JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Perekonomian Indonesia perlahan semakin pulih. Sejumlah indikator ekonomi mulai menunjukkan tren positif. Salah satunya pertumbuhan kredit perbankan. Seiring pulihnya sektor konsumsi dengan dibukanya kembali berbagai fasilitas publik dan perkantoran. Juga sektor-sektor ekonomi yang sudah mulai menunjukkan tanda pemulihan.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memproyeksi pertumbuhan kredit industri perbankan berkisar 4 hingga 5 persen sepanjang 2021. Target tersebut bukannya tanpa alasan. Mengingat, capaian kredit yang mampu tumbuh 2,21 persen year-on-year (YoY) dan 3,12 persen year-to-date (YtD) di kuartal III 2021.
Penyaluran kredit tersebut meningkat ketimbang akhir triwulan II 2021. Seiring dengan penurunan kasus harian Covid-19, meningkatnya mobilitas masyarakat, dan aktivitas ekonomi. "Melihat perkembangan tersebut, kami perkirakan pertumbuhan kredit tahun ini berkisar 4 persen hingga 5 persen," ungkap Wimboh, kemarin (9/11).
Perbaikan kredit perbankan didorong oleh sektor kredit rumah tangga yang naik 2,77 persen YtD, sektor perdagangan meningkat 2,43 persen YtD, dan sektor manufaktur tumbuh 2,05 persen YtD. Kelompok bank Himbara (himpunan bank milik negara) dan bank pembangunan daerah menopang kenaikan kredit perbankan. Masing-masing tumbuh 6,16 persen YoY dan 6,45 persen YoY.
Dia menilai, perbankan turut berkontribusi mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional melalui penurunan suku bunga kredit. Tingkat suku bunga dasar kredit mengalami tren penurunan dari 9,69 persen pada Juni 2021 menjadi 9,66 persen pada September 2021. Penurunan tersebut terutama didorong penurunan komponen harga pokok dana.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, memang ada harapan akhir tahun terjadi pemulihan konsumsi rumah tangga jelang libur Natal dan tahun baru. Sejumlah indikator terbilang positif. Seperti, kenaikan ekspansi industri yang ditunjukkan oleh Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang ekspansif. Yakni, di level 57,2 per Oktober 2021.
Begitu pula, kinerja ekspor yang menguat seiring meningkatnya permintaan mitra dagang. Khususnya komoditas pertambangan dan perkebunan. Tingkat kepercayaan konsumen didalam negeri juga mulai pulih. Meski demikian, Bhima menyebut, untuk tumbuh sampai 5 persen masih ada beberapa faktor yang harus dipacu oleh pemerintah. Antara lain, mendorong penyaluran pinjaman ke sektor industri, khususnya industri berorientasi ekspor dan perdagangan. Juga, kebijakan pemerintah diharapkan pro terhadap pemulihan ekonomi, salah satunya dengan menjaga stabilitas harga di level konsumen. "Semakin harga stabil, maka pelaku usaha akan berani mengambil pinjaman lebih besar dan otomatis risiko kredit relatif menurun. Kredit itu dua sisi, bank harus berani mengucurkan pinjaman. Dari sisi pelaku usaha dan masyarakat percaya diri menambah pinjaman baru," ucap Bhima kepada Jawa Pos (JPG), malam tadi.
Lulusan University Of Bradford tersebut memperkirakan, penyaluran kredit akan tumbuh berkisar 2,5 hingga 4 persen YoY. Sektor usaha yang diperkirakan mampu menopang pemulihan kredit adalah pertambangan, konstruksi, industri pengolahan, pengangkutan dan jasa komunikasi. Pada kuartal IV 2021, pemerintah bisa memanfaatkan momen kenaikan harga komoditas batu bara, minyak kelapa sawit, dan gas. Salah satunya, peluang untuk menggenjot ekspor batubara ke Tiongkok yang sedang mengalami krisis energi.
Selain itu, saat ini terjadi kenaikan permintaan properti. Data Bank Indonesia (BI) Per September 2021 menunjukkan, terjadi pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) bank sebesar 9,4 persen. Jauh lebih tinggi dibanding penyaluran kredit kendaraan bermotor yang masih negatif minus 16,3 persen dan kredit multiguna yang hanya tumbuh 2 persen YoY. "Sebelumnya pada Juli sampai Agustus ketika kasus Covid-19 tinggi, memang transaksi pembelian rumah baru tertunda karena pembatasan sosial. Tapi setelah pelonggaran terjadi banyak yang sudah bersiap membeli rumah," jelasnya.
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Media Wahyudi Askar menyatakan, sejauh mana pertumbuhan kredit atau pembiayaan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada kualitas pembiayaan itu sendiri. Meski angka pembiayaan relatif naik, seperti kredit Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) belum tentu mencerminkan meningkatnya produktifitas usaha.
Praktik penyaluran tanpa melewati screening yang seharusnya demi mencapai target penyaluran masih sering terjadi. Padahal pengusaha tersebut masih belum siap dari segi SDM (sumber daya manusia) dan ketiadaan bahan baku. Akibatnya, malah meningkatkan risiko gagal bayar. "Banyak pengusaha kecil yang dikejar-kejar oleh lembaga kredit untuk mengambil nominal kredit dalam jumlah besar," ungkap alumnus doktoral University Of Manchester itu.(han/jpg)