Ramadan merupakan penamaan bulan kesembilan dalam tahun hijriah, yang artinya sangat panas. Makna ini akan sesuai bila dikaitkan dengan tradisi orang Arab jahiliah yang memanaskan senjata mereka di terik matahari pada bulan Ramadan. Semua itu dilakukan mereka guna mempersiapkan diri untuk berperang pada bulan Syawal jika diserang, sebelum memasuki bulan haram. Namun, setelah masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, Ramadan dipahami sebagai bulan membakar dan menghanguskan seluruh dosa dan kesalahan masa lalu.
Ada beberapa nama lain dari bulan Ramadan, di antaranya Syahr al-Qur’an (bulan penurunan Alquran), Syahr an-Najah (bulan pelepasan dari azab neraka), Syahr at-Tilawah (bulan membaca dan memahami Al-Qur’an), Syahr ash-Shabr (bulan melatih diri bersabar atas penderitaan yang dihadapi dalam melaksanakan tugas-tugas agama), Syahr ash-Shiyam (bulan melaksanakan puasa), Syahr ar-Rahmah (bulan pelimpahan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya), dan Syahr al-'Id (bulan yang dirayakan hari berbuka dari padanya).
Meraih Kemuliaan Ramadan
Bulan Ramadan memiliki kemuliaan yakni Ramadan terpilih sebagai bulan untuk melakukan ibadah besar dan mulia, yaitu puasa. Puasa merupakan upaya untuk menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan (dengan sengaja memasukkan suatu benda ke dalam kerongkorang atau ke dalam anggota tubuh lainnya yang berlubang, muntah dengan sengaja, dan bersenggama), yang dilakukan oleh orang mukalaf pada siang hari, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Kewajiban puasa Ramadan baru ditetapkan pada tahun kedua hijriah, setelah arah kiblat dalam salat dipalingkan dari Masjidilaqsa di Palestina ke ka’bah (baitullah) di Makkah. Kewajiban puasa tersebut ditetapkan melalui firman Allah SWT, yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) Ayat 183-187. Ayat itu turun pada bulan Syakban tahun ke dua Hijriah. Sebelum itu, Nabi SAW. beserta para pengikutnya mengerjakan puasa tiga hari dalam sebulan, dan juga berpuasa pada setiap tanggal 9 dan 10 Muharam. Namun setelah disyariatkannya puasa Ramadan, maka puasa-puasa di atas tidak lagi dipandang sebagai puasa wajib.
Ramadan menjadi bulan yang mulia dan semakin istimewa karena di dalamnya terdapat ibadah puasa yang penuh dengan hikmah dan nilai-nilai positif, di antaranya: Pertama, sebagai sarana pelatihan diri dalam menahan dan mengendalikan nafsu sahwat, baik sahwat perut maupun sahwat seksual. Kedua, sebagai waktu pembiasaan diri agar tidak melakukan berbagai maksiat, sehingga ketika telah keluar dari Ramadan diharapkan setiap muslim tidak lagi terjerumus dalam kemaksiatan tersebut, sebab mereka telah membiasakan diri untuk tidak melakukannya pada bulan Ramadan.
Ketiga, tempat dan waktu untuk merasakan lapar dan dahaga yang selalu dialami oleh orang-orang fakir dan miskin. Perasaan ini tentunya akan dapat menyadarkan setiap orang yang berpuasa untuk membantu fakir dan miskin, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin dapat dipersempit dan dapat menjalin hubungan kasih sayang antara sesama manusia.
Keempat, melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan bagi orang yang berpuasa serta memperkuat tekad untuk melakukan suatu pekerjaan. Kelima, menyehatkan diri, karena puasa tersebut dapat berfungsi membakar sisa-sisa makanan yang belum sempat dicerna secara baik oleh perut. Rasul SAW bersabda: "Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat" (HR Abu Daud).
Kemulian lain Ramadan adalah dianggap istimewa karena pada bulan itu Allah menurunkan Alquran sebagai petunjuk, penjelas, dan pemisah antara yang hak dengan yang batil. Allah SWR berfirman: "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…" (Al-Baqarah (2): 185).
Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat di atas berpendapat bahwa penurunan Alquran pada bulan Ramadan tersebut adalah sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ad-Dukhan (44): 1-3: "Haa Miim. Demi Kitab (Alquran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan".
Maksud "malam yang diberkahi" pada ayat di atas dijelaskan lagi oleh firman Allah SWT: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan" (Al-Qadr (97): 1). Sedangkan yang dimaksud dengan lailatul qadar (malam kemuliaan) tersebut tepatnya adalah pada bulan Ramadan, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang hari atau malam keberapakah datangnya lailatul qadar tersebut.
Lebih lanjut Imam al-Qurthubi berpendapat bahwa penurunan Alquran pada lailatul qadar tersebut terjadi secara sekaligus dari Lauh al-Mahfuzh ke Baitul Izza di langit bumi. Kemudian Jibril AS. menurunkannya dari Baitul Izza di langit bumi kepada Nabi SAW secara bertahap selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Bukan saja Alquran yang diturunkan pada bulan Ramadan, Shuhuf Nabi Ibrahim AS diturunkan Allah SWT pada malam pertama Ramadan; Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS diturunkan pada malam keenam Ramadan; Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud AS diturunkan pada malam ke-12 Ramadan, dan Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS diturunkan pada malam ke-18 Ramadan.
Karena Alquran diturunkan pada bulan Ramadan, maka wajar bila Nabi memuliakan ramadhan dengan bertadarus Alquran bersama malaikat Jibril AS. Oleh sebab itu, mari pula kita jadikan Ramadan sebagai bulan bertadarus Alquran.
Keistimewaan lainnya, Ramadhan semakin terbukti kemuliaannya bila dilihat peristiwa-peristiwa penting yang mengukir lembaran sejarah Islam yang terjadi pada bulan Ramadan. Peristiwa-peristiwa itu antara lain: Pertama, kemenangan Rasul dan pasukannya dalam perang Badr, terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-2 H, Kedua, persiapan perang Uhud dilakukan pada bulan Ramadan tahun ke-3 H. Ketiga, persiapan perang Khandak dilakukan pada bulan Ramadan tahun ke-5 H, Keempat, pembebasan kota Mekah terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-8 H. Kelima, kemenangan umat Islam dalam perang Tabuk terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-9 H. Keenam, pengiriman pasukan khusus yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib ke Yaman terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-9 H. Setahun kemudian penduduk Yaman berbondong-bondong masuk Islam. Ketujuh, p enaklukan Afrika oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Uthbah bin Nafi’, terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-53 H. Kedelapan, Islam menjajakkan kaki ke Eropa di bawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad, terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-91 H. Sembilan, Indonesia merdeka terjadi juga pada bulan Ramadan 1364 H.
Kemuliaan Ramadan juga disebabkan adanya lailatul qadar, suatu malam yang dinilai oleh Alquran lebih baik dari seribu bulan (83 tahun 4 bulan). Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar" (Al-Qadr (97): 1-5).
Bila ditelusuri makna kata qadr dari rangkaian kalimat lailatul qadr, maka ditemukan bahwa setidaknya ada tiga makna yang dituju dari kata tersebut, yaitu: Pertama, qadr dapat diartikan dengan penetapan dan pengaturan, sehingga lailatul qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Makna ini dikuatkan pula oleh firman Allah SWT pada surat Ad-Dukhan (44) ayat 3 di atas.
Kedua, kemuliaan. Dikatakan mulia, karena lailatul qadr terpilih sebagai malam diturunkannya Alquran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Ketiga, sempit. Lailatul qadr disebut dengan malam yang sempit karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi. Sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT melalui firman-Nya: "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan." (Al-Qadr (97): 4).
Ketiga makna di atas dapat dibenarkan, karena memang malam tersebut adalah malam yang mulia., yang bila diraih ia dapat menjadi ketetapan bagi perjalanan masa depan manusia; dan bahwa pada malam itu juga para malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan.
Selain itu, Ramadan menjadi mulia karena Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan bahwa Ramadan adalah suatu bulan, yang awalnya menjadi rahmat, pertengahannya maghfirah (terbukanya ampunan) dan penghujungnya memberikan kebebasan dari api neraka. Atas dasar inilah wajar bila Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk menjaga ibadah puasa dan memperbanyak ibadah sunat guna mencapai rida-Nya. Bila seseorang melaksanakan puasa dengan baik dan dihiasi dengan ibadah-ibadah sunat, maka mustahil rahmat, maghfirah dan kebebasan api neraka tidak diperolehnya.
Ramadan juga menjadi bulan yang mulia karena ia ditutup dengan ibadah zakat fitrah. Zakat fitrah ialah zakat yang wajib dibayarkan setiap muslim setelah bulan Ramadan berakhir, baik laki-laki, wanita, dewasa, maupun anak kecil; baik orang merdeka maupun hamba sahaya. Zakat ini mulai disyariatkan seiring dengan disyariatkannya puasa Ramadan, dan menurut penelitian para ulama, zakat fitrah lebih dahulu disyariatkan daripada zakat harta.
Zakat fitrah disyariatkan dengan tujuan untuk mensucikan jiwa orang-orang yang melaksanakan puasa dan sekaligus memberi makan orang-orang miskin serta mencukupi kebutuhan mereka ketika Idulfitri. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Zakat fitrah difardukan sebagai penyuci jiwa orang-orang yang berpuasa dari perkataan bohong dan jelek serta memberi makan orang-orang miskin. Orang yang membayarnya sebelum shalat 'Id, maka ia menjadi zakat fitrah yang diterima, dan orang yang membayarkannya setelah shalat 'Id, zakat itu menjadi sedekah biasa" (HR Abu Daud, Ibn Majah dan al-Hakim dari Ibn Abbas).
Demikianlah beberapa kemuliaan dari Ramadan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. Oleh sebab itu, saya mengajak kita semua untuk jangan lalai di bulan Ramadan. Raihlah kemuliaan Ramadan tahun 1443 H ini karena belum tentu kita akan berjumpa dengan Ramadan tahun yang akan datang. Semoga kita dapat meraih kemuliaan Ramadan dan kita dimuliakan pula oleh Allah di dunia dan di akhirat, amin.***