JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Penerapan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Provinsi DKI Jakarta, Bodebek, serta Banten diharapkan bisa menghentikan pergerakan penduduk yang disebut-sebut menjadi sebab lonjakan kasus Covid-19 dalam sepekan terakhir.
Epidemiolog dan Ahli Statistika Iwan Ariawan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan, pihaknya selama ini melakukan penelitian mobilitas penduduk dengan basis data dari Google Mobility dan Facebook Geo Insight dengan pemodelan dari pengguna smartphone dengan sistem Android.
Ia menyebut ada korelasi erat antara pergerakan penduduk dengan pergerakan jumlah kasus. "Semakin banyak pergerakan penduduk, jumlah kasus semakin banyak. Waktu pergerakan yang padat ini yang bayak di pagi hari saat berangkat ke kantor, dan sore hari saat pulang kantor," jelas Iwan, kemarin (11/9)
Kemudian pada tanggal-tanggal tertentu terutama pada akhir pekan yang memiliki waktu libur panjang, ada pola pergerakan penduduk dari kota besar ke daerah-daerah di luar kota. "Mungkin mereka (penduduk yang bergerak, red) pergi rekreasi," jelasnya.
Iwan juga menunjukkan bahwa pergerakan penduduk di Pulau Jawa pada masa PSBB DKI pada Mei 2020 berkurang secara signifikan, namun begitu PSBB DKI Transisi diterapkan sejak Juni 2020, pergerakan masyarakat meningkat signifikan. Pada periode 31 Agustus sampai 6 September 2020, pergerakan masyarakat hampir merata di seluruh Jawa.
Dalam penelitian yang dilakukan kelompok Epidemiolog UI tersebut, sejak relaksasi PSBB pada Juni 2020, pergerakan masyarakat menuju pasar, toko, kantor dan tempat-tempat umum lainnya terus meningkat secara konsisten.
Disebutkan, bahwa ketika semakin sedikit proporsi penduduk yang diam di rumah, estimasi kasus onset meningkat. Ketika prosentase penduduk yang diam di rumah berada pada angka 50-55 persen, setiap penurunan 1 persen di rumah saja, estimasi kasus meningkat 20 per hari.
Ketika proporsi penduduk di rumah kurang dari 50 persen, setiap penurunan 1 persen di rumah saja, estimasi kasus meningkat 100 per hari.
Jubir Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, bahwa jika dilihat dari mobility report, memang pergerakan atau mobilitas warga DKI sangat berpengaruh terhadap sebaran kasus di Pulau Jawa secara keseluruhan. Semenjak PSBB transisi yang lebih longgar diterapkan, mobilitas penduduk di seluruh Jawa juga meningkat.
"Padahal yang melakukan PSBB transisi itu DKI Jakarta, tapi kalau lihat gambarnya pergerakan padat sekali ke seluruh Pulau Jawa. Efek dari mobilitas penduduk karena adanya PSBB transisi punya efek ke berbagai wilayah di Pulau Jawa," jelas Wiku.
Oleh karena itu, kata Wiku, mobilitas harus segera dibatasi agar potensi penularan bisa dicegah. "Karena biasanya terjadi penularan apabila orang yang kemungkinan sakit tapi dia tidak tahu pindah ke tempat lain kemudian dia terkena infeksi (Covid-19, red)," katanya. Wiku menyebut saat ini ada 2 provinsi yang melakukan PSBB. Yakni DKI Jakarta dan Banten. Kemudian 5 kabupaten/kota yang juga sedang menjalan PSBB yakni Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok.
Adanya PSBB ini kata Wiku dalam rangka membatasi mobilitas penduduk. Laporan dari community mobility report telah memperlihatkan adanya mobilitas dalam kota (in-city migration) dalam jumlah besar.
Wiku menyebut saat 50 persen lebih orang keluar dari rumah, kasus positif akan mulai naik. Naiknya juga relatif cepat. Ini seharusnya tidak terjadi kalau protokol kesehatan dilakukan dengan benar. Karena menurut berbagai penelitaian yang ada, kasus akan mulai turun setelah PSBB dilonggarkan. "Tentu jika PSBB-nya dilakukan dengan benar, cakupannya besar, dan konsisten," jelasnya.
Wiku menegaskan bahwa keberhasilan PSBB tetap perlu kerja sama dengan semua pihak, khususnya masyarakat dengan membatasi mobilitas perjalanan. "Kalau disiplin protokol, pelaksanaan kegiatan esensial seharusnya tidak meningkatkan kasus. Kalau sampai meningkatkan kasus itu artinya tidak disiplin protokol kesehatan. Kalau tetap seperti ini, PSBB tidak ada gunanya. Nanti PSBB dibuka (dilonggarkan, red) akan naik lagi kasusnya," kata Wiku.
Menurut catatan Satgas, kasus positif di Pulau Jawa dan Bali per 10 September memberikan kontribusi 64,18 persen dari total kasus nasional. Dari segi zonasi risiko penularan, jumlah zona merah meningkat dari 65 kabupaten/kota menjadi 70 kabupaten/kota.
Zona oranye (riskiko penularan sedang) meningkat dari 230 kabupaten/kota menjadi 267 kabupaten/kota. Zona kuning menurun dari 151 menjadi 114 kabupaten/kota.
Epidemiolog
Pandu Riono
Terpisah, Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai langkah yang diambil gubernur DKI Jakarta sudah tepat. Sebab, gubernur lebih tahu kondisi di wilayahnya. "Gubernur itu paling tahu kondisi di lapangan," ujarnya kemarin.
Pada dasarnya, PSBB sendiri tidak pernah dicopot statusnya di Jakarta. Hanya saja, sebelumnya sempat dilakukan transisi menuju era kebiasaan baru. Itu pun dengan catatan di awal bila kondisi memburuk, maka restriksi dapat kembali dinaikkan.
Diakuinya, peningkatan kasus kembali terjadi usai mudik Iduladha. Ditambah lagi, banyaknya libur panjang. "Karena setiap libur panjang itu berpotensi menimbulkan klaster baru. Apalagi didorong agar berwisata tanpa disertai sosialisasi kepatuhan protokol kesehatan," keluhnya.
Walhasil, kasus meningkat drastis. Kondisi kemudian menyebabkan kapasitas rumah sakit penuh. Pandu bahkan menyebut, Pemprov DKI Jakarta sampai menambah jumlah rumah sakit pelayanan Covid-19. "Yang sebelumnya tidak melayani, diminta untuk ikut melayani sejak dua pekan lalu. Jadi ini sudah diantisipasi," paparnya.
Karenanya, Pandu menilai, harusnya pemerintah pusat tidak menjadi oposisi terhadap kebijakan pemerintah daerah. Terlebih soal PSBB DKI Jakarta. Harusnya, pusat mendukung bahkan membantu ketika kebijakan penanganan pandemi di daerah mengalami kesulitan. Misalnya, soal integrasi daerah penyanggah ketika restriksi PSBB kembali dinaikkan.
"Pusat bantu. Sinergikan. Bukan bersikap tidak etis dengan seolah-olah mengatakan rumah sakit masih bisa direlaksasi," tegasnya. Bahkan, kata dia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto harus ikut bertanggungjawab atas meningkatnya kasus positif Covid-19 ini. Karena sebelumnya, dirinya yang terus mendorong orang untuk bergerak berwisata. Yang sayangnya tak dibarengi sosialisasi kepatuhan protokol kesehatan yang masif.