Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Patricia Arce, Wali Kota yang Dipermalukan Demonstran

Penduduk Bolivia sudah geram dengan pemerintahan Presiden Evo Morales. Orang-orang terdekatnya kena imbas. Salah satunya Wali Kota Vinto Patricia Arce.

SITI AISYAH, Jawa Pos

Wajah Patricia Arce merah. Bukan karena marah. Melainkan imbas disiram cat oleh warganya. Arce adalah wali kota Vinto, Bolivia.

Rabu (6/11) massa pendukung oposisi mendatangi kantornya. Mereka memaksanya keluar. Begitu Arce berada di luar gedung, beberapa orang bertopeng memukulinya. Sebagian lainnya melemparkan batu ke arahnya.

Penderitaan Arce tak berhenti sampai di situ. Dia dipaksa berjalan hingga ke Jembatan Vinto. Nyeker. Tanpa alas kaki. Di jembatan itu dia dipaksa berlutut. Rambutnya dipotong hingga pendek tak keruan. Setelah itu mereka menyiramkan cat merah dari atas kepala sang wali kota.

Arce lalu dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. ”Pembunuh…pembunuh,” teriak massa sepanjang jalan.

Para pendukung oposisi itu berang. Arce dituduh memfasilitasi pendukung Presiden Evo Morales untuk membubarkan aksi menentang pemerintah Selasa malam (5/11). Imbasnya, terjadi bentrokan dan dua orang demonstran tewas. Arce berasal dari Movement to Socialism (MAS) Party, sama seperti Morales.

Salah seorang korban tewas yang berhasil diidentifikasi adalah Limbert Guzman Vasquez. Tengkorak mahasiswa berumur 20-an tahun tersebut retak. Dokter menyatakan bahwa itu mungkin disebabkan bahan peledak.

Baca Juga:  Wako Ajak Warga Jaga Kebugaran Tubuh

Vasquez adalah orang ketiga yang terbunuh sejak demo menolak hasil pemilu yang berlangsung 20 Oktober lalu. Oposisi yakin terjadi kecurangan besar-besaran hingga Morales kembali menang.

Arce berhasil selamat dari amuk massa setelah rombongan polisi mendatangi lokasi kejadian. Salah seorang polisi yang mengendarai sepeda motor membawanya ke rumah sakit. ”Jika mereka ingin membunuh saya, biarkan saja. Saya tidak takut. Saya berada di negara bebas,” ujar Arce kepada para jurnalis seperti dikutip New York Post. Dia menyatakan siap menyerahkan nyawanya demi proses perubahan.

Arce butuh waktu lama untuk kembali bekerja di kantornya. Sebab, massa yang masih berang merusak dan membakar balai kota. Massa tidak punya niat untuk berhenti turun ke jalan. Aksi menentang pemerintah akan terus berjalan.

Mengetahui Arce dikerjai massa pendukung oposisi, Morales langsung berang. Dia mengecam tindakan massa. Tapi, sepertinya penduduk Bolivia yang menentangnya tak lagi peduli. Morales sudah berkuasa selama 14 tahun. Dia adalah pemimpin paling lama di negara tersebut.

Baca Juga:  Ini Peta Pengelolaan Lahan Basah untuk Mangrove yang Disusun Bappenas

Dugaan kecurangan muncul setelah panitia pemilihan umum menghentikan laporan penghitungan suara. Saat itu perolehan suara Morales memang lebih tinggi daripada delapan kandidat lainnya, tapi tak cukup untuk menghindari pemilihan putaran kedua.

Berdasar aturan di Bolivia, kandidat presiden dinyatakan menang jika memperoleh suara lebih dari 50 persen. Kandidat boleh mendapatkan hanya 40 persen suara dengan catatan perbedaan dengan kandidat lain di bawahnya minimal 10 persen.

Nah, dalam pemilu lalu perolehan suara Morales tiba-tiba melonjak tajam sehari setelah pemilihan. Pemimpin 60 tahun itu mendapatkan 47,08 persen suara, sedangkan lawan terdekatnya, Carlos Mesa, hanya mendapat 36,51 persen. Massa menuntut pemilu tahap kedua digelar antara Morales dan Mesa. Pemerintah Brasil, Argentina, Kolombia, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa juga mempertanyakan hasil pemilu Bolivia. Sayangnya, Morales enggan melakukannya.

Massa yang tak terima akhirnya memilih turun ke jalan dan menentangnya. Bentrokan terjadi selama beberapa pekan. PBB meminta kedua pihak mencari jalan damai.

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Penduduk Bolivia sudah geram dengan pemerintahan Presiden Evo Morales. Orang-orang terdekatnya kena imbas. Salah satunya Wali Kota Vinto Patricia Arce.

SITI AISYAH, Jawa Pos

- Advertisement -

Wajah Patricia Arce merah. Bukan karena marah. Melainkan imbas disiram cat oleh warganya. Arce adalah wali kota Vinto, Bolivia.

Rabu (6/11) massa pendukung oposisi mendatangi kantornya. Mereka memaksanya keluar. Begitu Arce berada di luar gedung, beberapa orang bertopeng memukulinya. Sebagian lainnya melemparkan batu ke arahnya.

- Advertisement -

Penderitaan Arce tak berhenti sampai di situ. Dia dipaksa berjalan hingga ke Jembatan Vinto. Nyeker. Tanpa alas kaki. Di jembatan itu dia dipaksa berlutut. Rambutnya dipotong hingga pendek tak keruan. Setelah itu mereka menyiramkan cat merah dari atas kepala sang wali kota.

Arce lalu dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. ”Pembunuh…pembunuh,” teriak massa sepanjang jalan.

Para pendukung oposisi itu berang. Arce dituduh memfasilitasi pendukung Presiden Evo Morales untuk membubarkan aksi menentang pemerintah Selasa malam (5/11). Imbasnya, terjadi bentrokan dan dua orang demonstran tewas. Arce berasal dari Movement to Socialism (MAS) Party, sama seperti Morales.

Salah seorang korban tewas yang berhasil diidentifikasi adalah Limbert Guzman Vasquez. Tengkorak mahasiswa berumur 20-an tahun tersebut retak. Dokter menyatakan bahwa itu mungkin disebabkan bahan peledak.

Baca Juga:  Syarudin Husin Belum Terkalahkan

Vasquez adalah orang ketiga yang terbunuh sejak demo menolak hasil pemilu yang berlangsung 20 Oktober lalu. Oposisi yakin terjadi kecurangan besar-besaran hingga Morales kembali menang.

Arce berhasil selamat dari amuk massa setelah rombongan polisi mendatangi lokasi kejadian. Salah seorang polisi yang mengendarai sepeda motor membawanya ke rumah sakit. ”Jika mereka ingin membunuh saya, biarkan saja. Saya tidak takut. Saya berada di negara bebas,” ujar Arce kepada para jurnalis seperti dikutip New York Post. Dia menyatakan siap menyerahkan nyawanya demi proses perubahan.

Arce butuh waktu lama untuk kembali bekerja di kantornya. Sebab, massa yang masih berang merusak dan membakar balai kota. Massa tidak punya niat untuk berhenti turun ke jalan. Aksi menentang pemerintah akan terus berjalan.

Mengetahui Arce dikerjai massa pendukung oposisi, Morales langsung berang. Dia mengecam tindakan massa. Tapi, sepertinya penduduk Bolivia yang menentangnya tak lagi peduli. Morales sudah berkuasa selama 14 tahun. Dia adalah pemimpin paling lama di negara tersebut.

Baca Juga:  Pesona Pantai Solop, Berpasir Putih dan Rimbun Hutan Bakau

Dugaan kecurangan muncul setelah panitia pemilihan umum menghentikan laporan penghitungan suara. Saat itu perolehan suara Morales memang lebih tinggi daripada delapan kandidat lainnya, tapi tak cukup untuk menghindari pemilihan putaran kedua.

Berdasar aturan di Bolivia, kandidat presiden dinyatakan menang jika memperoleh suara lebih dari 50 persen. Kandidat boleh mendapatkan hanya 40 persen suara dengan catatan perbedaan dengan kandidat lain di bawahnya minimal 10 persen.

Nah, dalam pemilu lalu perolehan suara Morales tiba-tiba melonjak tajam sehari setelah pemilihan. Pemimpin 60 tahun itu mendapatkan 47,08 persen suara, sedangkan lawan terdekatnya, Carlos Mesa, hanya mendapat 36,51 persen. Massa menuntut pemilu tahap kedua digelar antara Morales dan Mesa. Pemerintah Brasil, Argentina, Kolombia, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa juga mempertanyakan hasil pemilu Bolivia. Sayangnya, Morales enggan melakukannya.

Massa yang tak terima akhirnya memilih turun ke jalan dan menentangnya. Bentrokan terjadi selama beberapa pekan. PBB meminta kedua pihak mencari jalan damai.

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari