Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Suku Seni Akan Pentaskan “The Terubuk” di Palembang

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Suku Seni Riau akan mementaskan pertunjukan teater berjudul The Terubuk; Migrasi Ikan-ikan Menuju Tuhan dalam Festival Teater Sumatra di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, Sumatra Selatan.

Helat yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan tersebut akan berlangsung tanggal 11-13 November 2021, dan menghadirkan belasan kelompok teater mewakili provoinsi di Sumatera.

Sebagaimana karya-karya teater yang pernah disuguhkan Suku Seni Riau sebelumnya, antara lain Dilanggar Todak, Hikayat Orang Laut, dan Agama Sungai, dalam produksi ke-15 ini Suku Seni kembali mengangkat tema laut (maritim) dengan segala kompleksitasnya melalui ikan terubuk. Dunia ikan dan lingkungan khususnya, tampak selalu menarik perhatian Marhalim.

“Menyebut ikan terubuk tidak semata membuka ingatan kita soal lauk-pauk untuk dimakan, tetapi juga membuka memori kolektif kita ihwal kompleksitas nilai-nilai peradaban maritim masyarakat Melayu Riau, khususnya di wilayah sekitar Selat Bengkalis selama berabad-abad dan di masa Kesultanan Siak,” kata Marhalim, penulis naskah dan sutradara The Terubuk.

Menurutnya, ikan terubuk bisa ditelisik mulai dari aspek nilai ekonomi; kesusastraan klasik adiluhung beserta nilai historis-politisnya; tradisi ritual semah terubuk dengan kekuatan mitos dan supranaturalnya; nilai seni tutur bersyair dalam masyarakat lisan; isu konservasi lingkungan air dan hutan; sampai pada jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat terkait erat dengan bagaimana ikan terubuk diolah dalam berbagai jenis masakan.

Ikan terubuk (tenualosa macrura) adalah jenis ikan tropis yang banyak ditemukan di perairan Asia (India, Malaysia, Thailand, Myanmar) di sekitar pesisir dan muara sungai. Ikan terubuk yang dulu tersebar luas termasuk di pesisir timur Sumatera, namun sejak 1970-an, mulai menghilang.

Spesies ikan terubuk yang ditemukan di Bengkalis, Riau, adalah T Mecrura, yang kini terancam punah. Spesies lain, seperti T Ilisha, tersebar di bagian utara Sumatera hingga ke Kuwait, menjadi komoditas penting di Bangladesh, India, Burma, Pakistan dan Kuwait.

Baca Juga:  Handphone Terjatuh

Ikan terubuk hidup berkelompok dan berenang ke muara sungai untuk bertelur. Dalam ilmu biologi, ikan terubuk berjenis protandous hermaphrodite; ikan jantan yang berubah kelamin menjadi betina pada usia dewasa. Semua ikan yang berusia dua tahun berjenis kelamin betina dengan masa hidup 2-3 tahun.

Sejak abad ke-19, kata Ketua Suku Seni Riau tersebut, masyarakat Bengkalis telah memercayai bahwa ikan terubuk jantan di Selat Melaka akan berubah menjadi betina ketika memasuki Selat Bengkalis untuk bertelur. Migrasi dari Selat Melaka ke Selat Bengkalis dan sebaliknya terjadi sepanjang tahun pada bulan baru dan bulan purnama.

Marhalim menyebut, sejak abad ke-16 ikan terubuk terutama telurnya bernilai ekonomi tinggi. Sejumlah sumber menjelaskan bahwa Mendez Pinto, seorang pengelana Portugis yang mengunjungi Selat Melaka tahun 1539, telah mencatat hal ini. Pada abad ke-18, di masa Kerajaan Siak, telur terubuk menjadi komoditas penting penyumbang ekonomi kerajaan. Bahkan di pasar Eropa dikatakan kelezatannya seperti "kaviar Rusia".

“Ikan terubuk nilai jualnya sangat mahal, terutama harga telurnya. Ikan terubuk menjadi buruan termasuk nelayan yang beroperasi di Perairan Bengkalis Riau,” ujar penulis kumpulan puisi Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu tersebut.

Selain itu, ikan terubuk juga telah menginspirasi pujangga Melayu abad ke-19 mengarang sebuah epik berjudul “Syair Ikan Terubuk.” Belasan manuskrip dan litografi teks berhuruf Arab-Melayu yang belum diketahui siapa nama pengarangnya ini telah beredar, dikoleksi di berbagai perpustakaan dunia antara lain Perpustakaan Nasional RI, perpustakaan di Leiden, Singapura, Malaysia, dan Riau.

Baca Juga:  Temui Airlangga, Singkatan "AHY" Jadi Airlangga Hartarto Yes!

Berbagai tafsir dan kajian tersiar dari sejumlah pakar sastra Melayu. Ada yang menyebut ini syair teologis (Wilkinson), syair erotik dan didaktik (Winstedt), syair bernilai sejarah (Klinkert), syair romantik-simbolik dan epik Melayu yang berkait dengan semisal Syair Perang Siak. Menurut Marhalim, sebuah kajian intertektulitas pernah menghubungkan "Syair Ikan Terubuk" ini dengan

"Sejarah Raja-Raja Melayu," yang menafsirkan bahwa tokoh Pengeran Terubuk dalam "Syair Ikan Terubuk" sebagai Raja Alam dan Putri Puyu-puyu sebagai Sultan Ismail. Maka, kisah dalam "Syair Ikan Terubuk merupakan kisah simbolik bagaimana Raja Alam menyerang Siak dan mengusir Sultan Ismail," jelas Marhalim lagi.

Sementara itu, ikan terubuk juga tak lepas dari asperk kosmologis, yakni melalui tradisi ritual Semah Terubuk. Marhalim menyebut, deskripsi ritual Semah Terubuk ini telah ditulis oleh seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda beranama JSG Gramberg di tahun 1877, dengan judul Troboek Bezwering.

Kenduri ritual yang bertujuan untuk memanggil ikan-ikan terubuk ini menghabiskan ribuan gulden, melibatkan 500 kapal nelayan, memotong kerbau dan kambing, dengan berbagai perlengkapan kue-mue, buah-buahan, daun-daunan, termasuk rempah-rempah seperti kemenyan, beras kunyit, sirih, gambir, dan sejenisnya.

Namun, bagaimanakah kondisi ikan terubuk hari ini? Kondisi populasi ikan terubuk sekarang mengalami penurunan, hal tersebut dimungkinkan karena ikan terubuk menjadi buruan nelayan yang beroperasi di Perairan Bengkalis, Siak, dan Kepualuan Meranti, Riau. Ini tidak saja berujung pada penurunan sumberdaya perairan eksistensi ikan terubuk, bahkan perburuan terhadap jenis ikan ini telah menyebabkan ikan terubuk menjadi jenis ikan langka.
 

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Suku Seni Riau akan mementaskan pertunjukan teater berjudul The Terubuk; Migrasi Ikan-ikan Menuju Tuhan dalam Festival Teater Sumatra di Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, Sumatra Selatan.

Helat yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan tersebut akan berlangsung tanggal 11-13 November 2021, dan menghadirkan belasan kelompok teater mewakili provoinsi di Sumatera.

- Advertisement -

Sebagaimana karya-karya teater yang pernah disuguhkan Suku Seni Riau sebelumnya, antara lain Dilanggar Todak, Hikayat Orang Laut, dan Agama Sungai, dalam produksi ke-15 ini Suku Seni kembali mengangkat tema laut (maritim) dengan segala kompleksitasnya melalui ikan terubuk. Dunia ikan dan lingkungan khususnya, tampak selalu menarik perhatian Marhalim.

“Menyebut ikan terubuk tidak semata membuka ingatan kita soal lauk-pauk untuk dimakan, tetapi juga membuka memori kolektif kita ihwal kompleksitas nilai-nilai peradaban maritim masyarakat Melayu Riau, khususnya di wilayah sekitar Selat Bengkalis selama berabad-abad dan di masa Kesultanan Siak,” kata Marhalim, penulis naskah dan sutradara The Terubuk.

- Advertisement -

Menurutnya, ikan terubuk bisa ditelisik mulai dari aspek nilai ekonomi; kesusastraan klasik adiluhung beserta nilai historis-politisnya; tradisi ritual semah terubuk dengan kekuatan mitos dan supranaturalnya; nilai seni tutur bersyair dalam masyarakat lisan; isu konservasi lingkungan air dan hutan; sampai pada jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat terkait erat dengan bagaimana ikan terubuk diolah dalam berbagai jenis masakan.

Ikan terubuk (tenualosa macrura) adalah jenis ikan tropis yang banyak ditemukan di perairan Asia (India, Malaysia, Thailand, Myanmar) di sekitar pesisir dan muara sungai. Ikan terubuk yang dulu tersebar luas termasuk di pesisir timur Sumatera, namun sejak 1970-an, mulai menghilang.

Spesies ikan terubuk yang ditemukan di Bengkalis, Riau, adalah T Mecrura, yang kini terancam punah. Spesies lain, seperti T Ilisha, tersebar di bagian utara Sumatera hingga ke Kuwait, menjadi komoditas penting di Bangladesh, India, Burma, Pakistan dan Kuwait.

Baca Juga:  Zainal Abidin Stagnan, Syarudin Husin Teratas

Ikan terubuk hidup berkelompok dan berenang ke muara sungai untuk bertelur. Dalam ilmu biologi, ikan terubuk berjenis protandous hermaphrodite; ikan jantan yang berubah kelamin menjadi betina pada usia dewasa. Semua ikan yang berusia dua tahun berjenis kelamin betina dengan masa hidup 2-3 tahun.

Sejak abad ke-19, kata Ketua Suku Seni Riau tersebut, masyarakat Bengkalis telah memercayai bahwa ikan terubuk jantan di Selat Melaka akan berubah menjadi betina ketika memasuki Selat Bengkalis untuk bertelur. Migrasi dari Selat Melaka ke Selat Bengkalis dan sebaliknya terjadi sepanjang tahun pada bulan baru dan bulan purnama.

Marhalim menyebut, sejak abad ke-16 ikan terubuk terutama telurnya bernilai ekonomi tinggi. Sejumlah sumber menjelaskan bahwa Mendez Pinto, seorang pengelana Portugis yang mengunjungi Selat Melaka tahun 1539, telah mencatat hal ini. Pada abad ke-18, di masa Kerajaan Siak, telur terubuk menjadi komoditas penting penyumbang ekonomi kerajaan. Bahkan di pasar Eropa dikatakan kelezatannya seperti "kaviar Rusia".

“Ikan terubuk nilai jualnya sangat mahal, terutama harga telurnya. Ikan terubuk menjadi buruan termasuk nelayan yang beroperasi di Perairan Bengkalis Riau,” ujar penulis kumpulan puisi Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu tersebut.

Selain itu, ikan terubuk juga telah menginspirasi pujangga Melayu abad ke-19 mengarang sebuah epik berjudul “Syair Ikan Terubuk.” Belasan manuskrip dan litografi teks berhuruf Arab-Melayu yang belum diketahui siapa nama pengarangnya ini telah beredar, dikoleksi di berbagai perpustakaan dunia antara lain Perpustakaan Nasional RI, perpustakaan di Leiden, Singapura, Malaysia, dan Riau.

Baca Juga:  KPK Bidik Tersangka di Banggar DPR RI

Berbagai tafsir dan kajian tersiar dari sejumlah pakar sastra Melayu. Ada yang menyebut ini syair teologis (Wilkinson), syair erotik dan didaktik (Winstedt), syair bernilai sejarah (Klinkert), syair romantik-simbolik dan epik Melayu yang berkait dengan semisal Syair Perang Siak. Menurut Marhalim, sebuah kajian intertektulitas pernah menghubungkan "Syair Ikan Terubuk" ini dengan

"Sejarah Raja-Raja Melayu," yang menafsirkan bahwa tokoh Pengeran Terubuk dalam "Syair Ikan Terubuk" sebagai Raja Alam dan Putri Puyu-puyu sebagai Sultan Ismail. Maka, kisah dalam "Syair Ikan Terubuk merupakan kisah simbolik bagaimana Raja Alam menyerang Siak dan mengusir Sultan Ismail," jelas Marhalim lagi.

Sementara itu, ikan terubuk juga tak lepas dari asperk kosmologis, yakni melalui tradisi ritual Semah Terubuk. Marhalim menyebut, deskripsi ritual Semah Terubuk ini telah ditulis oleh seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda beranama JSG Gramberg di tahun 1877, dengan judul Troboek Bezwering.

Kenduri ritual yang bertujuan untuk memanggil ikan-ikan terubuk ini menghabiskan ribuan gulden, melibatkan 500 kapal nelayan, memotong kerbau dan kambing, dengan berbagai perlengkapan kue-mue, buah-buahan, daun-daunan, termasuk rempah-rempah seperti kemenyan, beras kunyit, sirih, gambir, dan sejenisnya.

Namun, bagaimanakah kondisi ikan terubuk hari ini? Kondisi populasi ikan terubuk sekarang mengalami penurunan, hal tersebut dimungkinkan karena ikan terubuk menjadi buruan nelayan yang beroperasi di Perairan Bengkalis, Siak, dan Kepualuan Meranti, Riau. Ini tidak saja berujung pada penurunan sumberdaya perairan eksistensi ikan terubuk, bahkan perburuan terhadap jenis ikan ini telah menyebabkan ikan terubuk menjadi jenis ikan langka.
 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari