuka semua informasi yang dibutuhkan Pertamina, termasuk data-data yang dibutuhkan Pertamina untuk mempercepat produksi pasca kontrak WK Rokan berakhir pada Agustus 2021.
"Setiap minggu tim kedua belah pihak duduk bersama dan mendiskusikan berbagai isu, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, drilling dan sebagainya. Dalam proses ini CPI sangat koperatif", kata Anggota DPR dua periode 2009-2014 dan 2014-2019 tersebut. Satya mengatakan sikap CPI tersebut harus dihargai karena terbuka dan mengakomodasi keinginan Pertamina, termasuk membuka data 78 kandidat sumur yang bisa dibor BUMN tersebut saat alih kelola. Ke-78 kandidat sumur itu merupakan sisa lingkup Plan Of Development yang sudah disetujui SKK Migas, namun belum sempat diproduksikan CPI.
Pembicaraan B to B tentang percepatan kegiatan, antara lain early access telah dimulai sejak awal tahun 2019, dan sampai saat ini masih berlangsung. Untuk mendapatkan hasil maksimal, B to B yang sekarang dilakukan oleh CPI dan Pertamina, harus bisa menemukan kata sepakat, sehingga usaha SKK Migas untuk mempertahankan tingkat produksi, juga dapat menghasilkan hasil maksimal. "Yang dilakukan SKK Migas sudah maksimal. Kalau SKK Migas melakukan hal yang lebih dari yang sekarang, lembaga ini akan menyalahi kontrak", tambah Satya. Karena proses di atas, setiap pihak tidak bisa menyalahkan satu pun dari para pihak yang terkait dalam proses tersebut. "Saya berpendapat bahwa dalam kasus ini tidak ada pihak yang dipersalahkan karena batasan-batasan yang ada merupakan konsekuensi logis dari kontrak", tutupnya.
Sementara itu, saat menjadi pembicara dalam diskusi Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), Satya mengungkapkan sejumlah hal perlu dilakukan guna meningkatkan daya tarik investasi hulu migas di Indonesia. Pertama, menyelesaikan revisi UU Migas agar memberikan kepastian hukum bagi investor. Selanjutnya, percepatan penyederhanaan perizinan di daerah, meninjau kembali penggunaan skema gross split dan mendorong penggunaannya menjadi salah satu opsi.
"Hal lain adalah memberikan insentif untuk meningkatkan keekonomian dengan menerapkan klausul sliding scale agar menyesuaikan dengan harga minyak dan pengurangan pajak dalam rahap eksplorasi; menyederhanakan birokrasi khususnya survei umum, joint study, audit, dan percepatan proses POD; mengembalikan lapangan idle ke negara; dan memberikan kepastian perpanjangan kontrak migas," ujar Satya.***