JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Unjuk rasa 21 dan 22 Mei lalu menyisakan banyak dugaan pelanggaran hukum. Satu per satu pun dibongkar kepolisian. Salah satunya adalah aksi penunggang gelap yang diduga berniat menghabisi empat tokoh nasional dan seorang pimpinan lembaga survei. Para penyidik menyebut sudah mendapat gambaran yang cukup utuh terkait kasus tersebut.
Kadiv Humas Polri Irjen M Iqbal mengungkapkan bahwa kasus tersebut ditangani langsung oleh Polda Metro Jaya. Total sudah ada delapan tersangka yang ditangkap. ’’Perkara kasus membawa, menyimpan, menguasai, dan menyembunyikan senjata api tanpa izin dengan motif permufakatan jahat untuk melakukan perencanaan pembunuhan,’’ terang dia di kantor Kemenko Polhukam Selasa (11/6/2019).
Dalam kesempatan tersebut, turut hadir Wadirreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Syam Indradi. Dia menjelaskan perkembangan penanganan kasus tersebut. Menurut Ade, kasus itu ditangani berdasar pasal 88 dalam KUHP, juga pasal 1, yang tertuang dalam UU Darurat tahun 1951. Ancaman pidana bagi pelakunya adalah bui seumur hidup.
Mulai penangkapan enam tersangka sampai penangkapan terhadap mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI (pur) Kivlan Zen dan Habil Marati, politikus Partai Persatuan Pembangunan. ’’HM (Habil Marati) ditangkap di rumahnya pada Rabu 29 Mei 2019,’’ terang Ade. Penyidik pun sudah berhasil menggali peran setiap tersangka.
Ade menjelaskan, berdasar fakta-fakta yang ditemukan, ada sejumlah petunjuk. Pihaknya mendapati persesuaian antara satu saksi dan saksi lainnya. ’’Mereka bermufakat untuk melakukan pembunuhan berencana terhadap empat tokoh nasional dan satu direktur eksekutif Charta Politika,’’ terangnya.
Perwira menengah Polri itu pun membeberkan temuan yang berkaitan dengan para tersangka. Ade menuturkan, Kivlan yang ditangkap 29 Mei lalu punya peran memerintah tersangka HK alias I dan AZ. Mereka diminta mencari eksekutor dalam rencana pembunuhan yang sudah disusun. ’’Peran selanjutnya memberikan uang Rp150 juta kepada HK alis I untuk membeli beberapa pucuk senjata api,’’ ujar dia.
Perintah itu lantas dilaksanakan HK. Dia membeli empat pucuk senjata api. Namun, lanjut Ade, Kivlan kembali meminta HK membeli satu senjata api lainnya lantaran yang sudah ada dianggap belum memenuhi standar.
Tidak sampai di situ, Kivlan turut memberikan tugas operasi sekaligus menunjukkan target yang sudah ada. ’’Yaitu, empat orang tokoh nasional dan pimpinan lembaga survei,’’ ungkapnya.